Kala KH. Abdul Karim Berkeinginan Meninggal Di Tanah Suci
Usaha yang luar biasa ditunjukan KH. Abdul Karim ketika melaksanakan Ibadah Haji, bagaimana tidak? Beliau berangkat haji disaat umurnya sudah menginjak umur hampir satu abad. Dimana kekuatan fisiknya sudah menurun, namun hal ini bukan menjadi hal yang mengkahawatirkan bagi beliau, justru KH. Abdul Karim menganggap hal ini dapat menambahkan keramahan dan kedekatan yang diberikan Allah Swt.
Selama keberangkatan menuju tanah arab, KH. Abdul Karim sempat ada kendala, setelah diantar keluarga dan santri ke Stasiun Kediri, beliau terlebih dahulu ke Surabaya untuk melaksanakan karantina Haji, lantaran kondisi fisik beliau terlihat lemah, akhirnya dokter meragukan kesehatan beliau dan menyarankan agar keberangkatannya ditunda.
Perasaan kecewa pasti ada, namun KH. Abdul Karim tidak putus harapan, beragama macam riyadhoh dijalankan, bersama santri ia mengadakan istighosah memohon pertolongan kepada Allah Swt, supaya diberi kelancaran agar sampai ke Makkah dan Madinah. Doa–doa tak lupa beliau panjatkan, “Allahumma ballighna Makkata wal Madinata bissalamah wal ‘afiah“. Doa ini sering beliau ucap berkali-kali.
Menantu beliau, KH. Mahrus Aly yang mempunya relasi luas dengan pemerintahan, berusaha untuk mencari solusi agar KH. Abdul Karim bisa berangkat Haji, alhasil setelah menemui menteri agama waktu itu yang dijabat oleh KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Karim diperbolehkan untuk berangkat.
Suasana haru meliputi Lirboyo lantaran KH. Abdul Karim akan berangkat haji, tapi raut wajah keluarga dan santri menjadi sedih sekaligus tidak tega ketika KH. Abdul Karim berpamitan dan mengungkapkan keinginannya agar bisa meninggal di Tanah Suci. Selepas itu KH. Mahrus Aly mengajak seluruh santri untuk tidak berhentinya mendoakan KH. Abdul Karim agar kembali ke Lirboyo dengan selamat.
Ketika transit di Jakarta, beliau terlebih dahulu menginap di kediaman KH. Wahid Hasyim, putra dari sahabat beliau, KH. Hasyim Asy’ari sekaligus sebagai murid. Berkat KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul karim mendapat pelayanan dan fasilitas yang lebih. Baik ketika perjalanan ataupun ketika sudah tiba di Tanah Suci.
Namun, semua itu tidak sepenuhnya dipergunakan oleh KH. Abdul Karim, riyadhoh seperti berpuasa, menyedikitkan makan masih beliau lakukkan, hingga pernah suatu waktu beliau jatuh pingsan. Ketika ditanya mengapa hal ini beliau lakukan, dengan jawaban yang sederhana dan penuh keiikhlasan, “Ben garing awakku lan isa mati ana Makkah” Agar badanku kurus dan bisa meninggal di Mekah.
Ketentuan Ajal adalah kuasa Allah Swt, dengan kehendaknya KH. Abdul Karim masih diberikan nafas kehidupan dan bisa kembali ke Lirboyo dengan selamat, ungkapan rasa syukur serta raut wajah kebahagiaan menyelimuti Lirboyo, sebab KH. Abdul Karim pulang dengan selamat.
Teruntuk KH. Abdul Karim.
Alfatihah.