Kediri, Elmahrusy Media.
Kamis, (20/03) atau yang bertepatan dengan 20 Ramadhan, Pondok Pesantren Lirboyo mengadakan Haul Almarhum Almaghfurlah KH. Abdul Karim wa Zaujatihi Wa Dzurriyyatihima.
Acara yang bertempat di Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo itu dilaksanakan selepas ashar, acara dibuka oleh Bpk. M. Syaikhul Izzat, MC sekaligus pembaca susunan acara. Kemudian, pembacaan Yasin yang dipimpin oleh KH. An’im Falachuddin Mahrus. Sedangkan pembacaan tahlil dipimpin oleh KH. Nurul Huda Ahmad.
“Mohon ikhlasnya yang kedua, selepas membaca Yasin, (yaitu) membaca Juz Amma yang dimulai dari qulhu (Surat Al-Ikhlas).” Ucap Yai An’im. (Jawa, -red).
Sebagaimana lazimnya setiap tahun, acara Haul Almarhum Almaghfurlah KH. Abdul Karim wa Zaujatihi Wa Dzurriyyatihima selalu dipadati hadirin. Baik oleh segenap dzuriyyah, santri dan alumni, juga wali santri dan Masyarakat sekitar.
Itu kenapa, selain di Aula Muktamar, Masjid Lawang Songo dan Maqbarah juga dijadikan area penyelenggaraan acara haul kali ini.
Pada sesi pembacaann manaqib, KH. Abdullah Kafabihi Mahrus memberikan penjelasannya:
“Almaghfurlah KH. Abdul Karim, beliau mondok semenjak kecil, sekitar umur tiga belasan. Bertiga dengan saudaranya.” Buya Kafa mengawali.
Beliau menjelaskan, bahwa KH. Abdul Karim hidup dalam kesusahpayahan. Bagaimana usaha dua saudaranya untuk beliau sampai bisa mondok. Dijelaskan, dari bertiga, saudaranya yang pertama memilih untuk mengurus ibunya, lalu saudara satunya lagi memilih untuk berkerja mencukupi kebutuhan, dan KH. Abdul Karim lah yang memilih untuk mondok.
“Beliau mondok di Bangkalan sekitar 27 tahun.”
KH. Abdul Karim kemudian mondok di Bangkalan, di bawah naungan Syaikhona Kholil. Di sana tidak semerta-merta beliau memiliki hidup yang enak. Beliau tetap kesulitan ekonomi. Bahkan beliau sampai bekerja, hanya memiliki sepasang pakaian, dan harus rela menjual kitab lamanya untuk membeli kitab baru.
“Mencari ilmu, idealnya memang thuli zaman, membutuhkan waktu yang lama. Sebab di pondok, bilamana lama (mondoknya), (maka) banyak riyadhohnya; antri jeding, makan seadanya, tidur seadanya.” Jelas Buya Kafa.
Begitu juga, pada pembaacaan manaqib yang kedua dan do’a penutup, disampaikan oleh Romo KH. Anwar Mansur:
“Mbah KH. Abdul Karim itu mondok di Madura, pada Yai Kholil, kurang lebih sekitar 27 tahun. ’Kang Manab, mulih-o! Ilmuku wes entek’ (Kang Manab, pulanglah! Ilmuku sudah habis).” Tepat di kalimat itu, Yai Anwar tidak mampu menahan rasa haru.
Yai Anwar juga menjelaskan tentang perjalanan KH. Abdul Karim yang melanjut mondok di Tebu Ireng dan diambil mantu oleh KH. Sholeh Banjarmlati.
“Lirboyo biyen tasih angker. (Lirboyo dahulu itu masing seram).”
Sampai menikahnya Yai Abdul Karim dan ditempatkan di Lirboyo. Ada orang Solo yang memiliki tanah di Lirboyo, lalu dibeli oleh KH. Sholeh untuk dijadikan rumah Yai Abdul Karim. Dan Lirboyo adalah desa yang menyeramkan. Masih banyak makhluk ghaib dan orang jahat.
”Kaleh Mbah Yai Sholeh dipun tingali, dipun keduk sasikut, diambu; lek ambune wangi berarti sae, lek ambune badeg berarti mboten sae. Tapi pas diambu ternyata wangi. (Dilihat oleh Mbah Yai Sholeh, digali sesikut, dicium; kalau aromanya wangi berarti aik, kalau aromanya busuk berarti tidak baik).”
Bertempatnya Yai Abdul Karim di sana, beliau masih tinggal sendiri. 3 hari hanya ditinggali nasi sekendil dan sedikit perbekalan, baru disusul KH. Sholeh. Perlahan-lahan, mulai berdatangan santri yang ingin belajar.
“Makane awak’e dewe, monggo sing tenanan oleh ngaji dateng Lirboyo, umpomo angsal barokahipun KH. Abdul Karim. (Makanya kita semua, silahkan mengaji yang sunguh-sungguh di Lirboyo, seumpamanya -semoga- dapat barokahnya KH. Abdul Karim).”
Dengan itu, Romo KH. Anwar Mansur juga membacakan do’a sekaligus menandakan selesainya acara.
Tepat adzan maghrib, para hadirin berbuka puasa dengan snack yang dibagikan.
Lalu dilanjut dengan sholat maghrib berjama’ah, hingga dipersilahkan kepada dzuriyyah untuk ramah tamah dan hadirin untuk mengambil nasi nampanan yang telah disediakan panitia.