Hukum bacaan saktah, tentu bukan hal yang asing lagi bagi para pembaca al-Qur’an. Pada pembahasan materi terkait tajwid, saktah termasuk dalam pembahasan yang umum dan materi yang awal disampaikan.
Saktah dalam membaca al-Qur’an adalah tanda yang mengisyaratkan untuk berhenti sejenak tanpa mengambil nafas. Saktah berada diantara waqof dan washol, namun tidak dengan sempurna. Tidak boleh waqof sempurnakarena terdapat alasan untuk washol, dan tidak boleh washol sempurna karena terdapat alasan untuk waqof. Saktah sama seperti waqof karena berhenti, namun dalam waktu bersamaan saktah juga sama dengan washol karena tidak diperbolehkan mengambil nafas.
Lalu apakah ada alasan tertentu yang menyebabkan tanda saktah ini terdapat dalam al-Qur’an? Apakah saktah merupakan tanda yang memang bersifat tauqifi (berasal dari Tuhan) ataukah hasil ijtihadi para Ulama’?
Saktah, Tauqifi atau Ijtihadi?
Saktah adalah bacaan yang bersifat tauqifi, atau berasal dari Allah. Kemudian bacaan ini diajarkan turun-temurun oleh Rasulullah, maka tidak diperbolehkan membaca saktah pada tempat-tempat yang telah ditentukan dengan berdasar pada riwayat yang shahih.
Dimana saja letak saktah? Dan mengapa harus saktah?
Menurut qiro’ah Ashim riwayat Hafsh, bacaan saktah yang disepakati dalam al-Qur’an ada empat. Yaitu pada QS. Al-Kahfi: 1-2, QS. Yasin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27, dan QS. Al-Muthaffifin: 14. Berikut ayat-ayat saktah dan penjelasannya.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ ١ قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًاۙ ٢
Artinya: “(1)Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab Suci (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak membuat padanya sedikit pun kebengkokan.(2)(Dia menjadikannya kitab) yang lurus agar Dia memberi peringatan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.”
Faktor waqof adalah agar tidak terjadi pertemuan dua lafadz yang maknanya bertolak belakang (عوجا – قيّما ) yang keduanya secara lafadz mungkin untuk menjadi susunan shifat-maushuf. Faktor washol adalah karena lafadz قيّما berkedudukan sebagai hal, lafadz yang menjadi shohibul hal adalah الْكِتٰبَ dan amilnya adalah اَنْزَلَ. Maka seharusnya hal tidak bias dipisah dengan shohibul hal dan amilnya.
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ ٥٢
Artinya: “Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” (Lalu, dikatakan kepada mereka,) “Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah para rasul(-Nya).”
Faktor waqof adalah agar nampak jelas bahwa dalam satu ayat tersebut berisi dua ucapan atau dua jumlah yang merupakan percakapan antara orang kafir dan pernyataan Allah, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman dengan memaknai lafadz هٰذَا sebagai penjelas dari kata sebelumnya. Faktor washol adalah karena jumlah yang pertama merupakan pertanyaan dan jumlah yang kedua merupakan jawabannya, dimana pertanyaan pada jumlah yang pertama harus segera dijawab dengan tujuan agar orang-orang kafir yang bertanya tersebut benar-benar merasakan penyesalan dan kerugian mendalam.
وَقِيْلَ مَنْ ۜرَاقٍۙ ٢٧
Artinya: “dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang (dapat) menyembuhkan?”
Faktor waqof adalah agar tidak terjadi idghom yang berpotensi membuat rancunya lafadz, apabila tidak ada saktah maka akan terdengar sebagai lafadz مَرَّاقٍ yang bermakna Orang yang sering berperang. Faktor washol adalah khobar (مَنْ) dan mubtada’ (رَاقٍ) ketika dibaca dalam bentuk istifham harus disambung.
كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ١٤
Artinya: “Sekali-kali tidak! Bahkan, apa yang selalu mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”
Faktor waqof adalah agar tidak terjadi idghom yang berpotensi membuat rancunya lafadz, apabila tidak ada saktah maka akan terdengar sebagai lafadz بَرَّانَ yang bermakna Dua orang yang menepati janji. Faktor washol adalah huruf (بَلْ) dan fi’il (رَانَ) ketika dibaca harus bersambung.
Wallahu a’lamu bi ash-showabi