Tata Cara Istinja’ dan Adab Membuang Hajat Dalam Kitab Fathul Qarib
Istinja yang sering dipahami sebagai perbuatan membersihkan kubul atau dubur, dalam bahasa Arab merupakan afiksasi dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong atau melepas diri. Seolah-olah orang yang melakukan istinja itu orang yang sedang berupaya melepas dirinya dari kotoran yang menempel di anggota tubuhnya. Adapun istinja dalam konsep syariat adalah membersihkan sesuatu yang keluar dari kemaluan, kubul ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang terikat beberapa syarat tertentu.
- Hukum dan Alat Beristinja
Ulama sepakat bahwa hukum istinja adalah wajib. Bahkan, walau tak diwajibkan pun tabiat manusia akan melakukannya. Karena tubuh yang kuat terdapat pada jiwa yang sehat, untuk itu cintailah kebersihan dan kesucian. Allah berfirman:
فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ (التوبة: 108)
Artinya, “Di dalam masjid itu terdapat penduduk Quba yang bersuci dan membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang bersuci.” (QS at-Taubah: 108)
Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan dan kesucian. Istinja bisa menggunakan air dan juga batu atau atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengannya, yaitu bukan benda cair, suci, berpotensi membersihkan najis yang melekat di kubul maupun dubur, dan bukan termasuk benda yang dimuliakan, seperti buku, roti, dan semisalnya. Di antara dalil air menjadi alat istinja adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عليه وسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “Bilamana Rasulullah saw masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun dalil kebolehan istinja dengan batu adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ ولَمْ أَجِدْ ثَالِثًا. فَأَتَيْتُهُ بِرَوْثَةٍ، فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: إِنَّهَا رِجْسٌ
Artinya, “Suatu ketika ketika Nabi saw buang air besar, lalu memerintahkan saya agar membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering). Akhirnya, beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang saya berikan. Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat Imam Ahmad dan ad-Darulquthni, terdapat tambahan redaksi yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, ‘I‘tini bi ghairiha’, atau ‘Carikan saya benda yang lain sebagai ganti dari kotoran tadi’. Artinya, batu yang digunakan bersuci tidak boleh kurang dari tiga, namun bisa lebih bila memang dibutuhkan. Dalam penggunaan istinja menggunakan batu harus memenuhi tiga syarat, jika salah satu dari syarat tidak terpenuhi maka wajib menggunakan air. Pertama, benda najis yang keluar belum kering. Kedua, tidak berpindah dari temapt keluarnya. Ketiga, tidak terdapat najis lain yang tidak termasuk darinya.
Dalam istinja, orang boleh memilih tiga cara; (1) istinja dengan batu terlebih dahulu kemudian diikuti dengan air (dan wajib tiga kali usapan meskipun tiga sisi dari satu batu), dan ini cara lebih utama; (2) istinja dengan air saja; dan (3) istinja dengan batu saja. Namun lebih baik istinja dengan cara pilihan kedua, yaitu menggunakan air. Karena, air mampu menghilangkan materi najis dan bekasnya.
Ada beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi ketika orang istinja dengan batu atau benda lain yang memiliki kesamaan fungsi dengannya. Minimal menggunakan tiga batu, atau satu namun memiliki tiga sisi. Tiga batu tersebut dapat membersihkan tempat keluarnya kotoran, kubul atau dubur, sehingga bila belum bersih, maka harus ditambah. Tidak boleh ada tetesan air atau najis lain selain tinja dan kencing yang mengenai kubul dan dubur. Najis yang keluar saat buang hajat tidak boleh melewati shafhah (lingkaran batas dubur), atau melewati hasyafah (pucuk zakar). Najis yang dibersihkan bukan najis yang sudah kering. Najis yang keluar tidak berpindah ke anggota tubuh yang lain semisal selangkangan, paha, dan lain-lain. Bila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, maka mustanji atau seorang yang istinja harus menggunakan air.
- Etika Sunnah Bagi Orang Yang Buang Hajat
Adab buang hajat adalah tidak boleh menghadap kiblat yaitu Kabah dan tidak membelakanginya ketika berada di lapangan(tempat terbuka) yaitu tempat yang antara orang yang buang hajat dan kiblat itu tak ada penghalang (saatir), atau ada penghalang (saatir) yang tingginya tidak sampai 2/3 dzira’, atau sampai 2/3 dzira’ tetapi jauh darinya yang jaraknya lebih dari tiga dzira’
Ketika buang hajat baik buang air kecil maupun buang air besar, hendaklah menghindari air yang tergenang (baik yang jumlahnya sedikit dan banyak). Adapun air yang mengalir yang jumlahnya qalil (kurang dari dua qullah), maka dimakruhkan buang hajat di tempat tersebut. Sedangkan buang hajat di air yang mengalir dalam jumlah yang katsir(telah mencapai dua qullah atau lebih), al-awla (lebih baik) dihindari.
Hendaklah menjauhkan diri dari buang air kecil/besar di bawah pohon yang berbuah waktu berbuah dan waktu tidak berbuah, dan di jalan yang dilalui orang,Tidak berbicara sebagai bentuk adab bagi orang yang buang hajat selain keadaan darurat (dharuroh). Keadaan darurat seperti melihat ular yang ingin menggigit manusia, tidak makruh untuk berbicara. Wallahu A’lam Bishowab.