Sebagai seorang santri, ketika sudah lulus menamatkan pendidikan di pesantren, pastinya akan sangat bersyukur sebab telah mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, berhasil melalui rintangan-rintangan untuk menggapai tujuan akhir, yaitu tamat jenjang sekolah maupun madrasah.
Lantas, ketika sudah mencapai dalam fase tersebut, ia akan dihadapkan terhadap dua pilihan, antara bertahan atau pulang menuruti keinginan, seperti melanjutkan pendidikan di institusi lain, atau menjalin pernikahan dengan kekasih pujaan.
Persoalan-persoalan seperti ini sudah lumrah dialami bagi santri tingkat akhir, lalu bagaimana cara untuk menyikapi problema seperti ini? Untuk menjawabnya, mari kita ulas beberapa resep-resep dengan berpedoman terhadap pemikiran-pemikiran ulama salafussholih yang tertera dalam kitab-kitab turats…
Langkah utama yang harus ditempuh tentunya dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang guru berikan, dengan cara berkonsultasi terhadap beliau. Kita tahu, guru merupakan seseorang yang telah mengajari pengetahuan selama kita menuntut ilmu, didalam Kitab Ta’limul Muta’alim terdapat sebuah Hadist Nabi, bahwasanya,
خيرلآباء من علّمك
“Sebaik-baik orang tua adalah yang mengajari ilmu”
Apalagi beliau-beliau yang telah membimbing murid-muridnya memahami ilmu-ilmu syariat dan fan-fan lainnya, hingga berhasil lulus jenjang pendidikan, makanya dalam sebuah syair disebutkan:
إِن المعلمَ والطبيبَ كلاهُما * لا ينصحانِ إِذا هما لم يُكرما
فاصبرْ لدائكَ إِن أهنتَ طبيبَهُ * واصبرْ لجهلكَ إِن جفوتَ مُعَلِّما
Antara Dokter dan Guru itu sama
Keduanya tidak akan memberikan resep atau nasihat jika tidak dihormati
Oleh karena itu, Sabarlah mengenai penyakitmu jika jauh dari dokter
Juga kebodohanmu jika jauh dari guru.
Jika dianalogikan, syair tersebut mengibaratkan bahwasanya guru itu sama saja dengan dokter, jika kita terlalu menyepelekan bahkan merendahakan dokter maka penyakit yang sedang diderita akan sulit membaik, lantaran ikhtiar untuk sembuh sudah salah, karena menyepelekan ahli kesehatan yang sudah mumpuni.
Sama saja dengan guru, Naudzubillah, jika sampai tidak menghormati, maka siap-siap saja, akan diliputi kebodohan dan digandrungi masalah yang membuat resah. Akhirnya, dengan kita mengikuti saran-saran beliau pastinya dilema antara boyong atau menetap di pondok menemui jalan terang.
Tak hanya cukup sampai disitu, jika keputusan final adalah boyong dari pesantren, kemudian sudah mendapat restu dari Masyayikh dan Guru-guru yang telah mengajar, seorang santri musti tetap menjaga hubungan baik dengan beliau-beliau semua, salah satunya yaitu membiasakan untuk selalu mendoakan beliau-beliau semua, sebut namanya dalam setiap Al-Fatihah, jadikan hal itu sebagai cara kita untuk mencari keberkahan, Dalam sebuah keterangan dari karangan Syeikh Az-Zarnuji, disebutkan sebuah sya’ir:
فَذَاكَ مُرَبِّ الرُّوْحِ وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ ** وَهذَا مُرَبِّ الْجِسْمِ وَالْجِسْمُ كَالصَّدَف
“Ustadzku adalah pengasuh jiwaku dan jiwa adalah bagaikan mutiara, sedangkan orang tuaku adalah pengasuh badanku dan badan bagaikan kerangnya.”
kemudian, selalu menyebutkan kebaikan guru, dimanapun kita berada usahakan jangan sampai membicarakan dari aib serorang guru, sebab jika sekecil aib beliau kita sebutkan, itu bisa menjadi awal dari keruntuhah ilmu yang telah diperoleh darinya, Imam an-Nawawi melalui Kitabnya At-Tibyân fî Adâb Hamalati Al-Qurân menyebutkan sebuah doa
. اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي
“Ya Allah, tutupilah aib guruku dariku, dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku.”
Selepas itu, jika ada waktu senggang, jangan lupa untuk sowan. sebab, kita tahu sowan adalah tradisi pesantren yang tak boleh dilupakan, juga menegaskan kembali perihal darimana dahulu kita dididik dan dibekali ilmu pengetahuan, agar tidak seperti kacang yang lupa kulit terhadap jasa yang diberikan, Sebuah kaidah arab mengatakan,
“من لم يعرف الأصول حرم عن الوصول”
Artinya: “Siapa yang melupakan asalnya, maka sulit untuk mencapai kesuksesan.”
Sekian, Semoga bermanfaat
Wallahu A’lam.