Rumpun Sajak Kehidupan
Meratap Harap
Gelap dan lelap
Kesiur angin seperti berjalan dalam senyap
Menggenggam harap
Sepetak sawah membentang, berselimut ilalang
Bersama malam nan permai, mengurai
Langkah-langkah ringan mengejar bayangan seakan terbenam ketika purnama beranjak legam
Semenjak senyuman bukanlah rembulan yang berkelopak awan terserak
Sesaat ketika gerimis sewarna dengan irama magis
Malam adalah parodi, gerimis sebagai melodi dan kerinduan abadi
Laknat diatas Nikmat
Aku pernah berbincang dengan sang Bayu; ia mengantarkan jiwa-jiwa yang lapar setelah raganya tak sekalipun pernah tiada kenyang.
Katanya: ada kalanya mesin pencacah makanan bosan dengan pekerjaannya, hingga ia mengajak kawannya untuk rehat tanpa tamat.
Aku berceletuk: apakah itu harga mati? Hingga pasti takkan ada kata nanti?
Sang Bayu menjawab: bukankah tak pernah ada yang tercegah ketika kita tak pernah goyah melangkah?
Aku membuka kisah-kisah lama, perihal para priyayi yang tak merasa kaya, dan orang-orang bijak yang mengeluh jika kehabisan sajak.
Aku seperti tertarik pada dimensi yang tanpa batas dan tak memiliki permukaan keras; aku terombang-ambing, hingga seakan menjelma sebuah gema; peta kata petaka.
Lalu, ketika tersadar, aku berkata kepadamu: Haruskah kutuang air kepadamu seperti Abu Nawas yang menuangkan air pada saku baju saudara raja yang selalu memasukkan makanan dari sebuah perjamuan?
Sebuah Perjalanan
Aku melewatkan sebuah malam dengan secangkir kopi hitam pekat dengan busana serba coklat.
Mendengarkan kisah-kisah lama, menuliskan kembali rima yang rindu bergema.
Aku menemukan senyumanmu sementara goresan aksaraku tak kunjung tertera; seakan sosokmu adalah tema untuk penaku bergema.
Senyumanmu adalah malam dengan bintang-bintangnya, sebuah selimut dari balutan rasa kalut.
Aku mungkin angin malam yang dingin, mungkin irama daun-daun yang bergesekan setelahnya, atau mungkin tarian asap dengan bermacam aroma: sebuah kepingan dari suatu kesempurnaan. Ibu.
Engkau adalah kalimat maha dahsyat, tentang beribu nikmat, sebagai lajur alamat. Namun, aku belum mampu mengeja kalammu selepas senja, selepas denyar ini bersandar manja.
Engkau adalah peta, sementara aku adalah kata-kata yang bercita mengukirkan sebuah cinta.
Oleh:ย Iwan Nur
Sumber gambar:ย Liputan 6