Warung Ujung Jalan
“Nasi uduk satu!”
Suara seorang lelaki memecah lamunan.
“Baik, Mas.”
Siang itu adalah jam istirahat. Para mahasiswa mulai bergerak keluar kelas dan memenuhi kebutuhannya masing-masing. Seperti Rendi, ia lebih berniat untuk mengisi kekosongan perutnya yang suah meronta semenjak matkul Studi Islam. Semua materi ayat beserta tafsirnya itu memaksa otak bekerja keras untuk memahami, lalu lapar.
Ia biasa makan siang di warung langganannya yang berada di ujung jalan yang tampak kusam dan sepi. Hanya ada dirinya dan sebatang pohon kersen yang mulai tumbuh besar dengan daun yang bergerak seirama angin. Rendi terbiasa makan di warung itu. Sering makan di warung itu. Sangat sering. Bahkan, sejak ia semester awal.
Tempat yang jauh dan kantin serta kafe-kafe itu menjadi alasan kuat mengapa mahasiswa tidak memilih makan siang di warung itu. Selain warungnya hanya menyediakan nasi uduk ala kadar dan berbagai minuman sachet, suara kendaraan jalan itu cukup mengusik telinga. Rendi malah memilihnya.
“Ini, Mas.”
Sepiring nasi uduk tersaji di hadapan Rendi. Seorang pelayan perempuan warung itu kembali masuk untuk membuatkan es teh manis yang Rendi pesan kembali.
Nasi uduk itu terlihat pucat.
Setelah baca do’a, Rendi mulai menyantapnya perlahan. Satu, dua suapan, kunyahannya berhenti.
“Nasi uduknya lebih asin dari kemarin.” Batin Rendi.
Ia kembali menyuap nasi itu dengan bihun juga semur tahunya. Ia tetap mengunyah perlahan. Tapi, tetap saja kuah semur itu tak bisa melawan asin dari nasi uduk tersebut. ia berusaha menambahkan sambal dalam sendok suapannya. Ya, untuk asin itu.
“Uhuk!” Rendi tersedak. Kalau boleh dinilai, sambalnya lebih pedas dibanding omongan tetangga yang terus nanya, ‘Kapan kerja?’
“Ini, Mas minumnya.”
Tepat. Untung es teh yang ia pesan lekas datang. Rendi segera meminumnya. Tapi, matanya masih menangkap perempuan pelayan warung itu yang masih berdiri di dekatnya, lalu tersenyum.
Rendi kembali tersedak. Kali ini lebih keras. Es teh itu kembali ia minum. Hingga habis.
“Hati-hati, Mas.” Tampak ekspresi khawatir dari wajah perempuan pelayan warung itu. Ia juga memberikan tisu pada Rendi.
“Makasih.”
“Ada yang bisa saya bantu lagi?”
“Nggak ada, Mbak. Makasih.”
Mendengar ucapan Rendi, perempuan pelayan warung itu beranjak.
Rendi mengurusi nasinya yang belum habis. Meskipun seperti itu, tak baik membuang-buang makanan.
“Jadi berapa, Mbak?”
“Nasi uduk sama es teh, jadi 50 ribu!”
Rendi membayar, setelah dirasa makanan dan minuman telah ia habiskan, Rendi memberikan selembar 50 ribuan. Pas. Tidak kembalian.
***
Memang benar kata anak-anak, Pak Romli itu Dosen killer. Hanya karena Rendi tak mengumpulkan tugas artikel psikologi umum, ia harus me-riview 5 buku dan 5 jurnal Psikologi umum dan menuliskannya di 5 buku tulis. Harus penuh!
Rasanya tangan Rendi ingin copot. Seharian ini ia hanya berkutat di perputakaan untuk mencatat tugas itu. Bagaimana tidak, besok harus dikumpulkan.
Rendi melepas pulpen dari tangannya. Pulpen yang ketiga ini kembali habis. Bertepatan dengan lembar terakhair dari 5 buku tulis yang sudah tak ada ruang baris yang kosong untuk menulis. Tugas itu telah selesai. Rendi melirik jam, sudah 7 jam Rendi berkencan dengan pulpen dan buku-buku perpustakaan. Dan ia belum makan siang.
Seperti biasa, Rendi memilih warung di ujung jalan kampungnya. Nasi uduk kembali dipilihnya sebagai menu makan siangnya. Nasi uduk dan Rendi seolah sudah mandarah daging. Tak bisa hidup tanpa nasi uduk.
“Nasi uduk sama es teh, Mbak!”
Perempuan penjaga warung itu segera menyiapkan pesanan dari salah satu atau bahkan satu-satunya pembeli di warung itu.
Dilihat warung itu, tampak sawang dan sarang laba-laba menghiasi atap warung. Juga debu-debu seakan telah menemukan habitatnya pada kalender, jam, juga dinding-dinding itu. Rendi sudah biasa.
“Ini, Mas!”
Perempuan pelayan warung itu menyuguhkan pesanan Rendi dengan tersenyum.
“Makasih.” Ucap Rendi, juga membalas senyum itu. perempuan pelayan warung itu beranjak.
Tak lupa, sebelum makan, Rendi terlebih dahulu membaca do’a. Lalu, dengan nafas panjang, suapan-suapan nasi uduk itu ia kunyah. Mendingan. Tidak lebih asin dari kemarin. Meskipun tetap asin.
Saat sedang menikmati nasi uduk kebanggaannya,
“Tarr! Aww!”
Suara pecah gelas terdengar, juga jeritan seorang perempuan. Sepertinya ia adalah pelayan warung itu. Nasi uduk ia tinggal, Rendi segera menghampiri suara itu.
Terlihat perempuan pelayan warung itu sedang terduduk lemah kesakitan dengan hamparan pecahan gelas yang berserakan. Darah juga tampak dari telapak kakinya.
Tanpa banyak bicara, Rendi mulai membersihkan pecahan gelas itu. lalu, menolong perempuan pelayan warung itu agar darahnya berhenti. Dengan metode mengompres dengan es batu.
“Aww!”
Perempuan itu tampak meringis kesakitan saat kompres es batu itu menyentuh telapak kakinya.
Setelah darah itu berhenti dan perempuan penjaga warung itu tenang, Rendi berniat pullang dan tidak lupa membayar makanan dan minumnya.
“Makasih ya, Mas. Udah mau tolong saya. Kalau nggak ada Mas, saya nggak tau deh gimana jadinya?” Ucap Perempuan penjaga warung itu. Terdengar tulus. Terlihat senyum.
“Iya, Mbak. Sama-sama.”
Rendi membayar. Selembar 50 ribu disodorkan. Pas. Nggak kembalian.
Perempuan pelayan warung itu menerimanya tetap dengan senyum hangat.
Saat Rendi hendak beranjak,
“Mas, tunggu! Ada sedikit yang mau saya tanyakan.”
Perempuan pelayan warung itu memanggilnya. Berdiri. Rendi kembali. Mereka berhadapan.
“Maaf kalau ganggu!”
Ucapan perempuan pelayan warung itu memulai pembicaraan. Dengan perban kecil yang menghiasi telapak kaki kanannya. Jalannya sedikit tertatih.
“Saya mau tanya, kenapa Mas begitu senang dan memilih makan di warung ini? padahal saya dan Mas tau, bahwa warung ini kotor, berdebu, bising, juga makanannya yang kurang enak dan mahal?”
Rendi mencoba mencerna ucapan itu dan menatapnya lekat.
“Memang warung ini kotor, berdebu, bising, juga makanannya yang kurang enak dan mahal. Tapi, aku tak memandang itu!”
“Lalu?”
“Aku hanya mencintaimu.”
“…”
***