web analytics
AD PLACEMENT

Yai Imam di Dekat Kami

AD PLACEMENT
0 0
Read Time:6 Minute, 49 Second

Bagi santri generasi akhir seperti kami, tentu kami tak banyak tau mengenai Kiai kami. Karena memang jarak semasa hidup beliau dan datangnya kami dan menjadi bagian itu terpaut kurun waktu yang terlalu jauh. Apa lagi yang bisa kami lakukan untuk meneguk teladan dan rindu pada kiai kami? Kami hanya bisa bersua  mengunjungi para santri terdahulu, mereka yang beruntung karena menjadi saksi hidup bersama Kiai. Dari merekalah dahaga kami hilang. Yai Imam di dekat kami.

Syukur alhamdulillah, kami bisa berjumpa dengan alumni terdahulu yang kini sudah menjadi orang besar, tentunya tak lain dan tak bukan berkat jasa orang yang jasanya tak kalah besarnya, beliau Almarhum Almaghfurlah KH. Imam Yahya Mahrus bin KH. Mahrus Aly.

Kami bertanya, mendengar semua kesan pesan beliau selama hidup di dekat Yai Imam. Dimulai dari Gus Khoiron Zaini, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Sampang. Beliau menuturkan awal bisa sampai mondok di Al-Mahrusiyah,

“Awalnya saya pengen mondok di pondok tahfizh di Malang, karena memang ga bisa disambang, akhirnya setelah SD ke Lirboyo bersama kakak. Alasannya ke Al-Mahrusiyah karena ada formalnya. Saya di sana mulai dari MTs sampai MA.”

AD PLACEMENT

Lalu beliau mulai menceritakan sosok Yai Imam pada kami.

”Saya kagum itu pada keistiqomahan beliau. Suatu hari beliau pernah baru pulang dari Surabaya, beliau langsung masuk ke ndalem dan langsung bersiap istighosah.”

Mengenai istighosah ini, beliau juga bercerita tentang awal sowannya ia bersama Sang Ayah pada Yai Imam. Ayah beliau menanyakan perihal kunci sukses Yai Imam. Beliau menjawab, “istighosah.”

Kesan-kesan pun mulai membanjiri pikir kenang kami yang tertuang dalam cerita beliau,

AD PLACEMENT

“Pernah suatu hari saya tabrakan. Ini yang menurut saya nggak masuk akal. Saya keluar untuk menonton piala Indonesia, entah apa lawannya. Setelah pulang, saya mengayuh onthel dengan begitu kencang, saat menyalip mobil di depan ternyata sudah ada motor yang tak kalah kencangnya. Akhirnya tabrakan tak bisa dielakan. Saya merasa tubuh saya terpental jauh, dan dalam akal logikanya, tentu sepeda onthel akan kalah jauh dengan motor. Tapi, anehnya saya tidak kenapa-apa. Hanya sedikit lecet. Sedangkan dia berdarah dengan begitu segarnya.”

”Saya juga pernah ketahuan keamanan karena membawa hp. Sialnya saya langsung disuruh menghadap Yai Imam. Tentu siapa yang tidak panik. Ketika saya menghadap, beliau memerintahkan saya untuk membersihkan rumput di samping pondok putri setiap sore selama sebulan. Saya sami’na wa thoatan . Meskipun tetap sesekali digojlok oleh teman-teman. Tapi, tidak saya pikir. Dari sana saya belajar ikhlas.

Lain pula Gus Khoiron, lain pula apa yang disampaikan oleh Gus Mahrus, salah satu sopir pribadi yai Imam yang kini sudah menjadi Kiai Besar dengan mengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Bangkalan. Beliau mulai menceritakan awal mondoknya,

“Awalnya saya mondok di Bangkalan yang mana pada saat itu pengasuhnya adalah Kiai Anwar. Beliau menyuruh saya untuk ke HM Putra. Alasannya, HM Putra karena pada masa itu, Kiai Mahrus sedang tenar-tenarnya. Dan kebetulan anaknya ada yang membuuka pondok. Oleh karena itu, kenapa nama saya dinamai Mahrus. Karena tabarukan dengan beliau.”

AD PLACEMENT

”Di awal pertemuan saya langsung terkesan dengan beliau (Yai Imam), bagaimana tidak, saat pertama kali sowan pada beliau, beliaulah yang langsung mengantarkan teh itu pada kami selaku tamu.”

Karena kebetulan Gus Mahrus adalah salah satu generasi santri sepuh plus sebagai supir Yai, kami sempat menanyakan itu,

”Awal jadi supir itu ketika beliau ingin pergi ke Madura. Beliau bertanya, “siapa yang orang Madura?” saya yang memang kebetulan orang Madura, mengangkat tangan, “saya, Yai” mulai dari saya menyopiri beliau ke Madura itulah sampai berlanjut sampai menjadi supir resmi.”

Beliau, Gus Mahrus juga menceritakan pengalaman yang paling tidak bisa dilupakan saat menjadi supir Yai Imam, “Saat menjadi supir, saya pernah kecelakaan. Waktu pulang dari Jatipurwo, mobil mogok di jalan tol. Untungnya karena waktu itu rombongan Yai membawa 2 mobil, jadi mobil yang mogok itu diderek oleh mobil yang tidak mogok. ‘Solah , nanti waktu sudah sampai Mojoagung, gantian dengan Mahrus, takut kamu ngantuk.’ Ucap beliau pada kang Solah (sopir satunya)  yang membawa mobil yang tidak mogok. Saya ikut di mobil belakang yang mogok diderek.

Dan kejadian itu terjadi, diduga Kang Solah mengantuk, mobil itu masuk lajur kanan berlawanan arah dan kami yang diderek tentu ikut pada mobil itu. Langsung saja, di depan kami mobil container yang juga kencang sedang melaju. Kecelakaan tidak bisa dihindari. Mobil kami sampai masuk ke kolong kontainer tersebut. Mobil hancur parah. Saya yang saat itu sempat tertancap pecahan kaca di jidat, sebelum pingsan karena keluarnya darah, saya sempat melihat Yai Imam, keluar mobil dan baik-baik saja. Masya Allah, Yai. Hingga saya dirawat setelah itu.”

Yai Imam juga terkenal dengan sosok Kiai yang humoris. Bagaimana tidak, bagi mereka yang menemui zaman beliau, ceramah Yai Imam juga pengajian beliau adalah sesuatu hal yang selalu ditunggu-tunggu. Karena jenakanya beliau. Jadi, setiap orang yang duduk dengan beliau merasa senang. Hal itu juga diakui oleh Gus Mahrus. Beliau menuturkan,

“Suatu hari Yai Imam berkata kepada saya, ’Rus, nanti malam kita berangkat ke Jepang. Jam 8.’ Wah, saya tentu kaget. Dalam pikiran, ’oh mungkin saya akan mengantarkan beliau ke Juanda.’ Ternyata sampai malam itu tiba, beliau sudah siap dan hanya memakai sarung tanpa ada sesuatu yang penting untuk dibawa. Dan ibu Nyai juga tidak ikut. Saya sedikit was-was. Sampai di perjalanan, saya diomeli beliau, ‘kok, ambil jalur Surabaya? Ambil jalur Nganjuk!’ Saya menurut saja. Dan ternyata, Jepang yang beliau makasud adalah nama sebuah desa di Nganjuk.”

Selain itu, bagi santri Al-Mahrusiyah, kita kerap kali mendengar bahwasanya Yai Imam tak pernah menyebut ‘ini santriku,’ tapi, ‘ini anakku!’ dan hal itu beliau akui,

“Hal itu benar-benar terjadi pada saya. Saat saya ikut Yai pada sebuah acara perkumpulan para Kiai. Tiba-tiba saya ditemui seseorang, bahwasanya saya dipanggil Yai Imam. Mungkin pikir saya, ’saya akan disuruh untuk membawa berkat. Karena acara memang sudah selelsai.’ Saya hampiri beliau, saya dipangggil, ’rus, mahrus, sini! Duduk sini!’ saat itu beliau sedang duduk makan bersama para Yai yang lain dan saya disuruh duduk. Disuruh ikut makan. Tapi, sebelum itu, di hadapan para Yai yang lain beliau berkata, ‘ini loh Yai, anak saya!’ Masya Allah. Saya tidak pernah terbayang senang akan kejadian itu.”

Hal yang tidak luput dari sosok Yai Imam ialah, selain istiqomah, adalah kesederhanaan dan kedermawanan. Beliau tidak pernah sungkan jika harus makan bersama para santrinya. Lauknya pun ala kadar apa adanya, ”dulu saya sering disuruh beli soto tamanan, nasi goreng gondrong di kota, juga nasi pecel. Beliau tak pernah sungkan untuk makan bersama santrinya selepas itu.” Lanjut Gus Mahrus.

Untuk hal kedermawanan beliau tak perlu diragukan lagi. Hal itu sudah diakui oleh para santri terdahulu. Beliau biasa untuk berbagi rokok pada para santri. Biasanya jenis Grendel atau Surya. Beliau juga kerap kali membawa makanan dari ndalem, seperti roti yang akan dibagikan pada para santri.

Kedermawanan itu pun dirasakan oleh Gus Mahrus. Setiap beliau mendampingi Yai Imam dalam setiap acara, pasti amplop yang beliau dapat akan dibagi pada Gus Mahrus. Beliau menuturkan, ”setiap beliau memberi uang itu ke saya, tidak pernah sekalipun saya sentuh uang itu. Meskipun saya memang sedang sangat-sangat butuh. Uang itu saya kumpulkan, lalu ketika datang tahun ajaran baru, saya berikan lagi uang itu saat sowan.”

Dengan berbincang hangat dengan beliau-beliau, Gus Khoiron ataupun Gus Mahrus, membuat  kami untuk betah lama-lama. Melepas haus dahaga kerinduan kami pada sosok yang hanya bisa kami kenal lewat foto, juga lisan dan tulisan. Karena segala keterbatasan, hanya ini yang bisa kami sampaikan. Sebenarnya masih banyak lagi apa yang beliau sampaikan akan Yai Imam. Maaf atas segala salah dan kurang dari kami. Dengan hal itu, Gus Khoiron dan Gus Mahrus, membuat kami merasa Yai Imam di dekat kami.

Tulisan ini kami tutup dengan pesan Gus Khoiron dan Gus Mahrus untuk santri pada umumnya dan untuk kami khususnya,

Gus Khoiron berpesan;

  1. Jangan sampai jauh dari guru, karena barokah tidaknya ilmu kita itu tergantung pada yakin tidaknya kita pada guru.
  2. Jaga dzikir aurod yang telah diajarkan guru kita, karena itu kunci kebahagiaan dunia akhirat.
  3. Ilmu yang telah didapatkan dikit banyaknya di pesantren harus diamalkan.

Gus Mahrus berpesan;

  1. Jaga keistiqomahan yai, jangan melanggar peraturan masyayikh. Karena buah istiqomah itu sudah saya rasakan sendiri. Andai saya lebih istiqomah lagi dulu, nggak sering bolos istighosah, mungkin saya bisa lebih dari ini.
  2. Santri itu harus punya riyadhoh. Karena tidak semua santri pintar kitab. Jika tidak ditopang dengan riyadhoh, mau jadi apa?

 

 

Wallahu a’lam.

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

AD PLACEMENT

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Sholat Tarawih Cepat, Bagaimana Hukumnya

Sholat Tarawih Cepat, Bagaimana Hukumnya

Penjelasan Hakikatnya Ilmu dan keutamaannya, di Awal Pengajian Ramadhan kitab Ta’limul Muta’alim

Penjelasan Hakikatnya Ilmu dan keutamaannya, di Awal Pengajian Ramadhan kitab Ta’limul Muta’alim

Merefleksikan Ungkapan “Urip Mung Mampir Ngombe”

Merefleksikan Ungkapan “Urip Mung Mampir Ngombe”

Memahami Khidmah dan Barokah

Memahami Khidmah dan Barokah

Menjaga Adab Membagun Hubunggan Baik

Menjaga Adab Membagun Hubunggan Baik

Pondok Pesantren Darur Rasyidah Gelar Majlis Dhiyaul Lami’ dalam Peringatan Isro’ Wal Mi’roj

Pondok Pesantren Darur Rasyidah Gelar Majlis Dhiyaul Lami’ dalam Peringatan Isro’ Wal Mi’roj

AD PLACEMENT