Sebelum Selesai
Sebelum Selesai
2005
Tidak ada keberatan yang nampak, mungkin diam adalah cara terbaik untuk menahan segala sesak dan rasa. Aku akan berangkat menuju Pondok Pesantren. Sudah tak asing lagi dengan pertikaian diantara dua orang yang paling kusayang. Ya mungkin inilah resiko pernikahan karena perjodohan tanpa didasari cinta yang dalam. “Ayah…. Ibu… aku akan berangkat” pamitku pada orang tuaku yang sedang tak akur. “Berangkat sama ayah saja ya nduk.. ibuk di rumah saja”, ucap ibuku “Nggeh ibuk, kaka pamit berangkat mondok” jawabku. Peluknya menjadi bekalku mencari ilmu. Ini pertama kalinya aku mondok, jelas hati kecilku ingin diantar sampai pondok dengan kedua orang tuaku, namun keadaan inilah yang harus kuhadapi. Tak apa pikirku, karna perselisihan keluarga itu hal yang lumrah. Meskipun sesekali harus mengusap air mata yang sering kali tak tertahankan.
Sampailah di pondok pesantren, “Hati hati ya nduk… belajar yang serius, biar ayah dan ibumu seneng” pesan ayahku sambil mengambil dompet dari kantongnya dan menyerahkan beberapa lembar uang sebagai uang saku untukku. “nggeh yah.. matur sembah nuwun. Kaka pamit nggeh. Wassalamu’alaikum” pamitku pada ayahku sambil mencium tangannya “wa’alaikumussalam” jawab ayah seraya melambaikan tangan sebagai tanda tiba waktunya berpisah.
Masuk ke lingkungan baru ini, perlahan aku mengerti dan nyaman. Hingga aku bisa bertahan selama beberapa tahun. Tak hanya itu, aku juga merasakan banyak terjadi perubahan pada diriku. Aku juga telah berhasil menorehkan beberapa prestasi yang sudah biasa ku banggakan sendiri. Mengapa demikian ? Karna aku tau, ibu dan ayah tak pernah mau tahu akan prestasiku. Setiap kali aku mendapat piagam ataupun sertifikat… “ibu cuman pengen kamu berbakti sama orang tua dan menjaga akhlak” itu yang Ibu katakan tanpa sedikitpun menorehkan pandangan ke sertifikat yang telah kuserahkan. Pada akhirnya, kusimpan sendiri penghargaan-penghargaan ku, tanpa pernah kutunjukkan lagi pada orang tuaku.
Begitupun ayah, “yah.. ini rapot hasil ujian…” ucapku sambil menyerahkan rapot hasil ujianku yang mendapat nilai tertinggi. “tanda tangan dimana ndukk?” tanya ayah “disini yah.” Sambil kutunjukkan tempat tanda tangan. Kemudian setelah selesai tanda tangan, ayah langsung menutup rapotku “yah.. ayah nggk pengen lihat nilai-nilai kaka?” tanyaku “nggak nduk.. nilai itu nggak penting. Yang penting kamu berbakti dan menjaga adab serta akhlakmu itu sudah cukup” begitu kata ayahku. Semenjak saat itu, aku tak pernah menunjukkan rapotku lagi kepada ayahku.
Namun hal ini tak meleyotkan semangatku, meskipun tiap kali aku mendapat prestasi tak pernah mendapatkan apresiasi dari orang tuaku, aku tak berhenti. Aku terus berusaha semaksimal mungkin untuk terus belajar dan berprestasi.
2008
Tiga tahun terlewatkan, tanpa terasa telah melaluinya. Liburan telah tiba, saatnya bagiku untuk pulang dan bertemu dengan keluarga tercinta. Sampai dirumah, langsung kutemui ibuku, bersalaman dan berpelukan setelah setahun lamanya tak bertemu. “ibu pengen kamu nggak usah kuliah ya nduk… ibu nggak kuat biayai kamu lagi, ayah sudah nggak kerja..” tiba tiba ibuku mengatakan hal itu. Memang pernah kubicarakan dengan ibuku tentang keinginanku melanjutkan Pendidikan ke jenjang perkuliahan.
Ku hanya diam membisu dan masih melinangkan air mata. Beberapa saat kemudian “Nggeh bu, kaka nggak usah kuliah, tapi kaka lanjut mondok boleh?” ucapku pada ibu yang sedari tadi belum melepas dekapannya. “iya nduk. Tapi setahun saja yaa.. maafkan ibu sekarang ibu cuman bisa jualan di toko kecil. Toko ibu yang dulu sukses, sekarang bangkrut sebab ibu serahkan pada ayahmu. Ayahmu terkena tipu dengan orang hingga menghanguskan uang ibuk puluhan juta. Memang semua ini cobaan dari Allah buat kita. Makannya doakan ibu dan ayah ya nak” Kata ibuku kepadaku. Aku bisa apa selain meneteskan air mata dan menganggukkan kepala.
Sebulan berlalu, tiba saatnya kembali kepondok pesantren. Sehari sebelum kembali ke pondok, ibu memanggilku “nak… kamu kuliah yaa.” Kata ibuku “kenapa bu? Kenapa tiba-tiba mimintaku kuliah?” tanyaku “ibu pengen kamu sekolah setinggi-tingginya, jangan sampai pendidikanmu nggak tuntas seperti ibu dan ayah” aku menangis dan mengiyakan ucapan ibuku.
Setahun berlalu…
Biaya kuliah memang tak sedikit, apalagi bagiku dan keluargaku yang sedang diuji dengan masalah perekonomian. Semakin sulitnya keadaan keluarga membuatku memutuskan untuk berhenti kuliah. Keinginan ini masih belum sempat kuutarakan pada ibu dan ayah.
Suatu hari, seorang dosen memasuki kelasku saat kelas sedang tidak ada mata kuliah. Beliau menawarkan beasiswa bagi siapa saja yang berminat untuk mendapatkan beasiswa yang berupa kuliah gratis dan biaya hidup. Dari sini aku mulai berpikir, bisakah aku usahakan hal ini? Apa ini jalan yang Allah berikan padaku? Akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar beasiswa ini.
Karena saat ini posisiku sedang di pondok pesantren, akhirnya aku harus menghubungi ibuku untuk membawakan persyaratan beasiswa, salah satunya adalah sertifikat dan piagam penghargaan yang kupunya. “ibu nggak nyangka, kamu banyak berprestasi ya nak. Ibu turut senang atas prestasi-prestasimu. Semangat terus. Do’a ibu menyertaimu.” Tulis ibuku dalam surat yang ibu cantumkan di map yang berisi semua sertifikatku. Untuk pertamakali ibu mengapresisasi sesuatu yang kuraih. Linang air mata membasahi pipiku menandakan tangis kebahagiaan yang tak terhingga. Bertahun-tahun lamanya aku selalu berbahagia sendirian dengan suatu yang kuraih, sekarang ibuku juga turut bahagia karna itu.
Semua persyaratan telah tekumpul dengan lengkap, tiba saatnya wawancara. Saat dimana ditentukan mana yang lolos dan bisa mendapatkan beasiswa ini. Allah telah mempermudah jalan ini. Aku bisa menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan kepadaku dengan lancar. Akupun juga bisa menunjukkan bakatku dengan maksimal.
Satu minggu setelah wawancara, ayahku menemuiku di pondok. Waktu itu ketika sambangan. “Nak, ibu pengen ngomong sama kamu. Ini hp nya. Ibu sakit, jadi cuman ayah yang kesini” Ayah menyerahkan handphone kepadaku. Langsung saja aku menelpon ibuku “haloo assalamu’alaikum” … setelah beberapa lama mengobrol, tiba-tiba ibu mengatakan “nak, kamu pulang saja ya.. nggk usah mondok lagi… ibu sakit dan harus operasi… ayahmu masih belum dapat pekerjaan… ibu sudah nggak punya uang lagi… ibu pengen kamu pulang” langsung saja air mata berlinang deras dari kelopak mataku. Aku bingung harus melakukan apa dan harus bagaimana.
Tiba-tiba, semua menjadi gelap gulita. Hitam kelam seakan tak ada kehidupan. Aku jatuh sakit dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Beberapa waktu kemudian aku tersadar dengan keadaan terinfus dan berbaring di ranjang rumah sakit. Seketika itu aku langsung meminta untuk pulang, meski dokter melarang. Aku bersikeras untuk pulang, sehingga akupun diizinkan pulang dengan dibekali obat jalan. Aku tidak mau biaya rumah sakit dan obatku malah membebani keluargaku. Pikirku saat itu.
Sampai di rumah, ibu menyambutku dan langsung memelukku dengan tubuh yang kurus termakan usia dan sakitnya. Linang air mata tak terhindarkan dariku dan ibuku. “ibu.. aku pulang… maaf yaa buu..,” kataku pada ibuku. “iya nak . maafkan ibu juga”… “nak .. ibu mau nanya sesuatu sama kamu.” Lanjut ibuku “apa bu ?” jawabku “ibu sudah nggk kuat lagi.. menurutmu, sebaiknya ibu meminta ayahmu menikah lagi. Ataukah biarkan ibu berpisah saja dengan nya?”. Aku hanya terdiam dan terus meneteskan air mata karena pernyataan itu menusuk hati dan perasaan ini. Aku tak sanggup menjawab pertanyaan ibuku. Disisi lain ayahku mengatakan “nak … ayah akan berusaha lebih keras lagi membiayai kalian… meskipun ayah sekarang tidak bisa melakukan apapun lagi… meskipun ayah terlilit banyak hutang dan bahkan menjadi buronan… ayah tetap sayang kalian semua… maafkan ayah ya nak..”
Aku sebagai anak pertama sekaligus tempat ayah dan ibuku untuk berbagi kesedihan hanya bisa menampung semua kata-kata itu tanpa tau apa yang akan kulakukan. Tok… tok… tok… bunyi pintu. Ayahku membuka pintu dan mempersilahkan seorang berjas dan berpeci hitam dengan membawa koper hitam dan map. Setelah dipersilahkan duduk “Bapak, mohon maaf mengganggu. Jadi saya disini mau menemui saudari Laila Mu’afatin. Apakah benar ini rumahnya?” tanya orang itu “oh benar pak, saya ayahnya. Saya panggilkan dulu ya pak” jawab ayahku. Lalu aku keluar menemui orang itu, betapa terkejutnya ternyata yang datang adalah dosenku yang saat itu mengumumkan beasiswa di kelasku.
“Laila… selamat. Kamu lolos beasiswa. Kamu bisa kuliah dengan tanpa tanggungan biaya administrasi. Dan kamu juga akan mendapatkan biaya hidup sebesar 2.000.000 rupiah serta juga akan mendapat jaminan kesehatan keluarga. Jadi ketika kamu butuh berobat, kamu tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun. Namun kamu harus siap untuk mengabdi pada Kampus dengan terus berusaha menjadi mahasiswi terbaik dan berprestasi. Kemudian kamu juga mendapatkan jaminan pekerjaan di perusahaan terbesar di kota ini. Namun, pekerjaan ini hanya diperoleh kamu. Hal ini karena saat wawancara, kamu telah menunjukkan potensi dan bakatmu yang sangat menarik perhatian perusahaan ini. Sehingga kamupun direkrut untuk bekerja disana tanpa syarat ketika nanti kamu sudah siap bekerja.”
Mendengar ungkapan itu, tak henti-hentinya air mata membasahi pipiku yang kusam dan lelah. Ayahku pun juga tersenyum lebar kepadaku. Ibuku yang ternyata sedari tadi mengintip pun langsung keluar memelukku. “nak… maafkan ibu ya nak… ibu terlalu cepat menyerah dengan keadaaan.. dan ibu justru tak pernah memikirkan kebaikanmu. Ucap ibuku “ayah juga ya nak… ayah akan menepati janji ayah untuk menjaga kalian sampai kapanpun… ayah juga minta maaf” lanjut ayahku. “ibu, ayah, jangan berpisah dan jangan bertengkar lagi… aku merasa sakit meskipun aku tak pernah mengungkapkannya. Aku sayang kalian berdua… terimakasih sudah merawatku sampai sejauh ini”
Tamat…
haishhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh