”Ketika Mengurusi Santri Harus Sabar” Kisah Keteladanan Yai Imam
Tulisan ini disarikan dari kesaksian Bapak Muhammad Yusqi, Alumni Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah yang sekarang menjadi Kepala SMKS Ma’arif NU Kencong, Jember.
Tahun 2001 menjadi awal kali saya menempuh ilmu di Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, saat itu ketika belajar di Madrasah Diniyah saya masuk pada tingkatan Tsanawiyah, kemudian lulus pada tahun 2008. Sembari belajar di Madrasah Dinyah, juga menempuh pendidikan di Universitas Islam Tribakti, jurusan Pendidikan Agama Islam, hingga menyelesaikannya pada jenjang Magister.
Ketika turut membantu kepengurusan di Pondok Pesantren, saya ditempatkan sebagai Wakil Ketua 2, membawahi Depertemen Kesra (Kebersihan dan Kerapihan) juga PLP (Perairan dan Listrik Pondok). Dulu juga diamanahi untuk mengurus MMQ yang sebelumnya disebut Pengajian Al-Qur’an, hal ini dikarenakan agar ada tingkatan-tingkatannya, seperti Ula, Wustho dan Ulya’.
Dalam perkembangannya, ketika turut serta mengurus MQQ, sudah dilaksanakan wisuda sebanyak 3 kali. Dimana sesuai dengan dawuh Yai Imam, ”Arek-arek kudu apal Surat Munjiyat sakdurunge diwisuda/ Takhtiman MQQ” maka dari itu teman-teman ketika belajar Al-Qur’an lebih ditekankan pada persiapan membaca Al-Qur’an dan Bacaan Sab’ul Munjiyat.
Membantu Relasi Pondok dengan Pihak Luar
Ketika saya masih dipondok, sering dapat perintah dari Yai Imam untuk menjalin hubungan dengan pihak luar seperti PT. Gudang Garam, Pabrik Rokok Grendel, Pejabat Pemerintahan, Sowan ke beberapa pondok dan sebagainya. Pernah pada waktu itu, saya diperintah oleh beliau untuk menyewa Bus di PT. Gudang Garam, saya buatkan surat dan segala kelengkapan adminitrasi, jika ada Santri Al-Mahrusiyah berkunjung ke PT. Gudang Garam pasti akan mendapat pelayanan yang luar biasa.
Setelah 2 atau 3 hari, saya kembali ke PT Gudang Garam untuk memastikan Bus yang akan dipakai, ternyata tidak dapat untuk memakai Bus milik PT. Gudang Garam, tapi justru disewakan 3 Bus Pariwisata. Alhasil Bus ini dapat digunakan untuk mengiringi Gus Melvien pergi ke Demak.
Ada juga pengalaman berkesan ketika ikut beliau meninjau tanah di Kecamatan Semen, pada saat Rokok beliau hampir habis, beliau berkata,
“Iki cekelen (Ini Peganglah).”
“Tapi kulo mboten ngerokok yai (Tapi saya tidak merokok Yai.” jawab saya.
“Yo wes penting cekelen (Ya Sudah, yang penting dipegang)”
Akhirnya Rokok itu saya pegang bersama roti yang diberikan.
Terkait pengembangan Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, beliau dulu sudah ada dawuhan, punya keinginan agar nanti di Ngampel ada pondok sekaligus pendidikan formal, seperti, SMP, SMK hingga perguruan tinggi, hal ini bukan berarti ada niatan lepas dari Lirboyo atau Tribakti, tetapi agar satu naungan dibawah Yayasan Al-Mahrusiyah.
Kenangan yang Berkesan.
Saya dulu itu pernah dipukul oleh Yai Imam tapi tidak sedikitpun merasa sakit, awal mula kejadiannya pada saat beliau membangunkan santri untuk melaksanakan Istighosah, mungkin karena pada saat itu sedang kelelahan dan cuaca sedang hujan, saya yang awalnya tidur di sisi timur mushola pindah ke Kantor untuk tidur kembali, namun Yai Imam tiba-tiba masuk dan langsung memukul saya karena berniat untuk membangunkan, anehnya pukulan yang keras itu tidak terasa sakit sama sekali.
Keesokannya, saya langsung sowan ke beliau untuk meminta maaf,
”Yo, ojo dibaleni neh (Ya, jangan diulangi lagi).” Jawab Yai. Hal ini menandakan bahwa Yai Imam itu sayang dengan santri-santrinya.
Dulu juga punya keinginan untuk ikut Ngaji Ramadhan di Pondok Sarang, akhirnya saya memberanikan diri untuk sowan kepada beliau,
“Opo wes nggak ono Yai-Yai Lirboyo seng ngaji (Apa sudah tidak ada Kyai-Kyai Lirboyo yang membuka pengajian.” Jawab beliau dengan nada bercanda. Alhasil tetap diberikan izin oleh beliau di Pondok Pacul Gowang, agar tidak terlalu jauh, “Yo wes ojo adoh-adoh, ndek Paculgowang ae” Tutur Beliau.
Belajar Sabar Ketika Mengurusi Santri.
Ketika dulu pengurus-pengurus sowan melaporkan perkembangan pondok, Yai Imam sering dawuh, ”Ojo pegel karo santri, senakal-nakale ojo dipegeli, sering diajak istighosah ben atine cerah, ben manutan (Senakal-nakalnya santri jangan sampai jengkel, sering-sering diajak istighosah supaya hatinya cerah, kalau sudah cerah nanti mudah untuk diarahkan).”
Sayang kepada santri sering beliau contohkan, antara lain pada saat mengajak santri untuk mencari rumput di lapangan dekat Aula Al-Muktamar, untuk makan hewan ternak, kambing dan sebagainya. Ketika sudah selesai dengan sigap Yai Imam langsung membawa rumputnya untuk diikatkan ke motor, padahal banyak santri yang ingin membantu, namun rumput itu sudah dibawa beliau kepada ndalem belakang.
Dalam hal tarbiyah pun, beliau juga perhatian, seperti Istiqomah untuk mengaji Alfiyah setiap pagi bersama santri. Kalau bulan Ramadhan beliau rutin membacakan kitab Jurumiyah dan Ushfuriyah.
Keistiqomahan Amaliyah Yai Imam.
Banyak sekali amalan-amalan yang diistiqomahkan Yai Imam, seperti Istighosah, membaca Surat-Surat Sab’ul Munjiyat selepas Jama’ah Maghrib, Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dan Hirjul Jausyan.
Dalam hal ini, beliau sering ngendikan, “Munjiate diapalno, ojo lali istighosahe, (Surat Sab’ul Munjiyat dihafalakan, jangan lupa istighosahnya.”
Tak hanya itu, pernah saya dan teman–teman diberi pesan oleh Yai Imam untuk tirakat, seperti Puasa mutih selama seminggu,
”Mumpung neng pondok, lek neng omah wes nggak sempet, (Selagi masih dipondok, nanti kalau dirumah sudah tidak sempat” Kata Yai Imam.
Yang saya rasakan sampai sekarang itu, dari setiap dawuhan Yai Imam selalu ada lantaran doa dan barokah dari beliau.
Cerita Menarik dan Pesan Ketika Pamitan (Boyong).
Ketika mengutarakan niat untuk pamitan dari pesantren, Yai Imam ngendikan:
“Wes mondok pirang tahun sampean (Sudah mondok berapa tahun sampean?)”.
”Sampun 11 tahun yai (Sudah sebelas tahun yai).” Jawab saya.
Yai Imam menimpali, ”Woh, sek setengah syaikh sampean (Masih setengah Syaikh sampean).”
”Syaikhe pinten tahun yai (Syaikhnya berapa tahu yai?” tanya saya.
”Syeikhe yo 17 tahun, 11 tahun kiai mushola utowo kiai madrasah, 17 tahun baru iso ngedekne pondok (Syaikhnya ya 17 tahun, 11 tahun itu masih menjadi Kiai Mushola atau Kiai Madrasah baru 17 tahun bisa mendirikan pondok” kata beliau dengan nada bercanda. Beliau kembali menanggapi ”Ya sudah, semoga diberi kelancaran.”
Namun, pada saat itu saya memiliki alasan untuk melanjutan pendidikan yang lebih tinggi, yaitu jenjang S3, padahal itu baru rencana saja dalam artian belum pasti, tetapi berkat dari doa beliau, beberapa tahun berselang, saya diberi kesempatan untuk melanjutkan study ke UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sampai saat ini saya bisa merasakan keberkahan dari pola pendidikan yang diajarkan Yai Imam, seperti telaten, ikhlas, sabar, dan apapun dawuh beliau itu sangat berkesan bagi saya. Ketika dulu mengurusi lembaga pendidikan di pondok pesantren, menjadi pengalaman untuk mengurusi lembaga pendidikan yang sekarang, ini semua juga salah satu barokah dari Yai Imam.