KH. Husein Muhammad mengatakan dengan tegas dan cerdas dalam bukunya, Spiritualitas Kemanusiaan,
“Imam al-qaum khadimuhum” (pemimpin masyarakat adalah pelayan mereka). Hingga beliau mengutip keterangan dari Farid Essac dalam bukunya, On Being A Muslim, yang juga mengutip sebuah cerita yang sangat menarik dari Imam al-Ghazali:
“Dua orang sahabat; Abu Ali dan Abdullah pergi ke luar kota. Sesuai petunjuk Nabi Saw., Abdullah mengusulkan agar ada orang yang memimpin perjalanan. Abu Ali merasa Abdullah pantas memimpin. Abdullah tidak menolak.
Kedua orang itu telah mempersiapkan bekal yang cukup untuk perjalanan mereka. Abdullah mulai memainkan perannya sebagai pemimpin. Ia mengangkat satu karung berisi bekal perjalanan itu. Ketika Abu Ali menawarkan diri untuk membawanya, Abdullah menolak sambil mengatakan, “Aku yang membawanya, bukankah aku sudah siap memimpin? Maka, kamu harus mematuhiku.”
Abu Ali mengangguk dan diam saja. Ketika malam tiba, mereka tidur. Namun, hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Mereka kehujanan. Abdullah berdiri di atas kepala Abu Ali dan melindunginya dengan mantel. Abu Ali terbangun dan berkata pada dirinya sendiri, “Kamu memang pemimpin.”
Abdullah terus berdiri sepanjang malam dalam keadaan basah kuyup sampai hujan mereda. Otaknya selalu dipenuhi pikiran bahwa seorang pemimin adalam pelayan dan pelindung. Kalimat “imam al-qaum khadimuhum” selalu berdengung di kepalanya.
Sungguh tidak bisa dinafikan, memang seperti itu seharusnya, selayaknya seorang pemimpin. Dan tidak bisa dinafikan pula, pemimpin seperti itulah yang kita harap: yang Indonesia butuh.
Bukan tanpa alasan, bahkan dalam masa dengar pesta demokrasi yang hingar bingar, terutama dalam pemilihan presiden, banyak hal yang menjadi perhatian, banyak hal yang harus diperhatikan. Tentu kita akan ditimpa bertubi akan gagasan-gagasan dan janji-janji yang coba kita sesuaikan dengan harapan dan kebutuhan negara, terutama kita yang sebagai rakyat: ucapan siapa yang mudah ditolelir dan lebih masuk akal?
Selain karena kita harus bijak dan cermat dalam menentukan sikap untuk memilih seorang pemimpin, wakil rakyat, yang perlu kita tau, politik ya tetap politik. Bukan hanya tentang ilmu ketatanegaraan, politik itu kebijakan, politik itu siasat, dan tidak menutup kemungkinan untuk segala penyelewengan yang terorganisir dan tertutup rapat.
Itu kenapa KH. Mahrus Aly pernah dawuh,
من لم يعرف السياسة ااكلته السياسة
“Siapa yang tak paham politik, maka akan dipolitiki.”
Meski sebagaimana pun rakyat telah bijak dan cermat dalam memahami politik, tapi tidak dilakukan timpal balik serupa oleh pemimpinnya, tidak sama-sama adil sejak dalam pikiran: sama saja bohong!
Ingat, selain secara universal, manusia adalah khalifatu fil ardhi, tapi secara spasial, memang ada beberapa manusia tertentu yang dipasrahi dan dimanahi dalam kepemimpinan. Terutama dalam lingkup negara. Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah ayat 8)
Tentu yang terpenting bagi seorang pemimpin, selain sifat adil, adalah mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Dan hal itu tidak semudah mendapatkannya dari hanya ucapan, gagasan dan janji-janji. Tapi perlu gerak dan pembuktian. Dan kenyataannya di negara kita, tidak seindah itu. Dengan mudah kita dapat informasi dari berbagai media, meski hanya lewat media sosial, fakta-fakta berhamburan dan berserakan dalam memberitakan para pemimpin yang katanya wakil kita, wakil rakyat, penuh dengan intrik buruk yang mengusik. Mudah saja, kita sudah muak dengan berita korupsi!
Sering kita dengar istilah petugas partai. Tentu tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan berlebih. Bagaimana wakil rakyat dan partai itu memang tidak bisa dipisahkan. Memang seperti ini, salah satu konsekuensi negara berasas demokrasi. Dan istilah petugas partai adalah keniscayaan. Mengutip dari laman website Institut Pemerintah Dalam Negeri Jakarta, petugas partai dimaknai sebagai orang yang diserahi tugas menjalankan visi dan misi partai pada semua cabang kekuasaan, entah eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Konsekuensinya mereka bertanggungjawab penuh pada partai.
Sekali lagi, tentu tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan berlebih. Baik dari petugas partai ataupun partai itu sendiri. Karena bagaimanapun partai adalah manivestasi dari aspirasi dan integrasi rakyat. Partai dibentuk untuk itu. Dan harapannya ya semoga begitu.
Tapi, lagi-lagi, tidak menutup kemungkinan akan partai yang melenceng dari tujuan awal, tujuan utama. Hingga, hal ini berpengaruh pada subjek yang berstatus wakil rakyat plus petugas partai, lebih terfokus dan mementingkan partai dari pada rakyat.
“Kan saya selain wakil rakyat, juga petugas partai. Emang salah kalau saya juga fokus dan antsusias pada partai?” Celetuknya, mungkin.
Haha. Tentu tugas utamanya adalah sebagai wakil rakyat. Dan partai, ya tetap, tujuannya akan kembali bermuara ke rakyat, untuk kepentingan rakyat. Kan sudah dibahas di atas.
Jika hal inti dan utama sudah melenceng dari pada wakil rakyat, tentu saja hal itu akan berdampak pada rakyat. Saat ada keluhan dan panggilan dari rakyat pada figure yang mengaku wakil rakyat untuk permasalahan agar terselesaikan, mungkin memang sampai. Mungkin memang dipikirkan. Hingga dirancang, skema dan dana, tapi solusi itu tidak semulus sebagaimana konsepnya alir dari atas ke bawah. Malah belak-belok dan menciprat ke samping, kanan kiri. Hak dan kebutuhan rakyat diambil oleh selera dan keinginan partai, -laknat.
Untuk persoalan ini dan solusinya, saya tidak pantas untuk andil menggurui para wakil rakyat yang tentu cerdas dan kredibel, penuh hormat. Hanya sekedar mengingatkan, bahwa Syekh Musthofa al-Gholayini pernah membahas ini dalam kitabnya, Idhotunnasyi’in:
ولا يكون الرئيس رئيسا حقا حتى تتوفر فيه شروط الرئاسة من العقل والعلم والصحة الوجدان والمرؤة والشهامة وطهارة السريرة وحسن السيرة والكرم والبذل الجم في سبيل إحياء الأمة ونشر العلم في ربوعها
“Pemimpin belum bisa dianggap sebagai pemimpin sejati, kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa mengendalikan diri, perkasa, bersih dan tulus hatinya, baik perilakunya, dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan demi kesejahteraan umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat tinggal umat.”
Dengan begitu sudah seharusnya, tidak hanya soal gagasan dan rancangan, hak dan kewajiban rakyat yang sudah paten diatur dan tertera di konstitusi negara harus diperhatikan dan dijalankan. Hal itu merupakan tugas dan kewajiban pemerintah sebagai pemenuh dan pelaksana. Bukankah hal itu sudah tertuang dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” ?
Agar ingat dan sadar, akan kami tulis di sini mengenai hak warga negara sebagai mana yang tertuang dalam konstitusi:
Hak Warga Negara Indonesia:
Jika pemerintah sudah memperhatikan dan menjalankan urusan hak ini, maka rakyat pun sudah barang tentu memperhatikan dan menjalankan kewajibannya, selaku warga negara.
Tulisan ini ditutup dengan nasihat Nabi Saw. dalam sebuah hadits,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR al-Bukhari).