Dunia seni dan sastra Indonesia terus mengalami kemajuan. Mulai dari seni musik, seni tari, seni rupa, seni bela diri, seni lukis, hingga seni tulis menulis. Dalam persajakan dan perpuisian, Indonesia telah melahirkan penyair dan pujangga hebat dari masa ke masa. Dari mereka lah bibit-bibit unggul generasi selanjutnya tumbuh dan mewarnai dunia perpuisian Indonesia.
Sebut saja, Chairil Anwar. Siapa yang tidak kenal dengan Chairil Anwar? Pujangga Angkatan 45 yang lahir di Medan, 26 Juli 1922 ini telah membawa khazanah perpuisian Indonesia pada masa emasnya. Ia adalah orang yang sangat menginspirasi dan membangun semangat para penyair dan pujangga, serta para masyarakat Indonesia yang menghargai setiap makna yang terkandung dalam larik-larik penggal puisi. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita mengenal kehidupan, perjuangan, serta karya-karya penyair yang sangat berjasa ini; Chairil Anwar.
Mengenal Kehidupan
Sudah dijelaskan sebelumnya, Chairil Anwar lahir di Medan dari pasangan Toeloes bin Manan dan Siti Saleha binti Paduko Tuan. Ayahnya bukan orang sembarangan. Pada zaman Belanda, pangkatnya kontrolir. Setelah kemerdekaan, dia diangkat menjadi Bupati Indragiri. Secara ekonomi, keluarga ini berkecukupan. Toeloes dan Saleha memanjakan anak-anak mereka dengan memenuhi setiap keinginannya. Lebih-lebih Chairil Anwar, Si Anak laki-laki bungsu. Panggilan kesayangannya adalah Ninik.
Sejak umur 5 tahun, Chairil ikut ayahnya berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota lain; Siak Sri Indrapura, Tanjung Balai, Pangkalan Brandan. Pernah pula ia tinggal bersama nenek dan datuknya di Medan.
Baik ketika tinggal bersama orang tuanya maupun dengan neneknya, Chairil selalu dimanjakan dan dicukupi. ” Tidak ada satu kesempatan di mana ia rela dijadikan kurang.” Sjamsulridwan, sahabatnya, mengenang.
Chairil menjadi anak yang keras kepala dan tak mengenal batas. Di sisi lain, ia cerdas dan bergaul luas. Kegemarannya pada perempuan telah pula dimulai pada masa ini. Sjamsulridwan mengingat, sejak di HIS, sahabatnya itu telah menggaet gadis-gadis tercantik di sekolah atau sekitar rumahnya. Si Flamboyan tak ragu menggunakan cara-cara radikal untuk mencuri hati pujannya. Ia pernah menantang pemuda-pemuda satu kampung agar dapat mengencani seorang gadis yang tinggal di sana.
Untungnya, di tengah gejolak pubertas dan hujan perhatian dari orang-orang di sekilingnya, Chairil tak lupa membaca buku. Ini rupanya menular dari Toeloes. ”Papahku punya banyak sekali buku,” kata Nini, Adik Chairil Anwar, yang juga tumbuh menjadi peminat buku.
Toeloes membawa budaya intelektual yang baik di rumahnya. Anak-anaknya harus bersekolah. Mereka cakap Bahasa Belanda. Bakat seni dikembangkan. Sementara Chairil menjadi penyair, kakaknya lebih tertarik pada musik.
Tapi, pada akhirnya, pernikahan Toeloes dan Saleha ternyata tak bisa dipertahankan. Meski tak resmi bercerai, pasangan ini mulai hidup terpisah sejak Chairil duduk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Toeloes menikah lagi dengan seorang perempuan jelita asal Guyuah, Payakumbuh, bernama Rameda. Dan dari pasangan itulah Dynni Ferianty atau Nini, Adik Chairil Anwar dilahirkan. Mereka saudara tiri.
Sejak sekolah di (MULO) -setingkat SMP, Sutan Sjahrir dan Amir Hamzah pernah sekolah di sana. Hars Bague Jassin pernah bertemu dengan Chairil yang masih berstatus siswa MULO, pada tahun 1937. “Pertemuan saya dengan Chairil, terjadi dipertemuan pelajar di Medan,” kata Jassin dalam wawancara dengan Tempo pada 1983.
Mula-mula Jassin tak tau pemuda necis yang lebih muda 5 tahun darinya itu seorang penulis. Setahu dia, Chairil adalah pemain pingpong jagoan. “Setiap kali mengalahkan lawan, Chairil berjingkrak, menjerit-jerit, dan bertepuk tangan,” ujar Jassin.
Pria Gorontalo itu lalu menemukan nama Chairil dalam kolom pengurus majalah dinding Ons Mulo Blad. Tulisan pada masa itu berupa prosa -yang tak pernah terdokumentasikan.
Chairil juga pecandu film. ”Dia sering sekali menonton, tak peduli malam sekolah atau tidak.” tulis Sjamsulridwan. Chairil harus mendapat tiket kelas satu di bioskop. Dia tak peduli bila Saleha harus meminjam atau menggadai barang demi memenuhi keinginannyaa menonton ”gambar idoep”.
Perjuangan
Dalam buku, Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api, dijelaskan, ‘pada 1941, Chairil Anwar pindah ke Jakarta, yang kemudian disusul ibunya, Saleha, karena telah berpisah dengan ayahnya, Toeloes, yang menikah lagi. Di Jakarta, ia miskin. Bahkan terlantar. Dia menggelandang dari satu tempat ke tempat lain. Untuk bertahan hidup, ia sering mencuri kecil-kecilan. Namun di ”kampung besar” ini pula Chairil ditempa. Intelektualitasnya berkembang. Bacaannya bertambah banyak. Wawasannya semakin luas.’
Sebagai keponakan yang tinggal di rumah Sutan Sjahrir, Chairil dekat dengan berbagai kalangan, termasuk tokoh pergerakan nasional. Dia pernah menjadi kurir untuk menyampaikan informaasi penting pada Sjahrir.
Chairil kemudian bertemu dengan anak angkat Sjahrir dari Banda Neira. Salah satunya Des Alwi. Des tinggal sekamar dengan Chairil. Seperti diungkapkan Des Alwi dalam bukunya, Friends and Exiles; A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesia Nationalist Monement (SEAP Publications, 2008), Chairil yang dia panggil Ninik memiliki kemampuan Bahasa inggris dan Belanda sangat baik. Dengan dua bahasa ini, menurut Des, Chaairil kerap berdebat tentang appapun dengan Sjahrir. Di mata Des, Chairil adalah kutu buku. Menurut Des, Sjahrir sangat mengagumi kecerdasan keponakannya ini. Sjahrir juga menyuntikkan pemikiran-pemikiran ideologis kepada Chairil.
Berada di lingkungan Sjahrir, Chairil juga mengenal banyak wartawan. Menurut sejumlah literatur tentang Chairil, selain dengan Herawati dan suaminya, Chairil juga berteman dengan banyak wartawan di era kemerdekaan. Dua di antaranya, Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Rusdi Husein mengatakan Chairil memiliki banyak teman wartawan karena kerap kali mellibatkan diri dalam aktifitas politik dan perjuangan Sjahrir. Dalam banyak kegiatan, baik sebagai tokoh pergerakan maupun menjadi perdanna menteri, Sjahrir kerap mengajak wartawan. “Chairil hanya ikut-ikutan,” kata Rusdi.
Hidup dalam krisis kependudukan Jepang, Chairil mencoba berbagai pekerjaan untuk menghidupi kebutuhan. Ia pernah menjadi pedagang barang bekas. Tapi, sekitar tahun 1943, ia gagal berdagang barang bekas. Lalu, ia mencoba jadi oranng kantoran. Atas jasa Des Alwi, ia mendapat pekerjaan di kantor Mohammad Hatta. Suatu pagi, Des Alwi mengajaknya berkkunjung ke rumah Mohammad Hatta dan memperkenalkan Chairil kepada ayah angkatnya itu. Des Alwi mempromosikan Chairil menguasai Bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda dengan sangat lancer. “Bila perlu, Om boleh tes saja dia,” Ujar Des Alwi.
Di kantor itu, Chairil diterima sebagai penerjemah di kantor statistik. Tugasnya menerjemah dan menyalin informasi dan data dari Bahasa Jerman dan Belanda. Dalam ingatan Des Alwi, Chairil dibayar 60 Gulden sebulan. Jumlah itu sangat cukup untuk hidup di zaman Jepang. Sejak bekerja itulah Chairil dan ibunya tak lagi menumpang di rumah Sutan Sjahrir. Ia menetap di kampung Kwitang.
Namun, itu tak lama. Dua atau tiga bulan jadi orang kantoran, Chairil tidak betah. Ia lebih sering tak masuk kantor. Hingga usai perang dunia ll, Chairil tak pernah terlibat dengan pekerjaan formal. Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesustraan (1984), “mengenang Chairil sangat menggebu-gebu dalam urusan sastra.” Takdir bersama Chairil pernah merancang majalah Poedjangga Baroe selepas Jepang jatuh. Tapi, renncana itu takan pernah terwujud. Chairil juga sempat mmengelola beberapa majalah, seperti Gema Suasana dan Air Pasang.
Dalam pergaulannya, Chairil juga memiliki banyak teman dari golongan pelukis rakyat. Sebut saja, Affandi, Dulllah, Agus Djaja, S. Sudjojono, Henk Ngantung, dan Hendra Gunawan yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), Seniman Muda Indonesia (SMI).
Selama perjalanan perjuangan itu, Chairil tetap menorehkan puisi-puisi hidupnya. Di setiap kejadian, perasaan, dan kesempatan. Puuisinya semakin menjadi-jadi, saat perjuangannya akan cinta. Lelaki yang sudah terkenal sering menggait perempuan jelita sejak masa remaja ini, jiwa hauss cintanya tak pernah padam. Ia sempat berkenall Sri Ajati, seorang seniman yang mendapatkan persembahan petikan sajak dari Chairil Anwar.
Ini kali tak ada yang yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali…(”Senja di Pelabuhan Kecil”, 1946)
Selain nama Sri Ajati, ada beberapa nama lainnya yang tak luput dari perjuangan cinta dan sajak Chairil Anwar . Mereka adalah Ida Nasution, Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasid, serta Karinah Moordjono, putri seorang dokter di Medan. Karinah pun juga mendapatkan sajak Chairil Anwar yang tertuang dalam puisi ”Kenangan”,
”…Halus rapuh jalinan kenang/ Hancur hilang belum dipegang/ Terhentak/ Kembali dan itu-itu saja/ Jiwa bertanya; Dari buah/ Hidupkan banyak jatuh ke tanah?/ Menyelubung nyerah penyesalan pernah/ Menyia-nyia.”
Tapi, jika Karinah perempuan pertama yang dibuatkan sajak persembahan, Ida adalah perempuan pertama yang disebut Chairil di dalam baris sajaknya. Nama Ida banyak disebut dallam sajak dan prosanya.
Ida juga disebut dalam ”Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14 Juli 1943), dan “Selama bulan menyinari dadanya,” (1948). Berikut, puisi Chairil untuk Ida dengan judul ”Ajakan Februari 1943),
Ida
Menembus sudah caya/ Udara tebal kabut/ Kaca hitam lumut/ Pecah pencar sekarang…
Namun sayang, dari sekian nama-nama perempuan dan sajak cintanya, tak ada dari satu pun yang berjodoh. Cinta sucinya malah tertambat pada Hapsah, seorang perempuan kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1922, lewat perkenalan singkat di sebuah sawah di Karawang. Setelah 3 bulan, keduanya menikah pada 6 Agustus 1946. Menurut Jassin, Chairil memanggil Hapsah dengan sebutan ”Gajah”. Ya, dari foto pernikahan mereka terlihat perbedaan yang mencolok di antara keduanya; Hapsah yang gemuk dan Chairil yang kurus kering.
Namun, bukan Chairil namanya kalau sering di rumah. Dia adalah pengembara, serupa dengan Ahasveros, metafora untuk pengelana seperti disebut Chairil dalam sajak “Tak Sepadan”. Itulah yang membuat rumah tangganya retak. Hapsah kerap meributkan Chairil yang tak punya pekerjaan tetap. Sembilan bulan kemudian, 17 Juni 1974, Evawani Alissa lahir. Kelahiran Evawani pun tak bisa memperbaiki suasana rumah tangga mereka. Keduanya bercerai.
Karya
Chairil Anwar adalah penulis sejati. Ia penulis produktif. Sepanjang hidupnya, jika ada kesempatan, ia gunakan untuk menulis. Dalam catatan HB Jassin, Chairil telah membuat 94 tulisan; terdiri atas 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Chairil Anwar adalah sosok yang tak mau menyerah. Seperti yang diucapkan Chairil dalam pidato di muka Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1943, dia memang penyair yang berani hidup menderita demi sebuah pencarian. Chairil tak pernah bisa bekerja kantoran. Dia selalu meninggalkan meja kerjanya, pindah ke pekerjaan lain. Meskipun begitu, hasilnya sama. Dia tetap memilih jalanan.
Menurut Nasjah Djamin dalam buku Hari-Hari Akhir Si Penyair, kebiasaan Chairil adalah menenteng map ke mana-mana. Isi map itu, selain kertas-kertas berisi sajak-sajaknya dan sajak-sajak orang lain (dia beberapa kali bekerja sebagai redaktur). Ternyata potongan-potongan halaman buku yang dirobeknya entah dari mana. ”Mungkin dari perpustakaan, toko buku, atau milik kawan.” kata Nasjah Djamin. Chairil bergaul di segala lini. Tempat tongkrongannya di mana-mana. Chairil, misalnya, bergaul erat dengan para pelukis. Di Jakarta, Chairil sering berkkumpul dengan Affandi dan Sudjojono. Dia menyayangkan banyaknya sastrawan yang tak mau kenal dengan seni Lukis.
Di sini, tentu tak akan kita bahas semua karya dari Chairil Anwar. Mungkin hanya beberapa saja. Puisi-puisi yang familiar bagi kita. Puisi-puisi mahsyur.
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
inasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Mengutip salah satu ulasan terbaik tentang Chairil dan karyanya adalah tulisan Sapardi Djoko Damono, ”Chairil Anwar Kita”, yang dimuat sebagai kata penutup untuk buku kumpulan puisi Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (Gramedia Pustaka Utama, cetakan pertama 1986). pada bagian akhir tulisannya, Sapardi mengatakan, ”Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah menunjukkan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan menandakan masa lampau, tapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.”
Lalu, Joko Pinurbo, Puitis Yogyakarta pun berkomentar, ”salah satu sajaknya yang bagi saya tetap menyala pesonanya adalah ’Tuti Artic’ (1947). sajak ini merupakan karya Chairil yang menunjukkan kepiawaiannya menulis dalam Bahasa Indonesia dengan cita rasa masa kini, seakan-akan sajak tersebut baru diciptakan kemarin sore. Di hadapan ini saja entah berapa banyak sajak ciptaan hari ini jadi terasa ketinggalan zaman. Sajak tersebut bukanlah satu-satunya sajak bagus Chairil yang kurang dikenal oleh publik, lebih-lebih jika dibandingkan dengan sajkanya yang berjudul, ”Aku”, ”Diponegoro”, dan ”Krawang-Bekasi”.