Kediri, Elmahrusy Media. Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah Asrama Al-Misky gelar acara Pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany dan Maulid ad-Dziba’i. Acara yang menjadi rutinan Asrama Al-Misky setiap malam jum’at legi kali ini bertepatan dengan Haul Mbah Nyai Hj. Khodijah alias Mbah Nyai Dlomroh (istri KH. Abdul Karim) dan Mbah KH. Marzuqi Dahlan (menantu sekaligus keponakan KH. Abdul Karim).
Acara rutinan yang diselenggarakan pada tanggal 08 Mei 2025 M / 11 Dzulqo’dah 1446 H kali ini istimewa, karena bertepatan dengan Peringatan Haul dua sosok istimewa pula, yang menjadi tonggak Pondok Pesantren Lirboyo bermula.
Usai jama’ah isya’ dan istighotsah, para santri berbondong-bondong menuju Aula Al-Misky. Acara peringatan istimewa ini pun dimulai pada pukul 20.03 WIB yang berlangsung khidmat hingga pukul 21.50 WIB.
Usai do’a bersama yang dipimpin oleh Ning Hj. Niswatul Arifah, beliau juga berpesan kepada para santri untuk selalu menjaga kebersihan, bermu’asyaroh dengan penuh kasih sayang, dan saling memaafkan. Tak lupa, beliau mengingatkan kepada para santri untuk terus berjuang dan berikhtiar dalam meniti masa depan, “Jangan patah semangat, jatuh bangun, jatuh bangun sampai akhir. Inilah saat-saat kalian meniti masa depan. Perjuangan itu boleh lelah, tapi tidak boleh menyerah.” Tutur Beliau.
Pada pukul 22.14 WIB, acara rutinan malam jum’at legi dan peringatan haul pun berakhir. Seperti biasa, para santri berlanjut menikmati hidangan yang telah disediakan, yakni tradisi talaman, setiap lima orang mendapat satu nampan. Hal ini menciptakan suasana penuh kehangatan dan kebersamaan.
Semoga barokah dari Shohibul Haul senantiasa mengalir kepada kita semua, sehingga kita dapat merasakan ketenangan dan keberkahan dalam menapaki setiap langkah kehidupan. Aamiin.
Nyai Dlomroh atau Nyai Hj. Khodijah merupakan putri ke-5 dari 11 bersaudara yang lahir dari pasangan KH. Sholeh Banjarmelati dan Nyai Yuhanid. Beliau lahir di Desa Banjarmelati pada tahun 1894 M dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang memiliki latar belakang agamis, sehingga kehidupan Nyai Dlomroh tertuntun sesuai ajaran agama Islam.
Melalui didikan Sang Ayah, Nyai Dlomroh tumbuh menjadi sosok perempuan yang hebat, kuat dan taat. Prinsip yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya adalah: “Kepentingan agama tidak boleh dikesampingkan oleh sesuatu apapun.”
Masa kecil beliau saat itu belum ada Pondok Pesantren khusus perempuan, karena masih dalam Masa Penjajahan. Akhirnya Nyai Dlomroh muda mendapatkan pembelajaran agama langsung dari Sang Ayah (KH. Sholeh) dan Sang Kakak (Nyai Hasanah). Kemudian, lantaran kesibukan berdakwah Kyai Sholeh, beliau pun memasrahkan putra-putrinya agar diasuh oleh Kyai Abu Bakar selaku keponakannya.
Pada usia 14 tahun, Nyai Dlomroh akhirnya dijodohkan dengan Kyai Manab (atau KH. Abdul Karim) yang saat itu berusia 52 tahun. Acara resepsi pernikahan pun digelar pada hari Rabu Pon, tepatnya tanggal 11 Maret 1908 M / 08 Shafar 1326 H.
Tatkala usia pernikahan kurang dari 2 tahun, KH. Sholeh meminta keduanya untuk bermukim di Desa Lirboyo, menempati sebidang tanah seluas 28.000 meter persegi milik KH. Sholeh yang merupakan pemberian dari Lurah setempat. Harapannya, tanah tersebut dapat ditempati salahsatu menantu KH. Sholeh untuk mengamankan kondisi Desa Lirboyo yang terkenal angker dan rawan kejahatan.
Pada tahun 1910 M, Kyai Manab dan Nyai Dlomroh pun merintis Pondok Pesantren Lirboyo, yang ditandai dengan kehadiran santri pertama bernama Umar dari Madiun. Tak hanya Kyai Manab, istrinya -Nyai Dlomroh- pun ikut andil dalam mengurus Pondok Pesantren Lirboyo. Beliau aktif mengontrol para santri, menyiapkan kebutuhannya, bahkan sarana dan prasarana pondok pun beliau peduli.
Namun, suatu ketika ada utusan dari keluarga Kyai Manab yang meminta beliau pulang ke tempat kelahirannya, yaitu Magelang. Disana, Kyai Manab sudah disiapkan rumah dan sebidang tanah untuk dibangun pondok, serta lahan usaha untuk menunjang kehidupan keluarga beliau. Lantaran tidak ingin mengambil keputusan secara sepihak, Kyai Manab menyuruh utusan tersebut untuk bertanya langsung kepada Ibu Nyai (Nyai Dlomroh). Sebelum utusan tersebut menyampaikan maksudnya, Nyai Dlomroh matur kepada Kyai Manab:
“Menawi panjenengan bade kundur ngilen, monggo. Ning kulo mboten bade nderek.” (Jika Kyai mau pulang, silahkan. Tapi saya tidak mau ikut).
Nyai Dlomroh juga menambahkan: “Menawi kerso teng mriki, monggo panjenengan kantun ngimami sholat, ngaos, kalih manggihi tamu. Sedoyo kulo ingkang nyekapi.” (Jika Kyai mau disini, silahkan. Kyai hanya mengimami sholat, ngaji dan menemui tamu. Semua saya yang mencukupi).
Nyai Dlomroh begitu perhatian kepada suami dan sangat mengharapkan para santri agar tetap mendapatkan pengajaran dari Kyai Manab. Beliau keberatan apabila suaminya pulang ke Magelang, sehingga memutuskan untuk menjadi tulang punggung keluarga demi keberlangsungan dakwah Kyai Manab di Lirboyo yang semakin menyebar luas. Akhirnya Kyai Manab memilih untuk menetap di Lirboyo dan melakukan aktivitas mengaji seperti biasanya. Lambat laun, santri pun terus bertambah dari berbagai macam daerah.
Pada tahun 1952, Nyai Dlomroh menunaikan ibadah haji bersama Kyai Manab. Sepulang dari tanah suci, beliau melakukan pergantian nama menjadi Nyai Hj. Khodijah yang merupakan tafa’ul (mengambil keberkahan nama) kepada istri Rasulullah, sebab antara keduanya memiliki peran yang sama, yaitu membantu suami dalam upaya mensyiarkan agama Islam. Begitu pula Kyai Manab yang yang mengganti nama menjadi KH. Abdul Karim karena ber-tafa’ul agar menjadi insan yang mulia. Seperti kilas balik dari sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW yang telah dibantu oleh istri setianya, Sayyidah Khadijah, baik bantuan secara lahir maupun batin, sehingga menjadikan Islam harum di seluruh penjuru dunia.
Nyai Dlomroh atau Nyai Hj. Khodijah adalah sosok perempuan yang tangguh, baik dalam bermu’asyaroh, melakukan banyak riyadloh, dan menjadi ibroh bagi para Dzurriyyahnya. Beliau rela mengorbankan materi, tenaga dan pikirannya untuk menemani Sang Suami tanpa mengeluh sedikitpun.
Setelah wafatnya Sang Suami pada hari Senin, 24 Mei 1954 M / 21 Ramadhan 1373 H, Nyai Dlomroh lebih memfokuskan diri untuk mengurus anak dan cucunya. Estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo pun dilanjutkan oleh kedua menantunya, yakni KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly.
Tepat pada Ahad wage, 08 Mei 1960 M / 12 Dzulqo’dah 1379 H, segenap Dzurriyyah, alumni, dan santri Pondok Pesantren Lirboyo pun dirundung kesedihan atas kepergian Nyai Dlomroh menghadap ke hadirat Allah SWT. Jenazahnya dikebumikan di komplek pemakaman khusus dzurriyyah Pondok Pesantren Lirboyo, disamping makam suami tercinta. Semoga amal jariyah yang telah beliau perjuangkan diterima di sisi Allah, dan mengalirkan keberkahan hingga akhir zaman. Aamiin.
KH. Marzuqi Dahlan lahir tahun pada 1906, di Desa Banjarmelati, Kota Kediri. Beliau merupakan putra bungsu dari empat bersaudara, yang lahir dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah.
Dibawah pengawasan langsung kakeknya (KH. Sholeh Banjarmelati), KH. Marzuqi kecil menerima pengajaran dasar-dasar Islam seperti aqidah, tajwid, fiqh, ubudiyah, dll. Pernah satu waktu, sang ayah (KH. Dahlan) meminta agar KH. Marzuqi kembali ke kampung halaman (Pondok Pesantren Jampes) guna menuntut ilmu langsung di bawah asuhan ayah kandung sendiri. KH. Marzuqi bersedia, namun beberapa saat kemudian KH. Marzuqi kembali ke Banjarmelati.
Ketika KH. Marzuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu di Lirboyo, dibawah asuhan KH. Abdul Karim. Disinilah kemampuan berpikir KH. Marzuqi semakin terasah, sehingga dalam waktu yang singkat beliau dapat menyerap berbagai ilmu keagamaan. Usai dari di Lirboyo, KH. Marzuqi meneruskan pengembaraan di berbagai pondok pesantren, diantaranya: Pondok Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, asuhan KH. Zainuddin, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kiai Khozin, hingga berusia 20-an tahun. Selanjutnya beliau kembali ke kampung halaman untuk belajar langsung kepada Sang Kakak, yakni KH. Ihsan Jampes, pengarang kitab Shirojut Tholibin, karya monumental dalam bidang tasawuf.
Selanjutnya, KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH. Abdul Karim dan berdomisili di Lirboyo pada tahun 1936. Meski telah menikah, semangat beliau dalam mengaji tidak pernah luntur, hal ini merupakan salah satu amanat yang disampaikan KH. Abdul Karim kepada beliau, sesaat usai akad nikah berlangsung, hingga himmah beliau untuk tetap mendidik santri terus terjaga dan sangat istiqomah.
Pada tahun 1961, Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang berlarut-larut, keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam.
Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja, hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewah dan perlente. Padahal saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Ketika bepergian dan atau berziarah ke makam-makam auliya’ disekitar Kediri, KH. Marzuqi Dahlan lebih sering bersepeda. Bukan hanya kendaraan, kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 barulah kediaman beliau berganti dengan tembok.
Pada Tahun 1973, KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji. Dua tahun setelah menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, sebab usia beliau memang sudah sepuh. Namun meski demikian, semangat beliau untuk memimipin Pesantren Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan Syawal pada tahun 1975, beliau jatuh sakit dan harus dirawat di RS. Bhayangkara, Kediri. Dua minggu lamanya beliau dirawat. Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau, hingga pada hari Senin, 18 November 1975 M / 22 Dzulqo’dah 1395 H, beliau dipanggil Sang Pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya. Wallahu a’lam.