Rihlah Ziarah Santri Al-Mahrusiyah: Raden Ja’far Shodiq Sunan Kudus
Santri dan Dzuriyyah Al-Mahrusiyah sedang berziarah di maqamSunan Kudus
Read Time:2 Minute, 45 Second
Suhu udara di Sunan Kudus rasanya sangat berbeda ketimbang di Maqam Sunan Muria. Ketika berada di Sunan Muria, saya selalu mengeluh kedinginan. Ketika di Sunan Kudus mengeluh kepanasan. Rombongan sampai di parkiran Sunan Kudus tepat ditengah siang bolong, kisaran jam 11 siang lebih.
Suhu saat itu sangat panas. Panasnya terik matahari juga membuat keadaan memanas. Saat saya sedang menunggu elf terjadi sebuah perselisihan. Begitu elf sudah kembali ke parkiran, kernet memaksa yang diangkut adalah putra terlebih dahulu, padahal putri sudah menunggu sejak tadi. Namun, melihat jumlah putri yang sedikit maka kernet memilih mendahulukan putra.
Putri pun berteriakan mengeluh atas kebijakan itu. Panitia yang melihat langsung menghampiri. “Putri dulu! Semua putra keluar! Jangan ada yang masuk!” ucap salah satu panitia “Lahh, gimana to pak. Kalo putri dulu terlalu sedikit, mending sekalian putra ajah!”Jawab supir, ikut menyampuri.
“Ndak bisa pak, kalau putri ini di tunda yaa ziarah ga bisa dimulai. Soalnya kami nunggu yang terakhir ini!” Semuanya ikut memanas.
Namun salutnya panitia yang sempat nyentak tadi, selama terjadi percekcokan, tak lama kemudian memberi senyum dan mengatakan “salaman sek toh pak, Nahh gitu. Sampeyan keren pak. Apalagi potongannya, Ma Sya Allah.” Pak kernet pun menyautinya dan balik memberi senyuman. Saya langsung membatin, “Ko bisa semudah itu dia mencairkan suasana? dan semudah itu dia mengubah emosi menjadi biasa lagi.” Jujur saya sangat tersalut-salut atas teknik si panitia dalam mencairkan suasana secara drastis. Emosi yang begitu tinggi bisa turun mendingin hanya dengan beberapa ungkapan saja. Selama diperjalanan saya masih kekaguman akan skillnya.
Sampai sudah saya di depan monumen menara Kudus, monumen bersejarah peninggalan Sunan Kudus. Para peziarah menuju maqam melewati gapura beratap genting dan bila jalan terus ke barat ada gapura paduraksa besar sebelum belok kanan. Di depan regol ada tembok kelir yang sengaja dibangun untuk membatasi pandangan didalamnya setiap orang yang melewati.
Jikalau anda berziarah ke Sunan Kudus, maka banyak hal yang bakal menarik perhatian anda. Selain Menara Kudus, ada juga gapura paduraksa dan candi bentar di sekeliling masjid dan terdapat pula di ruang utamanya. Sekilas Sunan Kudus memang mengedepankan pendekatan budaya yang sama seperti dakwah Sunan Kalijaga.
Saya kembali melanjutkan perjalanan, hingga sampai di gapura yang terakhir. Tahlil kali ini dibawa langsung oleh Gus Melvin atau Gus Iing dengan pembacaan doa oleh Gus Nabil. Seperti biasanya, peziarah mengikuti tahlil dengang takzim menghadap ke jirat Maqam Sunan Kudus, yang hingga saat ini masih ditutupi kelambu sehingga tak terlihat maqam asli beliau.
Sama halnya di Sunan Muria, dengan tempat yang tak begitu luas namun peziarah begitu banyak terus mendatang, dengan terpaksa mereka harus menunggu kami selesai, karena seluruh tempat di lungguhi oleh santri. Bukan di sekitaran maqam saja, di Masjid pun sama ramainya. Ada yang sedang beribadah, ada juga yang sekadar mengabadikan momen dengan mengambil gambar selfinya dengan bangunan warisan Sunan Kudus.
Pembacaan doa sudah selesai dibacakan oleh Gus Nabil, seluruh jama’ah langsung diarahkan untuk pulang segera. Saat itu saya berada di rombongan terakhir, karena harus menemani rekan saya mengambil foto tamatan Madin (Madrasah Diniyah).
Setelahnya kami langsung pulang dan disambutnya oleh para tukang ojek. Karena bagi mereka kami adalah sumber rezeki, maka kami dijadikan bahan rebutan. Sebab itu sejak tadi siang banyak perselisihan, lebih-lebih para supir transportasi parkiran-maqam. Semuanya tergesa-gesa dalam mengendarai, saya saja beberapa kali ingin bertabrakan dengan kendaraan lainnya. Untung saja, kami masih diberi keselamatan.