Santri : Membangunkan Nasionalisme yang Tertidur
Ditengah gencarnya budaya atau bahkan gaya hidup ala barat menelusup ke awak tanah air kita, dari situlah rasa cinta tanah air kita mulai terkikis. Hal itu terjadi ke seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, bahkan generasi pemuda yang sejak dahulu, sekarang, sampai masa yang akan datang yang peranannya sebagai pilar, penggerak, dan pengawal pembangunan nasional dan kontribusinya sangat diharapkan oleh tanah air kita. Bukan cuma ngutik gadget, scroll instagram naik turun, membalas cuitan di twitter, terlebih hanya sebagai netizen yang tidak cerdik mengambil informasi, lalu beropini tanpa memberi solusi. Payah.
Ketika berkaca pada realita, pada awalnya Indonesia adalah negara yang kaya dengan sifat kebangsaan, hingga saat ini sampai pada puncak tumpukan permasalahan. Salah satu hal remeh dan kecil tapi memiliki makna yang sangat penting dan berpengaruh terhadap segala kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tergerusnya rasa nasionalisme dan patriotisme generasi muda, seakan mereka melupakan begitu saja betapa gigihnya para mujahid melawan pasukan bughat (pembangkang negara) yang berpuluh-puluh tahun menjajah negeri ini.
Santri Membangunkan Nasionalisme yang Mulai Hibernasi
Kemerdekaan Indonesia merupakan suatu kabar membahagiakan bagi seluruh masyarakat pada waktu itu. Setelah proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Belanda ingin mengoyak kembali kemerdekaan Indonesia yang pada saat itu belum diakui. 10 November adalah meledaknya pertempuran antara arek Surabaya melawan tentara Belanda yang dibantu Inggris hingga pada akhirnya pasukan yang dipimpin oleh kalangan ulama dan santri tersebut menghasilkan kabar yang sangat menggembirakan bagi tanah air, hingga sampai saat ini kita bisa hidup dengan aman, damai, dan tentram.
Tanah air adalah suatu amanah berat bagi kita setelah kemerdekaan digaungkan, terutama kita yang diberikan oleh Allah SWT berupa kemampuan dan keterampilan untuk membangun dan merawat, tanggung jawab yang mesti dilakukan.Tanggung jawab semacam ini sangat berat bagi kita, karena menjaga itu membutuhkan konsisten dan istiqomah, ambil saja contoh yang sangat mudah dan sering kita jalani. Misal, kita punya hafalan ayat al-Qur’an atau bait nadhom maka kita wajib menjaga, dengan apa menjaganya? Ya dengan konsisten dan istiqomah ngelalar. Tanpa sebuah rasa konsisten dan istiqomah hafalan akan hilang begitu saja dan pergi tanpa bekas sedikitpun. Istiqomah itu sangat sulit karena istiqomahmembutuhkan komitmen yang sangat kuat, lalu istiqomah sendiri akan mudah dicapai ketika didasari dengan rasa cinta. Dengan cinta hal yang berat dipikul akan terasa mudah dijinjing. Begitu juga dengan tanah air kita, dengan apa kita menjaga? Dengan mencintai tanah airlah kita menjaga. Entah itu menjaga budaya, menjaga akhlak kita sebagaimana karakter bangsa Indonesia yang terkenal ramah, sopan dan santun, atau menjaga lainnya. Dengan begitu kita akan merasa ringan mengemban amanah yang berat ini. Sahabat Umar bin Khattab mengatakan bahwa :
لؤلا حب الؤطن لخ ب بلد السؤء فبحب الاؤطان عمرت البلدان
“Seandainya tidak ada cinta tanah air, niscaya negeri yang hancur akan semakin terpuruk. Maka dengan cinta tanah air, negara-negara akan termakmurkan.”
Begitu juga “Hubbul wathan minal iman” slogan yang sudah tak asing lagi di telinga kita, cinta tanah air merupakan bagian dari iman dan memang benar ajaran Rosululloh SAW. Begitu juga Sayyidina Ali bin Abi Thallib mengatakan :
عمرت الدنيا بحب الا ؤطان
“Dunia akan termakmurkan dengan cinta tanah air”
Jadi semua jawaban ada ditangan kita, terutama santri. Semua hal yang berangkat dari kita maka outputnya juga kembali ke kita. Secara rasional, kita sebagai santri yang notabene berada di dalam lingkungan pondok pesantren yang mempelajari ilmu pengetahuan agama yang mana tolak ukur sebuah bangsa itu bisa dilihat dari sisi pendidikan warga tersebut, secara otomatis kontribusi santri terhadap bangsa itu melewati ilmu atau pendidikan. Seperti contoh pondok pesantren Lirboyo Kediri, pondok pesantren Lirboyo adalah pondok pesantren yang sampai sekarang sangat berkontribusi dalam menyalurkan ilmu melalui buku-buku yang diterbitkan oleh santri. Bukan hanya buku tentang ilmu agama namun juga pengetahuan kebangsaan, yang hadir memberi wajah baru santri dihadapan publik.
Secara tidak langsung ilmu tersebut bisa menjadi cikal bakal nasionalisme semua orang pada umumnya dan seorang santri khususnya. Kita sebagai penerus bangsa hukumya fardu ‘ain, untuk menjaga keutuhan, kedaulatan, serta kemakmuran negeri ini menurut ceramah dari guru kita KH. Said Aqil Siradj yang penulis dengarkan. Kepedulian pesantren terhadap bangsa sangat terlihat juga dengan perjuangan santri atau ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, Jombang, Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan, KH. Bisri Musthofa dan KH Musthofa Bisri, Rembang, KH. Bisri Syansuri, KH Abdul Karim, KH Marzuki Dahlan, dan tentunya KH. Mahrus Ali yang juga memberikan banyak sumbangsih terhadap kemerdekaan Indonesia.
Ada secuil ingatan penulis yang sampai saat ini masih sedikit tersimpan di memori, penulis teringat kampanye yang disuarakan Bung Hatta “Jangan tanyakan lagi apa yang diberikan negara kepadamu! tanyakan pada dirimu sendiri apa yang sudah kau berikan pada negara!”. Saat ini, esok, lusa atau bahkan seterusnya Indonesia butuh kita, Indonesia sedang membutuhkan kita. Kalau bukan kita siapa lagi? Nasionalisme di negara kita ini tidur atau ketiduran? Kalau tidur tolong dibangunkan, kalau ketiduran maka harus segera dibangunkan. Mengerti sampai sini?
Oleh: El’s