Suri Tauladan Akhlaqul Karimah Sang Sulthonul Aulia
Berangkat dari banyaknya kriminalitas pada abad ke-21 , merupakan salah satu akibat dari kualitas adab yang semakin merosot. Dari zaman berhala hingga zaman gen alpha menyapa dunia, adab dan akhlaq merupakan salah satu aspek kehidupan terpenting dalam bermasyarakat. Terlebih adab seorang murid kepada gurunya.
KH Reza Ahmad Zahid juga pernah menyinggung problematika adab kepada guru kala sambutan di Majlis Dzikir wa Maulidurrasul dan Haul Masyayikh Lirboyo. Beliau mengisahkan tetang perjalan tholabul ilmi Sang Sulthonul Aulia Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, beliau dawuh, “Dulu Syekh Abdul Qodir Al-Jailani pernah sowan kepada gurunya,” tutur putra mahkota almarhum almaghfurlah KH Imam Yahya Mahrus.
Selanjutnya beliau mengkisahkan bahwa sebenarnya Syekh Abdul Qodir Al-Jailani itu hanya ikut-ikutan kedua temannya sowan, diantaranya Ibnu Syafa’ dan Ibnu Abi Isyrun. Sang syekh berkata kepada temannya, “Ya Ibnu Syafa’, ya Ibnu Abi Isyrun aku ingin ikut denganmu sowan pada guru,” tutur syekh kepada teman-temannya
Temanya menjawab, “Ya syekh kalo kamu ikut kamu mau ngapain? Kamu mau tanya apa? Kita sowan mau tanya kepada guru kita,” jawab salah seorang tamannya.
Kemudian Ibnu Syafa’ menimpali, “Saya mau tanya pertanyaan yang sulit sehingga guru saya tidak bisa menjawab, maka saya akan viral karena itu.” Ibnu Abi Isyrun juga menimpali, “Saya punya pertanyaan intelektual. Karena guru saya itu kuno pasti tidak akan mampu menjawab, kemudian saya akan terkenal, sedangkan kamu mau ngapain?”
Sang syekh menjawab, “Saya mau minta do’a saja,” jawab syekh kepada kedua temannya. Singkat cerita pergilah sang syekh bersama kedua temannya untuk sowan. Hal yang luar biasa pun terjadi, ternyata sang guru yang kasyaf telah mengetahui tujuan murid-muridnya sowan.
Sang guru bilang terhadap Ibnu Syafa’, “Pulanglah hati yang sombong aku sudah tahu maksud tujuanmu kesini, pulanglah kau!” kemudian kepada Ibnu Abi Isyrun sang guru berkata, “Aku sudah tahu jawaban dari pertanyaamnu. Kau juga sombong, pulanglah!”
Sedangkan kepada Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, sang guru berkata, “Dengan hatimu yang rendah, insyaallah kau akan menjadi sulthonul aulia,” tutur sang guru kepada Syekh Abdul Qodir Al-Jailani.
Oleh sebab kerendahan hati beliau ditambah ridho serta do’a dari sang guru, akhirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jailani tumbuh menjadi seorang wali bahkan sultannya wali. Dari sini, tersirat sebuah hikmah bahwa berkat ketawadhu’an seorang murid kepada gurunya, maka Allah mengangkat derajatnya.
Selain itu, dalam Kitab Bidayatul Hidayah juga telah dijelaskan pada bab “Adabu muta’alim” disebutkan dalil:
ولايسيء اظن به في أفعال ظاهرمنكرة عنده فهو أعلم بأسراره
Jangan berburuk sangka dalam perilaku-perilaku yang secara lahir tidak mungkin ia lakukan.
Setelah itu, ingatlah ucapan Nabi Khidir kepada Nabi Musa a.s ketika Nabi Musa sedang berguru kepada Nabi Khidir yang diabadikan dalam surah Al-Khafi, Nabi Isa a.s berkata, “Apakah engkau melubanginya agar penumpangnya tenggelam? Engkau melakukan sesuatu yang buruk,” dari kisah itu Nabi Musa a.s telah keliru menyalahkan Nabi Khidir sebab berpegangan pada hukum lahir.
Intisari kedua kisah diatas dapat disimpulkan bahwa adab murid kepada guru itu merupakan aspek yang sangat penting bahkan sebagai kebutuhan primer. Maka dari itu, setinggi apapu kalian menjabat dan sebanyak apapun pangkat yang kalian dapat tetaplah utamakan adab sebagai pondasi untuk membangun hidup bermartabat. Hal ini juga diperkuat dengan dalil:
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu”
Dari Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama li Thalabatil Ilmi [17]), waallahu a’lam.