Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin atau Pondok Kasingan merupakan salah satu Pondok Tertua yang ada di Kota Rembang, Jawa Tengah. Banyak dari para lulusannya yang menjadi orang-orang besar. Sebut saja, KH. Abdul Hamid bin Abdullah Pasuruan, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH. Baidlowi Rembang, Kh. Misbah Tuban, KH. Bisri Musthofa Rembang, dan masih banyak lainnya. Pondok Kasingan juga dikelilingi pondok-pondok lain yang mana masih keturunan KH. Kholil Harun.
Dalam hal ini, kami diberi kesempatan bertemu dengan Ibu Nyai Aminah Tadaq selaku cucu dari KH. Kholil Harun dari istri ke 3 dan Gus Adib Hatani selaku cucu KH. Kholil Harun dari istri ke 2 untuk dimintai data mengenai KH. Mahrus Aly yang merupakan santri alumni Pondok Kasingan. Awalnya kami juga ingin mencari data dari KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) selaku Kiai yang memilki wawasan sejarah yang mendalam juga beliau termasuk santri alumni Pondok Lirboyo, namun kami hanya bisa ikut jama’ah dan bersalaman saja dikarenakan beliau ada jadwal mengaji. Tak apa. Bisa bertemu beliau juga termasuk hal yang patut di syukuri.
Kami mulanya menanyai tentang KH. Mahrus Aly pada Gus Adib Hatani, lalu pada Ibu Nyai Aminah Tadaq. Selain mengenai KH. Mahrus Aly, kami juga mencari data tentang biografi KH. Kholil Harun dan sejarah mengenai Pondok Kasingan. Setelah kami cukup mengenai data yang dibutuhkan, beliau (Gus Adib Hatani dan Ibu Nyai Aminah) memberikan beberapa pesan untuk kami pada umumnya dan pada santri pada khususnya. Berikut beberapa pesan beliau,
Para santri harus memiliki mental-mental berani. Berani menghadapi kenyataan yang akan terjadi. Berani menghadapi persaingan di luar sana. Jangan takut untuk bersaing dengan mereka, karena nasib orang tidak ada yang tau. Jangan takut untuk tidak populer. Biasanya orang-orang jaman sekarang itu jika tidak populer akan percaya diri. Tak apa tidak memiliki pekerjaan tinggi, asalkan halal, kenapa takut? Bahkan, adanya Hari Santri terinspirasi dari keberanian para santri dalam menghadapi penjajah. Jika para santri terdahulu tidak memiliki keberanian, apakah ada Hari santri? apakah yakin Indonesia merdeka? Tapi, bedakan berani sama nekat.
Relasi sangat dibutuhkan bagi santri. santri harus mengisi dan bekerja sama satu sama lain. Santri itu memiliki latar belakang pondok yang berbeda-beda, tapi jaman sekarang santri malah saling seteru sama lain. Pondok Qur’an menjelek-jelekan pondok kitab. Pondok kitab menjelek-jelekan pondok bahasa. Begitu seterusnya. Seharusnya dengan latar belakang dan basic yang berbeda mengharuskan santri mengisi tempat sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Isi setiap lini negara ini dengan para santri.
Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah atau memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik, harus dipegang kuat-kuat oleh santri. Di tengah era kemajuan seperti saat ini tak jarang melupakan sesuatu yang sudah berbau lama. Kadang santri membalik qoidah ini, mengambil beberapa yang lama dan memelihara semua yang baru. Jangan seperti itu, indonesia memiliki budaya terutama dalam hal keagamaan yang banyak. Sekiranya masih relevan digunakan pada saat ini, kita harus pelihara. Sebaliknya, segala sesuatu yang baru, kita juga harus memfilternya karena tidak semua yang baru itu baik buat kita. Santri harus paham betul qoidah ini.
Tiga pesan di atas merupakan pesan yang disampaikan oleh Gus Adib. Sedangkan Ibu Nyai Aminah hanya menyampaikan satu pesan saja, yaitu,
Santri harus intelektual, intelektual harus santri. Di zaman sekarang ini santri juga harus memiliki kemampuan dan kecakapan zamannya. Kita tidak bisa menafikan bahwa ijazah itu penting dalam menjalankan hidup di dunia ini. Hingga, tidak ada stigma bahwa santri bisanya hanya mengaji saja. Teknolgi perlu menjadi santapan yang sehari-hari. Santri harus cakap teknologi. Begitu pun nanti saat sudah mulai keluar dari pesantren dan memilih jalan karirnya masing-masing. Jika santri berintelektual maka ia mudah dalam karirnya. Begitu pun jika orang-orang intelektual seperti para politisi itu santri maka akan benar dan lancar urusannya. Maka dari itu, santri harus intelektual, intelektual harus santri.
*Disarikan dari ucapan Gus Bisri Adib Hatani dan Ibu Nyai Aminah Tadaq.
***