web analytics
AD PLACEMENT

Terang

AD PLACEMENT
0 0
Read Time:4 Minute, 24 Second

Api obor.

“Kita harus menunggu. Saat sudah di Jembatan Sedari, kita akan eksekusi. Merdeka!”

“Merdeka!”

Para prajurit itu terus menyimak setiap arahan dari pemimpin komando. Melihat kepada lembaran peta di atas meja. Mengangguk mengerti. Ini bukan masalah hidup dan mati. Semua demi kemerdekaan bangsa ini!

AD PLACEMENT

“Assalamualaikum. Izinkan saya masuk.”

Perhatian mereka teralihkan oleh suara di luar tenda. Meminta diizinkan masuk.

“Waalaikumussalam. Siapa di luar?”

“Rodhinabillahi Robba Wa Bil Islami Dina Wa Bi Muhammadin Nabiya Wa Rosula.”

AD PLACEMENT

“Silahkan Masuk.”

Seorang pemuda berkopeah hitam masuk dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengal-engal. Tubuhnya bermandikan keringat. Ia Husni.

Also Read: Harapan | Cerpen

“Maaf, Kiai. Belanda sudah memasuki Desa Winaharja yang mana sebentar lagi akan sampai di Jembatan Sedari. Sebagian santri sudah menunggu di sana, saya mohon pasukan tambahan.”

Raut wajah lelaki itu langsung berubah cepat. Ini adalah saatnya.

AD PLACEMENT

“Wahai, Santri! Persiapkan diri kalian, angkat senjata-senjata kalian, dan pintalah pada Tuhan kalian segala perlindungan dan pertolongan demi merdekanya bangsa ini. Bukalah mata dan pikiran kalian! Ini tanah kita. Jangan lemah di hadapan para penjajah. Mati adalah kemulian dan surga adalah tempat berteduh bagi para Syuhada. Merdeka!”

“Merdeka!”

Pasukan yang sudah rapih pakaian dan senjata itu bergegas keluar tenda dan disusul oleh lautan orang dari segala penjuru tempat itu; kamar, kebun, surau, juga lubang-lubang bawah tanah. Berjalan gagah berani dari gerbang yang bertuliskan Pondok Pesantren Darussalam yang dipimpin seorang lelaki bersurban putih dengan tasbih yang tak pernah lepas dari tangannya, juga takbir, tahmid, tasbih, tahlil, sholawat, dan do’a-do’a yang menghiasi setiap lisan para prajurit itu.

 

Also Read: Menuju Ka’bah

***

 

Petromak.

“Maksud dari Fasl ini apa, Man?” Tanya Supadi pada Rahman di hadapan tumpukan kertas-kertas kuning berhuruf arab.

“Menarik dari pembahasan awal, maksud Far’un disini, orang yang sakit apabila ia mampu sholat dengan berdiri, maka tak apa. Selagi itu tidak Mudharat baginya.”

Joko menyimak dengan seksama penjelasan Rahman mengenai Kitab Fathul Muin pada konteks Arkanu As-sholat. Di kamar gubuk itu menjadi tempak diskusi panjang mengenai ilmu. Mebandingkan pendapat para ulama dari satu kitab ke kitab yang lain, lalu dipahami bersama. Asap tipis kopi hitam seolah menolak kantuk yang terus datang di tengah malam seperti ini.

“Kamu bisa mudah memahami pelajaran seperti ini caranya gimana, sih, Man?” Tanya Joko ditengah diskusi. Sesekali menyeruput kopi itu.

“Ya, belajar. Tujuan kita disini kan ya memang untuk belajar. Paham tidaknya itu urusan Allah. Kewajiban kita hanya belajar.”

“Meskipun dengan keadaan yang seperti ini?” Seraya memberikan sorot mata yang menunjukan keadaan mereka mondok.

“Iya. Tidak ada alasan apapun dalam mencari ilmu. Ingat! Bukan dimana kita belajar, tapi bagaimana cara kita belajar.”

Lagi-lagi Joko harus mengangguk setiap dari kata yang Rahman jelaskan. Berlama-lama dengan teman satunya ini membuat pikirannya terbuka. Ia beruntung bisa berteman Rahman. Ia bersyukur bisa mondok.

 

***

 

Senter.

“Segala mati lampu lagi.”

Kalimat itulah yang terus diucapkan Rudi. Ia tampak begitu kesal.

“Kamu kenapa sih, Rud? Marah-marah terus!” Timpal Ahmad yang sedari tadi mendengar gerutunya.

“Tulisan pembukuanku belum selesai. Baru mau nulis sumber dari artikel yang memuat kajian Fiqih, eh malah mati lampu. Huh.” Kesal Rudi semakin menjadi-jadi.

“Jangan salahkan mati lampunya dong. Itu salahmu sendiri. Dari kemarin ngapain aja ,kok baru nulis sumber! Punyaku udah selesai buktinya. Kebanyakan orang sukses itu adalah mereka yang pandai dalam mengelola waktu. Jika ada sempat, semua tugas itu jangan ditunda-tunda. Benar juga ungkapan Al-Waktu Kashoif, waktu itu seperti pedang. Jika kita tidak bijak menggunakannya, maka waktu itu yang akan melukai kita.”

“Ya, kemarin aku sibuk hafalan, Mad. Belum lagi nyuci baju, jemur, terus beli bahan masak.”

“Halah, alasan aja!”

Tak ada pilihan lain, Joko harus menulis di bawah sinar senter. Dari pada dihukum. Meskipun tetap dengan gerutunya.

 

***

 

Flash.

“Kalimatnya jangan sampai salah!”

Sekelompok santri itu masih berkutat dengan beberapa kamera dan alat shooting lainnya. Sedangkan para santri yang juga ada yang sibuk dengan kertas dan penannya. Mereka akan membuat short movie mengenai hari santri. Mulai dari persiapan alat, naskah, dan pemain pun sudah dirancang dengan matang. Semoga berhasil.

Sekerjap cahaya terus terpancar dari kamera Sony Professional PMW menangkap gambar dari setiap adegan, suasana, dan apapun. Semua itu demi konten yang mereka jalani. Ya, mereka adalah Konten Kreator dari media Pondok Pesantren mereka sendiri.

“Bagus! Istirahat dulu.” Ucap Fahmi selaku pemimpin projek ini.

Ia begitu puas dengan hasil kerja timnya selama ini. semua usaha mereka tak sia-sia.

“Apa alasan kamu dalam projek ini, Mi?” Tanya Umar saat break kamera.

“Sudah seharusnya bagi santri seperti kita untuk lebih maju dalam berfikir dengan mengikuti perkembangan zaman. Hingga, tidak ada stigma bahwa santri adalah kaum kolot yang hanya tau kitab kuning saja. Tunjukan bahwa santri juga bisa intelektual. Bisa modern. Di zaman dahulu kita sudah menyumbang peran kemerdekaan lewat angkat senjata. Dan kini selain belajar, kita bisa menyumbang peran kemerdekaan lewat kemajuan zaman. Termasuk dari sisi kemajuan teknologi. Bukankah seperti itu?”

“Benar kamu, Mi. Aku mau paham teknologi seperti kamu. Ajari aku ya, Mi!’

“Kita belajar sama-sama.”

Perkembangan zaman yang semakin pesat sudah seharusnya membuka wawasan manusia yang juga semakin pesat. Banyak hal yang bisa dijadikan peluang untuk kemajuan diri sendiri, juga untuk bangsa pada umumnya. Keputus asaan bukanlah identitas bangsa ini. kita bisa lebih maju dari bangsa-bangsa lain dengan tekad dan persatuan yang kuat. Seperti ucap Fahmi, Fahmi bin Ahmad bin Rahman bin Husni. Merdeka!

 

***

 

 

 

 

 

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

AD PLACEMENT

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Ngaji Gus Reza: Ilmu itu Sportif dan Objektif

Ngaji Gus Reza: Ilmu itu Sportif dan Objektif

Mencari Pengganti Cincin Emas

Mencari Pengganti Cincin Emas

Harapan | Cerpen

Harapan | Cerpen

Ning Ochi Jelaskan Keistimewaan Islam, Kisah dan Sejarahnya

Ning Ochi Jelaskan Keistimewaan Islam, Kisah dan Sejarahnya

Menuju Ka’bah

Menuju Ka’bah

Lomba KIR Spesial Harlah, Pengasah Bakat Literasi dan Public Speaking Santri

Lomba KIR Spesial Harlah, Pengasah Bakat Literasi dan Public Speaking Santri

AD PLACEMENT