Apa jadinya kalau santri ketemu dunia digital? Dulu, bayangan kita tentang santri mungkin masih seputar sarung, kitab kuning, dan suara kentongan tanda ngaji malam. Sekarang, pemandangannya mulai berubah: santri bisa ngaji sambil buka aplikasi tafsir, menulis karya lewat ponsel, bahkan berdakwah lewat TikTok atau YouTube. Dunia sudah berubah, dan santri tidak boleh tertinggal.
Menjadi santri hari ini artinya tidak hanya tekun mengaji di serambi masjid, tapi juga cerdas berselancar di dunia maya. Karena medan perjuangan zaman ini tidak lagi hanya di medan perang atau forum debat ilmiah, tapi juga di dunia digital—ruang tanpa batas di mana kebaikan dan keburukan bisa menyebar dengan satu sentuhan jari.
Dalam Islam, perintah menuntut ilmu berlaku sepanjang masa, tidak peduli dalam bentuk apa pun ilmunya disampaikan. Rasulullah Saw bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Maka, ketika dunia berubah dan ilmu berpindah ke ruang digital, santri pun wajib hadir di sana. Dunia digital bukan musuh, tapi ladang baru tempat santri bisa menanam pahala dan menyebarkan ilmu.
Manfaatnya luar biasa besar. Dulu, kalau ingin baca kitab Syarh al-Hikam atau Tafsir Jalalain, santri harus menunggu waktu ngaji sorogan. Sekarang, kitab-kitab itu bisa diakses dalam hitungan detik. Pemerintah melalui Kementerian Agama bahkan sudah melakukan program digitalisasi kitab kuning, agar santri bisa belajar dari mana saja tanpa harus takut kehilangan naskah klasik. Digitalisasi ini bukan sekadar inovasi, tapi juga bentuk “ngurip-uripi” khazanah pesantren agar tak hilang ditelan zaman.
Selain itu, dunia digital membuka ruang dakwah baru. Banyak santri kini menjadi “da’i digital” yang berdakwah dengan gaya sederhana, lucu, tapi menyejukkan. Mereka membuat konten islami, menulis kisah inspiratif, bahkan menjawab pertanyaan umat lewat media sosial. Ini adalah bentuk jihad baru di era modern. Kalau dulu para kiai dan santri berjuang melawan penjajah dengan bambu runcing dan doa qunut, sekarang mereka berjuang melawan kebodohan dan fitnah di dunia maya dengan literasi dan teknologi.
Namun, di balik semua manfaat itu, tentu ada hambatan dan tantangan besar. Tidak semua pesantren punya akses internet yang baik, tidak semua santri punya gawai yang memadai. Ada juga kekhawatiran dari sebagian kalangan bahwa dunia digital bisa merusak adab santri, sebab internet membuka pintu selebar-lebarnya bagi konten yang tidak mendidik.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta‘limul Muta‘allim menegaskan pentingnya adab dalam menuntut ilmu:
العِلْمُ لَا يُنَالُ إِلَّا بِالْأَدَبِ
“Ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan adab.”
Adab adalah fondasi utama seorang santri. Kalau dunia digital menjauhkan santri dari adab, maka teknologi itu akan kehilangan berkahnya. Karena itu, pesantren perlu mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi dengan penuh tanggung jawab. Bukan hanya agar santri bisa memakai gadget, tapi agar mereka tahu batas dan arah penggunaannya.
Pesantren zaman dulu melatih santri untuk tawadhu‘ kepada guru, menjaga lisan, menghormati ilmu. Sekarang, santri juga harus belajar menjaga jempol dan pikiran di dunia digital. Jangan asal membagikan berita, jangan mudah menebar ujaran kebencian. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini berlaku juga di dunia maya. “Berkata baik” di zaman ini berarti menulis yang baik, mengunggah yang bermanfaat, dan membagikan yang membawa maslahat.
Beberapa pondok pesantren sudah mulai beradaptasi. Ada pesantren yang membuat pelatihan literasi digital, mengajari santri cara membuat konten dakwah, menulis di media, bahkan membuat aplikasi pendidikan. Santri diajari bahwa smartphone bukan alat untuk melamun, tapi alat untuk melayani. Mereka dididik menjadi “pejuang digital”—generasi yang cakap teknologi tapi tetap berjiwa santri.
Namun perjuangan santri digital tidak ringan. Tantangannya bukan hanya soal sinyal dan alat, tapi juga soal menjaga niat dan hati. Di dunia digital, mudah sekali seseorang tergoda untuk mengejar popularitas, bukan keberkahan. Banyak yang ingin viral, tapi lupa menimbang apakah yang disebarkan itu bernilai ilmu atau sekadar sensasi.
Karenanya, santri harus meneladani niat para ulama salaf yang ikhlas menulis dan mengajar demi mencari ridha Allah. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa niat adalah ruh dari amal:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dengan karya digital santri: niatnya harus lurus, tujuannya harus mulia, agar teknologi menjadi sarana ibadah, bukan jebakan riya’.
Perjuangan santri digital juga berarti berani menghadapi derasnya arus informasi dan hoaks. Mereka harus menjadi filter bagi masyarakat, bukan korban dari kabar palsu. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menjadi pedoman etika bermedia bagi santri. Setiap kabar harus diverifikasi, setiap informasi harus ditimbang dengan akal dan iman. Inilah “ngaji digital” yang sesungguhnya: bukan sekadar membuka aplikasi, tapi membuka hati dan akal agar tidak tertipu zaman.
Di tengah semua dinamika ini, pesantren punya peran strategis: menjaga keseimbangan antara tradisi dan teknologi. Seperti peribahasa Jawa, “ngeli ning ora keli” — mengikuti arus tapi tidak hanyut. Santri boleh melek digital, tapi jangan buta adab. Boleh jadi kreator, tapi jangan jadi korban.
Beberapa kiai pesantren besar sudah menegaskan hal ini: “Teknologi itu wasilah, bukan ghayah,”. Artinya, alat bukan tujuan. Tujuan santri tetap sama: mencari ilmu, mengamalkan, dan menyebarkannya demi kemaslahatan umat. Dunia digital hanyalah kendaraan baru untuk menuju cita-cita lama: membumikan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Kita tahu, santri dari dulu sudah terbiasa berjuang dalam sunyi. Mereka belajar di bawah cahaya lentera, menulis di atas papan, dan hidup sederhana. Kini perjuangan itu bergeser ke ruang baru: layar ponsel, kolom komentar, dan jaringan nirkabel. Tapi semangatnya sama—menghidupkan ilmu dan menebarkan cahaya.
Maka di Hari Santri ini, mari kita doakan semoga santri zaman sekarang tidak hanya pandai membaca kitab, tapi juga mampu membaca zaman. Tidak hanya hafal matan, tapi juga cakap digital. Tidak hanya kuat di atas sajadah, tapi juga tangguh di dunia maya.
Santri harus jadi contoh: bijak bermedsos, santun berkomentar, cerdas memilih informasi. Mereka harus membuktikan bahwa dunia digital pun bisa menjadi ladang dakwah yang berkah bila dikelola dengan adab dan niat baik.
Sebagaimana pesan Imam al-Zarnuji dalam Ta‘limul Muta‘allim:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُحْيِيَ بِهِ الإِسْلَامَ فَهُوَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
“Barang siapa menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka ia termasuk orang-orang yang beruntung.”
Dan semoga santri digital hari ini termasuk di antara mereka — yang menyalakan pelita Islam di tengah kegelapan zaman, dengan kitab di tangan kanan, dan gawai di tangan kiri.
Selamat Hari Santri. Semoga Allah Swt menjaga para santri, para guru, dan pesantren di seluruh negeri agar terus menjadi cahaya bagi bangsa dan umat.
اللهم بارك في علمنا، وزدنا علماً، وعلّمنا ما ينفعنا، وانفعنا بما علّمتنا. آمين.