web analytics

Toleransi Secara Etis di Zaman Modernis

Toleransi Secara Etis di Zaman Modernis
potret kebersamaan pemuka agama di forum R 20
0 0
Read Time:5 Minute, 17 Second

Dalam berkehidupan sosial, erat kaitannya dengan keberagaman, ragam suku dan bahasa, ragam bangsa negara, hingga ragam agama yang berbeda beda, perbedaan- perbedaan dalam konteks seperti ini merupakan fitrah seorang manusia untuk menjalani kehidupan dengan keharmonisan, mengedepankan sikap toleran, serta mencegah hal-hal yang memicu perpecahan.

Kebiasaan-kebiasaan mencari perbedaan merupakan hal kuno yang harus dihilangkan dari pola pikir seorang manusia di zaman modern ini, jangan sampai hobi mencari-cari perbedaan menjadi orientasi ketika bergaul dengan orang, apalagi sampai menjadikan ajang provokasi dan konflik. Habib Husein Ja’far Al-Haddar memberikan sebuah Contoh sederhana, ketika sama-sama orang Indonesia bertemu saling bertanya, “Agama kamu apa?” keduanya sepakat menjawab Islam, belum cukup sampai disitu, mereka kembali bertanya “Apakah kamu golongan Aswaja?” kemudian memberikan pertanyaan lagi, “Kamu dari organisasi Islam ini atau itu?”, mereka akan terus bertanya sampai menemukan perbedaan diantaranya, ditakutkan hal-hal macam ini akan menjadi alasan untuk saling bermusuhan, berselisih, bertengkar, menjadi kesan kalau kehidupan sekarang sudah terpecah belah.

Masih ingat dengan piagam madinah yang pernah digaungkan Nabi pemberi syafaat   Muhammad Saw, sebuah dokumen yang terdiri dari 47 pasal tentang konstitusi Negara yang sangat modern di zamannya, dibuat lebih dari 600 tahun sebelum Magna Carta (The Great Charter of the liberties of England) dan lebih dari 1100 tahun sebelum The Constitution Of The United States, pada pasal pertama piagam ini dikemukakan bahwasanya terlebih dahulu untuk mendahulukan dan mementingkan persatuan bagi seluruh elemen masyarakat,

هذا كتاب من محمد صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب ومن تبعهم فلحق بهم وجا هد معهم انّهم أمة واحدة من دون اناّس

Berikut ini adalah piagam dari Nabi Muhammad Saw, antara kaum mukminin dan muslimin dari Suku Qurays dan Yatsrib (Madinah) dan para pengikut mereka yang bergabung dan berjuang bersama-sama mereka. Sungguh mereka adalah umat yang satu. Bukan dari komunitas yang lain.”

Apa yang diterapkan oleh Nabi mengajarkan kita sebagai umatnya untuk selalu bersikap toleran terhadap perbedaan, termasuk dalam babakan agama, juga menegaskan kembali, bahwa jika tidak menemukan alasan untuk bersatu karena perbedaan suku, agama, maupun bangsa, cukuplah persamaan sebagai manusia menjadi landasan untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan menjalin persaudaraan.

Jangan sampai pemikiran ekstrimis ataupun fanatik terhadap suatu golongan menjelmakan diri hingga merusak tatanan kehidupan harmonis menjadi kekerasan praktis, Agama islam telah mengajarkan bahwa untuk selalu bersikap moderat, dasar negara juga memegang teguh prinsip Persatuan dan Berbhineka Tunggal Ika, juga sebagai warga Nahdliyin kita diajarkan untuk mengamalkan tentang sikap tawasuth yang berarti tengah-tengah.

Islam Adalah Agama yang Moderat.

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6) secara tersurat dan tersirat sudah jelas bahwa Allah Swt memerintahkan makhuqnya manusia untuk saling menghormati, bukan saling perang mempertahankan ego yang beda pandang,  ditegaskan lagi melalui QS. An-Nahl ayat 125,

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dari ayat tersebut, umat muslim diperintahkan agar menyampaikan risalah Agama Islam melalui metode yang luwes dan tak terkesan keras, dengan menerapkan dakwah bil hikmah, Mauidhotul hasanah dan Wajadilhum billati hiya ahsan.

Dakwah bil Hikmah: melalui dalil atau hujjah yang jelas, sehingga akan menjelaskan sesuatu perkara yang masih tergolong samar.

Bil Mauidhotul Hasanah: Menyampaikan risalah ataupun peringatan dengan baik, sehingga dapat menyentuh perasaan manusia.

Wajadilhum billati hiya ahsan: Berdebat dengan cara sopan, baik dari segi penyampaian, maupun perdebatan tetap mengedepankan sifat lemah lembut.

Bahkan, ketika Nabi Muhammad Saw dan para pasukan muslimin bertempur dengan orang kafir, bukan keganasan dan kebringasan yang menjadi acuan, tetapi dengan cinta dan menegakkan keadilan, berorientasi damai dan mengubah pribadi seseorang menjadi lebih baik. Habib Husein Ja’far Al-Haddar berkata, Sayidina Ali RA pernah menunda tebasan pedangnya kepada seorang musuh yang meludahinya, salah satu sahabat bertanya “Mengapa engkau tidak menghunjamkan langsung tetapi menunda tebasan pedang wahai Ali?” dengan bijaknya Sayidina Ali berkata, “Aku tak ingin tebasan pedangku karena nafsu dan amarah, karena, semata-mata aku hanya mengharap keridhaan Allah Swt.”

Jadi, sudah jelas bahwa Agama Islam itu moderat, kalau tidak moderat berarti bukan islam, moderat yang berarti adil dan tegas, mana yang salah berarti salah dan yang benar tetap dikatakan benar.

Amalkan Semboyan Negara, Bhineka Tunggal Ika

Cinta pada negeri merupakan sikap mulia. karena, kita hidup di Tanah Indonesia ini berkat perjuangan mati-matian para pejuang pendahulu, maka totalitas membela, menjaga dan melindung inya adalah suatu hal yang harus diprioritaskan. Tentang kosep cinta tanah air ini, islam memandangnya sebagai sebuah media untuk memakmurkan negara, sebagaimana diungkapkan oleh Sayidina Umar Ra:

لولا حبّ الوطن لخرب بلد اسوّء فبحبّ الأوطان عمرت البلدات

“Seandainya tidak ada cinta tanah air, niscaya akan semakin hancur negeri yang terpuruk. Maka dengan cinta tanah air negeri-negeri akan termakmurkan”(Dikutip dari buku Kritik ideologi Radikal)

Oleh karena itu, NKRI yang warganya majemuk dan plural ini harus kita cintai, menimbang kita hidup berdampingan dengan berbagai macam suku, ras dan agama yang berbeda, maka dengan memegang teguh semboyan negara berupa Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua), merupakan hal mutlak, juga sebagai wujud dari Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta tanah air adalah Sebagian dari iman).

Konsep Tawasuth, Tasamuh, Tawazun dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Sebagai Pegangan Warga Nahdlyin.

Sebagai warga Nahdliyin, pastnya akrab dengan dasar-dasar prinsip dari Aswaja yang berupa sikap Tawasuth dan I’tidal, Tasamuh, Tawazun serta Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kesemua prinsip dasar-dasar pedoman tersebut mengajak untuk selalu bersikap baik dalam hal kemasyarakatan, saling toleran dan menjunjung tinggi kebersamaan dalam keberagaman. Mulai dari sikap Tawasuth dan I’tidal, mempunyai makna tengah-tengah, tidak ekstrem kiri ataupun kanan, menjunjung tinggi berlaku adil serta menandakan bahwa Warga Nahdliyin akan selalu menjadi golongan maupun kelompok yang senantiasa bertindak lurus, membuang jauh-jauh pendekatan tatharuf (bersikap ekstrem memegang teguh ego dan pendapat pribadi).

Ditegaskan lagi melalui cara pandang tasamuh, artinya menjunjung tinggi toleransi, menghargai segala perbedaan, mempunyai sikap toleransi yang baik kepada semua manusia (hablumminnanas), entah itu perbedaan agama, keyakinan, madzhab atau pun hal lain. tetap harus mengedepankan sikap tenggang rasa. Menghargai perbedaan agama manusia lainnya, tetapi bukan berarti kita ikut meyakininya, hanya sebatas menghormati.

Kemudian disempurnakan dengan Tawazun dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, menimbang segala sesuatu perkara yang berorientasi pada kemaslahatan, termasuk menyikapi perbedaan, berniat melakukan segala perbuatan berlandaskan menegakkan kebaikan meluluhlantahkan kemungkaran.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like