TJANGKIR
Matanya terpejam. Indra dan otaknya simultan merekam aroma asing yang diterbangkan angin malam. “Disuruh belajar malah enak-enakan tidur. Bangun, pemalas!” Satu tarikan napas lepas begitu mendengar suara ibunya yang khas. Buku yang tadi didekap, ia buka tanpa banyak cakap. Setelah Junirah -ibunya- pergi, aroma itu menyentil penciumannya lagi. Debar di dadanya mengharuskan ia menarik beberapa napas panjang, menikmati aroma yang membuatnya tenang. Hingga tibalah rasa penasaran yang menggedor-gedor jiwanya, memaksa tubuhnya mencari asal aroma. Dengan segenap keberanian, ia pun mulai menyusuri ruangan, mengendap-endap agar tak ketahuan.
Sesampainya di luar rumah, ia memekik pelan karena berhasil membawa tubuhnya luput dari pengawasan Junirah. Namun, tiba-tiba…
”Aaa…sakiitt.” Ia merasa telinganya ditarik oleh seseorang.
“Mau kemana, heh?”
Suara menggelegar milik Junirah berhasil menciutkan nyalinya. Rasa bangga yang sempat menyelinap berganti rasa takut siap disantap. Gagal sudah rencana malam itu.
24 jam kemudian, aroma itu kembali terdeteksi indra penciuman. Dengan strategi berbeda, ia mencari tujuan yang sama. Saat jam belajar tiba, ia sengaja membuat dirinya terlihat lebih semangat. Beberapa paragraf ia lantunkan dengan suara keras yang dibuat-buat. Ia lakukan itu semata-mata agar ibunya lekas menyuruhnya istirahat.
qFF
Manakala penerangan rumahnya telah padam, barulah ia kumpulkan tekad untuk menembus dinginnya malam. Kakinya terus melangkah, bibirnya merapal do’a agar tak terjadi musibah. Aroma itu terasa semakin kuat ketika ia berada di depan musholla Al-Iman. Dilihatnya 3 orang duduk melingkar dengan buku berwarna kuning di pangkuan. Dengan ragu, ia berjalan. Mendekat dengan langkah pelan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Ada apa, Dik?”
“Aku..ehm… Aku tadi mencium bau sesuatu. Setelah kucari, ternyata berasal dari sini. Itu apa, Mas?” tunjuknya pada beberapa gelas yang isinya tinggal separuh.
“Oh..ini kopi.” Jawab salah satu dari mereka.
“Untuk apa?” Mereka bertiga saling berpandangan.
“Untuk diminum, Dik. Kamu tidak tahu?” Tercetak jelas raut heran pada si Penanya.
“Disini tidak ada.” Jawabnya polos. “Mas-mas ini dari mana?”
“Dari Pesantren, Dik.”
“Pesantren? Wah..terus disini ngapain?” Binar takjub tersorot dari kedua bola matanya.
“Kami disuruh muthola’ah kitab dengan Kyai Shodiq di musholla ini.”
“Berapa lama?”
“3 Hari.”
Anak itu terdiam. Dahinya membentuk beberapa lipatan. ‘Kalau dihitung sejak aku mencium bau ini, berarti besok mereka masih disini.’ Batinnya.
“Besok aku kesini lagi boleh?”
“Silakan, Dik.”
“Kalau gitu aku pamit dulu, Mas. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab mereka serempak.
eee
Rumahnya terlihat paling mencolok diantara yang lain. Itu karena lampunya yang masih menyala. Tunggu…Lampu? ‘Bukankah tadi lampunya padam?’ Batinnya. Dan yang benar saja, seseorang telah berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Matanya memerah, entah marah entah menahan kantuk, yang pasti telinga akan selalu jadi sasaran empuk.
“Kabur lagi?” Itulah kata pertama yang terdengar setelah ia sampai di depan rumah.
Sungguh, malam itu Junirah mengucapkannya dengan penuh amarah yang membuat bocah umur 10 tahun itu gundah. Ia hanya berdiri mematung bak patung. Junirah juga tak menyuruhnya masuk, apalagi sekedar duduk. Walau dengan raut tertekuk, ia tetap menunduk, mendengar tausiyah dadakan itu dengan tawadlu’.
Esok pun tiba, namun strategi ketiga tak kunjung terlintas di otaknya. Berjam-jam ia memikirkan cara keluar rumah, berjam-jam pula ia dalam keadaan gelisah, mondar-mandir tak tentu arah. Saat petang mulai datang, tiba-tiba kerutan di dahinya menghilang, berganti senyum yang siap mengembang. ‘Kalau kabur selalu menjadi masalah ibunya, mungkin izin sebelum keluar adalah solusinya.’ Pikir bocah itu.
Pukul 8 malam, ia telah siap dengan baju koko dan peci hitam. Lain dengan baju lusuh yang ia pakai kemarin malam, saat anak itu keluar diam-diam. Dengan langkah mantap, ia memulai percakapannya penuh kehati-hatian. Mula-mula, ia meminta maaf atas semua kesalahan, kemudian dilanjut dengan mohon izin ke musholla Al-Iman. Junirah sempat menatapnya penuh selidik sebelum mengangguk seraya berkedip. Bocah itu melompat girang, menuju ke musholla dengan perasaan senang. Ia sadar, menyembunyikan sesuatu akan menghadirkan kegelisahan. Sebaliknya, berterus terang akan memunculkan keberanian sekaligus ketenangan. Begitulah, selalu ada makna dibalik peristiwa.
jjj
Sesampainya di musholla Al-Iman, 3 Mas-mas yang yang tak ia ketahui namanya itu sedang membaca buku kuning. Ada Kyai Shodiq juga disana. Karena rasa ingin tahunya menyeruak, ia ikut menyimak. Sesekali ia manggut-manggut, sesekali dahinya berkerut.
Pukul 10 malam, saat rasa kantuk menyerang, Kyai Shodiq menyudahi kegiatannya. Mereka bertiga melangkah keluar dan kaget melihat anak kecil duduk menunduk di serambi musholla.
“Dik.” Salah satu dari mereka menyentuh pundak anak itu. Ia tersentak, rupanya tertidur.
“Hoaammm…sudah selesai?” ucapnya sambil menguap.
“Sudah, Dik. Kamu sejak kapan disini?”
“Jam 8.”
“Kenapa tidak ikut masuk saja?” Anak itu menggeleng.
“Diminum dulu kopinya, biar gak ngantuk.” Salah satu dari mereka datang membawa ceret dan beberapa gelas. Asap mengepul ikut serta diatasnya.
“Biar gak ngantuk?” Tanyanya heran.
“Iya, kebanyakan orang akan minum kopi ketika kantuk datang. Apalagi di kalangan santri, kopi adalah teman mereka saat mengaji, Dik.”
“Santri itu apa, Mas?”
“Santri itu anak Pesantren, ya seperti kami bertiga ini.”
“Oohh…” Anak itu manggut-manggut. “Terus selain dapat menghilangkan ngantuk, manfaat kopi yang lain apa?” Lanjutnya.
“Nah, tak hanya itu. Manfaat kopi banyaaak sekali. Selain dapat mengusir kantuk, kopi juga…..”
Dan mengalirlah cerita tentang kopi, tentang santri, tentang Pesantren dan para Kyai, juga tentang rutinitas mengaji.
“Oh iya, Mas. Buku yang warnanya kuning itu isinya apa?”
“Yang mana, Dik?”
“Yang tadi dibaca, kemarin juga.”
“Oh, itu namanya kitab kuning.” Anak itu kembali manggut-manggut.
Malam itu, ia juga bercerita kepada mereka. Tentang sekolahnya, tentang pelajaran yang tak ia pahami dan lain-lain. Tak lupa, ia juga bercerita tentang awal dirinya mencium bau kopi, yang membuat dirinya mencoba kabur sampai dua kali. Mereka tertawa mendengarnya. Hingga lewat tengah malam tak terasa.
Baru kali ini anak itu benar-benar tidak merasakan kantuk, padahal semalaman begadang. Ternyata benar, mungkin ini efek dari kopi yang katanya pengusir kantuk. Menjelang shubuh, Mas-mas yang telah ia ketahui namanya Bagus, Arman dan Sholeh itu tengah bersiap-siap untuk kembali ke Pesantren.
ddd
Saat mentari menggantikan pesona bulan, mereka meninggalkan musholla Al-Iman. Berpamitan dengan Kyai Shodiq, lantas berjalan beriringan. Namun, tiba-tiba langkah Arman terhenti, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Lalu ia kembali ke musholla, dilihatnya anak itu masih disana. Arman pun menghampirinya.
“Aku belum tahu namamu, Dik. Siapa?”
“Tjangkir. Pakai ejaan lama.” Jawabnya sambil tersenyum.
Arman ikut tersenyum. Kemudian ia membuka tasnya, mencari-cari sesuatu disana.
“Cari apa?” Tanya seseorang dari belakang. Ternyata Bagus dan Sholeh menyusulnya.
“Ini.” Jawab Arman sambil menyerahkan kantong plastik berisi bubuk kopi pada Tjangkir.
Anak itu senang bukan main. Saking senangnya, ia bahkan berjanji akan mengganti bubuk kopi dengan ‘Cap Tjangkir’ di kemudian hari. Ya, ini akan menjadi pengalaman yang membuatnya termotivasi. Esok nanti, ia ingin jadi pengusaha, ingin memproduksi kopi, memiliki pabrik sendiri. Membayangkan produknya terkenal di kalangan santri juga para Kyai mampu membuat semangatnya berapi-api.
~Sekian~