web analytics

Sesajen: Debat Pelik Individualis VS Sosialis Dalam Tembel Menembel Kitab

Sesajen: Debat Pelik Individualis VS Sosialis Dalam Tembel Menembel Kitab
0 0
Read Time:5 Minute, 18 Second

Tulisan pendek ini dipengantari dengan tulisan panjang:

Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah adalah salah satu unit Lirboyo. Pondok yang penuh dengan segala kegiatan formal dan non formalnya ini, membuat para santrinya harus menyerahkan tenaga dan pikirnya di dua dunia keilmuan yang berbeda. Untuk saat ini, Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah melakukan berbagai serangkain kegiatan menuju Ujian Tulis. Selain, Muhafadzoh, ada juga Tam-Taman yang harus dilalui santri yang masih terikat dengan Madrasah Diniyah.

Mungkin dari kalian ada yang baru dengar dengan istilah Tam-Taman. Tam-Taman atau koreksian kitab diambil dari bahasa Arab, yaitu تام  atau sempurna. Karena dengan mengingat dawuh Mbah Yai Marzuqi Dahlan, “Petenge kitab, padange ati,” Jadi bentuk penerapan dari dawuh beliau, ya dengan Tam-Taman itu. Karena kita semua tau, bahwa قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ mengikat ilmu itu dengan tulisan. Kita semua pasti bisa saja lupa. Karena itu pentingnya tulisan dalam kitab yang kita pelajari.

Pasti kalian bertanya-tanya tentang, Mulai kapan Tam-Taman diterapkan di Al-Mahrusiyah? Dan bagaimana sejarahnya?”

Baiklah, akan dijelaskan. Menurut Gusrian Fadli, salah satu staf Madrasah Diniyah HM Al-Mahrrusiyah putra sedikit berbagi cerita:

“Jadi, setiap hal di Al-Mahrusiyah banyak yang mengiblat ke pondok induk. Salah satunya dengan kurikulum Madrasah Diniyah. Sejak Madrasah Diniyah berdiri di tahun 1992, saat itu memang masih asli dengan menggunakan kurikulum yang dibuat pesantren dan kegiatan belajar mengajar hanya sebatas penyampaian materi saja, belum ada musyawaroh. Lalu di enam tahun berdiri, tepatnya tahun 1998 dengan dikepalai oleh Bapak Jaenal Effendi, Madrasah Diniyah HM Al-Mahrusiyah putra melakukan pembenahan dengan menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien  (MHM) Lirboyo, seperti diwajibkan lalaran setiap sebelum pelajaran madrasah, musyawarah madrasah, dan diadakannya muhafadzoh akhir tahun sebagai syarat mengikuti ujian madarasah. Dan sepertinya, Tam-Taman pun ikut lahir di tahun itu.”

Untuk saat ini, Tam-Taman menjadi agenda akhir tahun kedua dengan alur: Muhafadzoh, Tam-Taman, Ujian. Dan semua agenda itu saling terkait. Untuk bisa menginjak ke step selanjutnya kita harus lulus di step sebelumnya. Jika ingin bisa ikut Tam-Taman, maka harus lulus Muhafadzoh. Begitu juga jika ingin bisa ikut Ujian, maka harus lulus Tam-Taman.

Skema dan penggambaran persis dari Tam-Taman itu sendiri, setiap kelas tingkatan akan diberi batas sampai mana  kitab kita akan dikoreksi maknanya. Dengan berbagai syarat dan peraturan, seperti memaknai harus menggunakan pulpen 0,3 juga tidak boleh bersampul gambar hewan, tidak boleh kosong makna 3 baris untuk kitab hamsyi atau kurasan dan sebaris untuk kitab selain kurasan.

Setelah itu, di hari pelaksana, setiap  kelas akan dibagi ruangnya masing-masing. Satu kelas diisi oleh 2 korektor untuk 2 regu. Dan masing-masing regu ada seorang anak yang bertugas sebagai ketua regu, untuk membantu korektor. Sisanya menunggu di luar. Hal yang paling menegangkan adalah ketika ketua regu memanggil salah satu nama anak yang di luar untuk menghadap korektor. Untuk mempertanggung jawabkan makna kitabnya. Kesempatan lulusnya dipertaruhkan. Lalu, di akhir, semua santri akan mendapat kartu. Bedanya, entah kartu lulus tam atau naqish dan harus her mengulang. Stempel tam juga sudah tertera di batas akhir setiap kitab pelajaran. Bagi  mereka yang naqish atau tak lulus Tam-Taman akan mendapatkan Ta’ziran dan her.

**

Dengan menimbang, bahwasanya kita akan menghadapi Tam-Taman atau koreksian kitab, tentunya pondok menjadi fomo akan tembel menembel. Bukan fomo karena mengikuti trend, tapi lebih ke keharusan dan tuntutan!

Karena kalau sampai tidak, sampai naqish dan gagal tam, bayang-bayang her ujian harus dijalani: lengkap dengan membayar 50 ribu, sehari ujian 3 mata pelajaran, dan omongan-omongan khalayak yang mungkin mengsusik pendengaran dan perasaan.

Disclaimer, bagi yang baper, keharusan tam diwajibkan 2 kali lipat dari yang lain!

Dengan segala perayaan penyambutan Tam-Taman ini, di setiap tempat dan waktu, sepanjang mata memandang, hanya hamparan santri dengan kitab yang terbuka dan pena yang terus menari mencumbu huruf-huruf tanpa harokat.

Dalam subjeknya, nembel menembel ini dapat dikategorikan ke dalam 2 kelompok: individualis atau independent dan sosialis atau general. Tentu, jumlah lebih akan mendapat hasil lebih. Itu kenapa, banyak dari para nembelers itu membutuhkan joki, setidaknya untuk membacakan mendiktekan makna yang dibutuhkan kekosongan kitabnya.

Sudah menjadi rahasia umum, atau mungkin urf’ yang bisa dijadikan patokan hukum, bahwa nembelers yang membutuhkan bantuan sang joki perlu adanya “sesajen” berupa minuman dan jajanan, minimal kopi lah!

Ataupun kesepakatan saling nembel menembeli dengan suatu waktu menjadi penembel dan waktu yang lain menjadi joki untuk kebutuhan kebolongannya, saling bergantian: nilai simbiosis mutualisme itu jangan sampai terdistraksi dan terdegradasi maknanya.

“Sesajen” kerap kali mendapat sorotan kritikan dari para individualis untuk makna lemah, payah, tidak ada jiwa kemandirian, dan tentunya pemborosan.

Meskipun saya seorang yang “terpaksa” individualis karena ada pengalaman buruk saat nego dengan joki, sejatinya saya lebih setuju dengan sosialis.

Jika kita memandang dan menggali lebih jauh lagi makna “sesajen” atau hidangan joki, ternyata memiliki substansi yang sangat fundamentalis dalam pengamalan ta’lim wa ta’alum.

Pertama, “sesajen” diartikan sebagai bentuk penghargaan terhadap ilmu. Karena sejatinya, si joki telah memberikan ilmu melalui kitabnya.

Kedua, ”sesajen” diartikan sebagai bentuk pembayaran usaha si joki dalam KBM yang mungkin menahan berat ngantuk, lapar, atau malah mulas. Hingganya, kitabnya penuh makna.

Ketiga, ”sesajen” diartikan sebagai bentuk terima kasih atas luang waktu dan tenaga dalam mendikte makna yang mungkin harus bersabar karena nembelers tidak bisa diajak ngebut.

Keempat dan mungkin yang terakhir, ”sesajen” diartikan sebagai bentuk sedekah dan berbagi.

Emang apa sih yang diberatkan dari 2 bungkus nabati dan 1 gelas kopi kapal api? Paling uang sepuluh ribu juga dikembaliin!

Tulisan ini ditutup dengan harapan dan do’a dalam motivasi dari dalil:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah ayat 195).

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْننُهُ

“Orang yang sedekah dan menyembunyikannya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang sudah disedekahkan tangan kanannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Wallahu a’lam.

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like