Redup
Suatu hari di tengah siang bolong, beberapa orang santri hangat dalam lingkup pertemanan. Bahkan, lebih hangat dari cuaca hari itu. Darmen, Rayden, Sahrini, Puad, dan Brayn asik berbincang-bincang di kamar yang berukuran 6×5 meter itu. Mereka semua duduk, kecuali Brayn yang rebahan. Ia hanya menyimak obrolan dan tingkah laku teman-temannya yang kadang kurang waras.
“Daning saiki sega kos’e ora penak sih, ya?” Ucap Darmen Si Raja Telor Asin.
“Iyo, bumbunyo sering keasinan.” Rayden Kang Sanyo ikut-ikut.
“Makanya ana jarang tho’am! La ladziz.” Puad Si Onta Arab pun bersuara.
Brayn yang dari tadi hanya menyimak, kini duduk dan ikut-ikut nimbrung.
“Eh, Onta! Lu tau nggak proses pemasakan nasi kos?”
“Ana la faham, Akhi.”
“Kalo lagi menu sayur, itu motongnya asal-asalan, wortel kulitnya nggak dikupas, kol potongnya gede-gede, terong kadang-kadang masih ada batangnya, bahkan masih utuh.”
Mereka menyimak dengan seksama.
“Katanyo kangkungnyo jugo dari brantas!”
“Nyong pernah nemu suket neng sayur’e.”
“Wallahu a’lam, ya Akhi.”
“Teras kunaon tiasa asin?” Sahrini Ciamis juga kepo.
“Nah, abang-abangnya kan kalo masak suka pake dandang sayur yang sebegitu besarnya dia aduk pake sekop matrial ngkoh. Uap panas dari dandang membuat pori-pori kulit terbuka dan keringat-keringat manja dari segala arah, termasuk ketiak. Jatuh. Menetes tak tertahankan pada nasi dan sayur yang tak bersalah. Menurut Kang Duloh tukang sempol, satu tetes keringat abang-abang kos itu lebih asin dari pada satu tronton garam beryodium. Itu kenapa menu kos kita rasanya asin.”
“Uwweeek.” Puad memuntahkan dahak di gelas es teh yang hanya menyisakan es batu yang mulai mencair.
“Ih, meni jorok maneh mah!” Sahrini kesal.
“Ana la qowi sami’-nya.”
“Tapi, kagak di gelas juga kali muntahnya.” Brayn pun tak setuju dengan perilaku Puad Si Onta.
“Cuma dahak faqot! Haza ana satru.” Gelas es berisi dahak itu ia tutup dengan plastik hitam dan diikat. Hingga, isi dari gelas tersebut tak terlihat. Sama sekali.
Lalu, mereka lanjut mengobrol dan membahas apapun. Semua dibahas. Semua diobrolin. Kuliner, olah raga, politik, percintaan, kesehatan, keamanan, kenegaraan, keadilan, kenegaraan tanpa keadilan. Pada saat lagi serius-seriusnya membahas mafia bansos, tanpa salam Si Fulan masuk ke kamar dan mengambil sebuah gelas es yang tertutup plastik hitam. Lalu, dengan santuy meminumnya.
Karena sudah dibiarkan 20 menit, es batu-batu di dalam gelas itu mencair. Menyatu dengan dahak Puad Si Onta.
“Lan, jang…” Brayn mengingatkan, tapi sudah terlambat. Semua isi gelas itu sudah berpindah ke dalam perut Si Fulan.
“Kok, Es’e ra legi, yo?” Fulan kebingungan setelah ia menyedot habis isi gelas es tersebut.
Semua orang yang berada di situ kaget. Terkejut. Melihat kejadian yang sangat Nauzubillah. Darmen menutup mulut, Rayden menutup mata, Sahrini menutup telinga, dan Puad menutup pintu masjid.
Brayn cepat-cepat mengambil gelas es tersebut dari tangan Si Fulan dan membukanya, Anjay! Isi dari gelas tersebut habis tak tersisa.
“Lan, waktu lu minum nggak ada rasa lengket-lengket? Kenyal-kenyal? Licin-licin? Gurih-gurih gitu?”
Bukan tanpa alasan, soalnya itu dahak. Lu tau, kan dahak-dahak musim kemarau manisnya kayak apa? Warnanya juga bukan ijo lagi, tapi udah kuning. Apalagi ini dahak onta. Onta asli. Asli pake shod!
“Ono, roso kenyel-kenyel ngono. Iki Es Jelly, toh?”
“Pala lu jelly. Itu dahak onta, Oon!”
Semuanya ketawa. Darmen, Rayden, Sahrini, dan Brayn ketawa dengan logatnya masing-masing. Apalagi Fuad, fasyeh banget dia ketawanya. Panjang 5 harokat! Hanya Si Fulan yang diam. Mau nggak jadi, tapi udah terlanjur tertelan. Mau dikeluarin, tapi udah sampai lambung. Mau nyalahin orang, tapi emang dia yang salah. Fulan malu, pengen boyong. Rasanya pengen pindah ke Planet Merkurius.