Lagi-lagi tatapannya kosong pada luar jendela itu. Penuh buram, penuh suram. Badannya memang diam duduk di dalam kelas, tapi pikirannya melayang, menerawang ke mana-mana. Entah, wajah sendu perempuan itu terus terbayang.
“Hayo!”
Tubuhnya tersentak kaget.
“Apaan sih lu, Ton!”
“Yah, masih pagi udah bengong aja lu. Mikirin apaan sih? Bukannya lu emang nggak pernah ngerjain PR Matematika, udah nggak usah suntuk gitu.” Ucapnya, lalu kembali pada buku digenggamannya.
“Ah, nggak asik lu! Yaudah gua ke kantin dulu, ya?”
“Iya.”
Toni berlalu, tapi wajah perempuan itu masih saja menggentayangi pikirannya sedari tadi. Huruf buku pun tak ada apa, kabur fokusnya. Bising riuh dalam kelas hanya mengganggu tenangnya pada bangku teras depan kelas. sesekali ia membuang nafas kasar. Mengacak-acak rambut tebalnya.
Ia menatap ujung kelas sana; memegang buku, fokus pada huruf-huruf itu. Sesekali tertawa kecil bersamanya.
“…”
***
“Ini buat lu!”
“Apa?”
Ia ambil buku itu.
“Kenalin gua Denis, anak sosial 3.”
Perempuan itu sedikit tak paham dengan maksud semua ini. ia diam sesaat, hingga akhirnya ia sambut jabat tangan itu.
“Bunga, anak bahasa 1.”
“Gua rasa lu suka buku, suka baca. Anggap aja itu sebagai tanda perkenalan kita.”
“Oh, tapi kayaknya makasih deh, Denis. Aku masih ingin baca buku ini dulu.” Buku itu kembali diberikan pada Denis yang berusaha tersenyum. Tak apa.
“Hm, oke.”
***
Batang pulpen itu masih saja ia putar dalam lentur jemarinya. Kertas ulangan tergeletak pasrah. Novel terbuka lebar, berganti lembar.
“Nggak lu kerjain, Den?”
“Malas. Nitip!”
Ia pindahkan lembar kertas ulangan itu ke meja Toni. Ia malah keluar, izin ke toilet. Katanya.
Nyatanya ia malah pada perempuan itu. Duduk di depan kelas dan tentunya dengan buku yang masih dalam genggaman
“Hai.”
Pandangan itu teralihkan. Menengok sebentar, lalu pada lembar buku itu.
“Kamu senang sekali membaca, ya?” Perempuan itu masih saja diam. Pantas saja jika kamu juara kelas.”
“Oh, iya. Kebetulan aku punya buku baru. Bagus. Ini best seller. Siapa tau kamu minat.” Lanjutnya.
Kepala itu terangkat. Setelah ditutup, buku ikut terangkat.
“Wah, rupanya kamu sudah punya, ya?”
***
“Lu udah kerjain rangkuman, Den?”
“Belum.”
“Kok bisa? Mapel killer ini. Lagian Cuma sedikit, kok.”
“Mau sedikit, mau banyak kan lu tau sendiri kalo gua paling malas sama yang namanya nulis.”
“Ya, Terserah.”
“Ntar kalau gurunya masuk, bilang aja gua izin.”
“Lu mau ke mana?”
“Umroh!” Ucapnya seraya berlalu.
Tasnya bagai mau meletus. Terlihat besar dan berat.
“Kali ini pasti berhasil!” Batinnya.
Ke mana lagi, jika bukan pada teras dan perempuan yang terduduk di bangku itu. Dengan rintik keringat, buku tebal itu dikeluarkan.
“Nih!”
“Apalagi?”
“Buku. Pasti lu belum punya buku ini.” ia keluarkan buku tentang Laksamana Cheng Ho dan Sejarah Kelautan Nusantara.
“Tentang Laksamana Cheng Ho? Tentang seorang pelaut yang bernama asli Ma yang pada tahun 1405 hingga 1433 melakukan ekspedisi laut bersama dengan 100 kapal yang memuat 20 ribu kru kapal yang pada akhirnya indonesia pun terkena dari salah satu titik pemberhentian.”
“Kamu hafal?”
***