Rihlah Ziarah Santri Al-Mahrusiyah: Maqam Syekh Ibrahim Asmoroqondi Tuban
Setelah ziarah dari Maqam Sunan Drajat Paciran, Lamongan. Rihlah selanjutnya ke Maqam Syekh Asmoroqondi Tuban. Tuban terkenal sebagai bumi para wali. Mengutip dari atlas walisongo, Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan Makdum Brahim Asmara atau Maulana Ibrahim Asmara. Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), beliau diperkirakan lahir di Samarkand.
Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmoroqondi sering disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan kerumitan dalam meneliti kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya. Beliau Bersama rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur Pelabuhan Tuban, yaitu Gesik untuk berdakwah menyebarkan ajaran islam kepada penduduk sekitar Gesik. Beliau juga pernah mengarang kitab tulisan tangan yang dikenal dengan nama ‘Usui Nem Bis’, yaitu sejilid kitab berisi enam bismillahirrahmanirrahim. Kitab tersebut ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Bisa disimpulkan berarti saat beliau syiar agama beliau juga menulis kitab.
Lanjut cerita perjalanan kita ya teman-teman. Rombongan ziarah sampai di Tuban sekitar jam 7 malam. Maka dari itu pas sore kita sudah diinstruksi dari panitia untuk berniat jama ta’khir qoshor maghrib dan isya’. Saya tidak langsung ke maqam, melainkan mencari tempat untuk mengisi daya laptop. Ternyata ada jasa pengecasan hp dan laptop. Dengan membayar 3 ribu, daya bisa terisi full. Selama ziarah baru nemu jasa cas di Asmoroqondi.
Setelah mengurus laptop saya menghampiri mbak-mbak ndalemyang sedang nderekke para nawaning dan gawagis kecil di masjid sekitar parkiran bus. Karena sudah masuk waktu sholat isya’ akhirnya saya memutuskan untuk sholat sekalian. Jujur saya belum pernah ke Maqam Syekh Asmoroqondi, makanya pas saya keluar dari mushala saya sempat bertanya dengan ibu pedagang sekitar parkiran jalan menuju maqam yang mana. Setelah menemukan, saya menelusuri jalanan yang dipenuhi para penjual oleh-oleh khas ziarah. Saya merasa jauh sekali dari parkiran ke maqam ternyata memang benar adanya.
Kondisi saat saya masuk ke lokasi maqam terdapat banyak maqam dengan berbagai bentuk nisan. Kata sang penjaga maqam, kalau nisannya lancip itu sahabat, kalau nisannya lurus berarti itu perempuan. Sedangkan maqam Asmoroqondi sendiri cungkupnya besar. Di langit-langit maqam juga terdapat ukiran yang begitu rumit, entah itu ukiran apa saya juga kurang tau. Di dalam kompleks makam juga terdapat sebuah masjid, yang terletak di sebelah timur makam. Saat saya masuk ke dalamnya, terdapat empat soko besar yang menjadi penopang kuat bangunan masjid. Uniknya, banyak burung yang terbang bebas di dalam masjid.
Perkiraan saya, di sana sudah hampir selesai tahlilnya, ternyata pas saya kesana baru saja dimulai, karena menunggu dzuriyyah rawuh. Dan lebih kagetnya, ternyata tidak boleh menggunakan pengeras suara. Walhasil beliau Gus Melvien memimpin dengan suara yang sangat lantang tanpa menggunakan pengeras suara. Biasanya di maqam wali yang lain juga tidak boleh, namun ketika dari pihak panitia izin ke penjaga maqam tentunya Al-Mahrusiyah diberikan keistimewaan tempat, waktu dan lainnya.
Peziarah dari daerah luar yang datang lumayan banyak, sehingga kita bergantian suara dengan jama’ah ziarah lainnya. Maqam di dalam benar-benar dipenuhi santri Al-Mahrusiyah. Setelah tahlil dan dzikir selesai, saya dan rekan saya langsung bergegas menuju ke bus. Ternyata ada instruksi dari panitia bahwa kita masih ada waktu banyak sampai jam setengah 10. Hingga pada akhirnya peserta ziarah diperbolehkan untuk berbelanja di sepanjang jalan dari keluar maqam sampai parkiran bus. Harga oleh-oleh ziarah juga terkadang ada yang murah dan ada juga yang harganya selangit. Biasanya kalau sejenis krupuk di bungkus kecil itu 10 ribu dapat 3 kalu enggak 4. Karena banyak teman saya yang tidak ikut ziarah, alhasil kita juga harus membelikan mereka oleh-oleh.
Adat saling memberi di pondok putri memang erat, tapi seru. Setiap ada yang keluar kemana saja pasti mereka merasa berhutang dengan orang yang telah memberinya sesuatu. Misalnya saat ziarah seperti ini terkadang kita yang ziarah tidak kepikiran membeli untuk diri kita sendiri, tapi kepikiran untuk membelikan orang-orang yang tidak ikut ziarah. Solidaritas anak pondok memang harus diakui sangat mantab. Mereka bahkan selalu merasa berhutang budi kepada semua orang yang baik hati dengan kita. Kalau itu sih wajar ya. Harus diakui di Mahrusiyah memang seperti itu tentang adat saling memberi.
Setelah lelah berbelanja karena cuannya mulai menipis. Hehe. Para peserta ziarah segera Kembali ke parkiran bus untuk melanjutlkan rihlah ziarah selanjutnya yaitu ke Sunan Bonang. Karena ziarah memang dibagi menjadi dua pertama, ziarah walisongo bagi Tamatan Madrasah Diniyah dan MA serta SMK. Kedua,ziarah wali lima bagi lulusan MTs dan SMP saja. Akhir dari ziarah wali lima di Sunan Bonang. Maka dari itu setelah dari Asmoroqondi para peserta ziarah wali lima berangkat ke Sunan Bonang dulu. Baru disusul dengan para peserta ziarah walisongo.
Penulis: laelizakiaa_
Editor: Elnahrowi