Renaissance, Peralihan Kejayaan Peradaban
Oleh: Muhammad Alwi Maftuhul Huda
Sebagai dua kota yang menjadi pusat peradaban pada masa itu, Baghdad dan Cordova saling berlomba-lomba untuk meningkatkan peradaban di wilayahnya masing-masing. Di Baghdad, Khalifah Al-Ma’mun mendirikan Bayt Al-Hikmah yang kemudian menjadi pusat kegiatan ilmiyah. Kemudian Khalifah Fatimiyyah juga mendirikan Bayt Al-Hikmah yang berisi lebih dari 600.000 judul buku dan 2.400 Al-Quran yang dihiasi dengan ukiran emas dan perak. Pada masa tersebut, banyak karya dari filsuf Yunani mulai diterjemahkan kedalam Bahasa Arab. Gerakan tersebut mendapatkan bantuan dari beberapa orang Kristen, Majusi dan Shabi’ah seperti George (771 M.), Baktisyu Ibnu Jurjis (801 M.), Yahya Ibnu Musawaih (777-857 M.) dan lainnya.
Sedangkan di Cordova sendiri, kebangkitan intelektual mulai berhembus semenjak Abdurrahman II yang menggantikan ayahnya Hikam bin Hisyam. Ia mendirikan universitas, memperluas dan menghias masjid sehingga Cordova saat itu menjadi kota paling maju di Benua Eropa. Muhammad Sayyid Al-Wakil (1998:321) mengatakan “ jika matahari terbenam, seluruh kota Eropa akan gelap gulita. Disisi lain, Cordova dengan megahnya terang benderang disinari oleh lampu-lampu umum. Sementara Eropa sangat kumuh, Cordova sudah dibangun seribu toilet. Eropa sangat kotor, sedangkan Cordova sangat menjaga kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap-atap istana Eropa bocor sana-sini, sementara istana Corodova dihiasi perhiasan mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis Namanya sendiri, sementara anak-anak Corodova sudah masuk sekolah”.
Sedang di Eropa, pada abad pertengahan, terjadi konflik yang berkepanjangan antara kaum cendekia dan penguasa gereja. Pada waktu itu gerejalah yang menguasai peradaban dari Eropa. Merekalah yang mengatur segala lini kehidupan masyarakat. Adapun konflik antara cendekia dan gereja disebabkan karena terdapat pertentangan didalam injil yang menurut cendekia tidak masuk akal dan menghalangi kemajuan penelitian ilmiah. Gerakan pemberontakan ini berkali-kali dilakukan untuk melawan penguasa gereja dan berkali-kali pula digagalkan oleh kekuasan gereja. Untuk meredam pemberontakan yang dilakukan oleh cendekia, gereja mendirikan Dewan Inquisisi untuk menghukum cendekia yang menyebarkan faham-faham yang bertentangan dengan gereja seperti faham Helio Centrism. Oleh gereja, kaum cendekia divonis sebagai atheis, tukang sihir dan kafir sehingga mereka harus dibunuh. Operasi pembantaian besar-besaran digalakkan, diperkirakan dari tahun 1481 hingga 1901 korban pembantaian dewan inquisisi mencapai 300.000 orang. Korban dibantai dengan cara yang beraneka ragam, diantaranya ada yang dibakar hidup-hidup seperti seorang sarjana fisika bernama Bruno, lalu ada Galileo Galiei dan masih banyak lagi.
Interaksi awal Eropa dengan muslim dimulai dari perang salib. Perang ini menyadarkan Eropa betapa tertinggalnya dunia mereka dari para muslim. Orang Eropa mendapati di Levant, wilayah Mediterania Timur yang dahulu bernama Syams banyak hal baru bagi mereka dan tehnik-tehnik menajubkan yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Oleh sebab itu, ketika terjadi gencatan senjata antara Pasukan Salib dan Pasukan Muslim, kaum Kristen Eropa memanfaatkan hal itu untuk memelajari pengetahuan mutakhir dibidang medis, pertanian, infrastruktur, industri serta melakukan hubungan kemitraan atau hubungan dagang dengan Kaum Muslim. Selain melalui Perang Salib, cara lain Kristen Eropa bersentuhan dengan dunia intelek muslim yaitu melalui jalur damai. Ketika eropa masih larut dalam kegelapan yang tiada ujung, Andalusia menjelma menjadi penerang bagi wilayah disekitarnya. Orang-orang Eropa berbondong-bondong untuk masuk universitas-universitas umat Islam. Banyak diantara mereka adalah tokoh gereja dan bangsawan Eropa. Mereka membuat Gerakan untuk menerjemahkan buku pengetahuan dan kitab-kitab karya ilmuwan muslim dari bahasa Arab ke bahasa mereka dan mulailah diajarkan ditempat asal mereka. Pada masa itu orang yang ingin memelajari ilmu pengetahuan harus memahami Bahasa Arab, maka tidak heran bahwa orang Eropa yang dapat bercakap-cakap dengan bahasa Arab merupakan bukti bahwa dia memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Selama berabad-abad, bahasa Arab menjadi bahasa “intelektual” berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Semenjak abad IX hingga abad XI banyak cendekia muslim menerbitkan karya mulai dari bidang filsafat, medis, sejarah, agama, geografi, fisika dan astronomi yang semua ditulis dalam Bahasa Arab. Kemudian pada abad XII baru dimulai penerjemahan karya cendekiawan muslim ke bahasa latin Eropa. Diantaranya kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina mengenai kedokteran dan pada akhir abad XII diterjemahkan kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih luas dan lebih dalam pembahasannya dibanding karya Ibnu Sina. Hingga abad XVI buku-buku terjemahan tersebut menjadi pegangan wajib bagi bangsa Eropa.
Setelah berabad-abad umat Islam menjadi guru besar bangsa Eropa, bangsa Eropa memutuskan untuk menggalakkan gerakan revolusioner untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dan memunculkan masa Renaissance. Masa itu merupakan transisi dari Eropa kelam menjadi Eropa terang benderang. Mereka penuh semangat untuk melakukan observasi dan pengembangan pengetahuan dari kitab-kitab karya umat Islam yang telah mereka terjemahkan. Hingga pada 17, Eropa mengalami puncak peradaban dengan menciptakan teknologi-teknologi mutakhir yang kelak digunakan untuk menjajah wilayah lain.
Namun, tatkala Eropa bangkit dari keterpurukannya, kaum muslim malah mengalami kemunduran. Terjadi perang saudara untuk merebutkan tahta sehingga kekuatan suatu negara menjadi lemah. Tak hanya soal politik, kaum muslim dibingungkan dengan permasalahan agama. Munculnya banyak aliran-aliran baru yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, menguras pemikiran para cendekia kreatif dan kritis. Sehingga mereka hanya terfokus membahas khilafiyyah dan melupakan observasi ilmu pengetahuan lain. Eropa tidak tinggal diam. Mereka memanfaatkan situasi yang tengah terjadi dengan menjadi pendukung satu pihak dalam perang saudara dengan harapan untuk memusnahkan keduanya. Hingga akhirnya pada abad XVI Islam terusir dari Spanyol dan terus mengalami kemunduran. Hingga saat ini tatkala Barat mulai berfikir tentang masa depan, teknologi, dan observasi pengetahuan, kita umat muslim masih terpuruk dalam perselisihan golongan yang tiada ujung.