Dalam kilas sejarah, Islam adalah sebuah agama yang suci dan istimewa. Karena memang, Islam dibawa oleh orang yang suci dan istimewa, beliau, Rasulullah Muhammad Saw.
Tapi, meski begitu, dengan segala hal baik yang dibawa dalam ajarannya, Islam tidak serta merta mendapatkan perhatian dan dukungan. Nyatanya, perilaku baik itu tidak berbalas baik kala Islam mulai didakwahkan di Mekah. Tidak bisa dipungkiri, jika kita kembali menilik lembar sejarah, bahwa Islam selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh kaum kafir Quraisy. Sebut saja pada pemboikotan dan pengkucilan bani Hasyim selama 3 tahun, pelemparan batu di Thaif, juga perilaku keji lainnya mulai dari fitnah bahwa Al-Qur’an adalah syair ciptaan dan mukjizat adalah tipu daya sihir, hingga penindasan pelemparan kotoran dan berulang kali percobaan pembunuhan.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad ayat 7).
Dengan keteguhan dan kesabarannya, kilas sejarah Islam membawa agama ini pada kejadian hijrahnya kaum muslimin dari Mekah ke Madinah, karena dirasa sudah keterlaluannya kaum kafir Quraisy
Sampai akhirnya, tepat di bulan safar di tahun kedua hijriyah, kebangkitan umat Islam ditandai dengan dalil instruktif, hingga meletusnya perang Abwa!
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS Al-Hajj: 39).
اَلْأَنَ نَغْزُوْهُمْ وَلَايَغْزُوْنَا
“Saat ini, kita yang akan memerangi mereka, bukan mereka yang akan memerangi kita.” (HR Bukhari)
Dinamakan Abwa atau Waddan, karena perang ini terjadi di daerah di wilayah Abwa atau Waddan, sebuah wilayah yang berada di antara kota Mekah dan Madinah berjarak 6 atau 8 mil. Perang ini terjadi pada bulan Safar di tahun kedua hijriyah.
Awal mula, hal yang melatarbelakangi terjadinya perang ini adalah karena perilaku kaum kafir yang meresahkan dan sudah dianggap amat berlebihan, meski kaum sesudah hijrahnya di Madinah. Belum lagi perihal perampasan yang dilakukan kaum kafir Quraisy pada harta-harta kaum Muhajirin yang ditinggal di Mekah. Dengan itu, Nabi menginisiatori pergerakan perlawanan ini, dalam perang Abwa.
Hal ini ditanggapi serius oleh Nabi. Dengan itu, maka Nabi mengumpulkan para sahabat dan kaum muslimin lainnya untuk bermusyawarah dalam pembentukan strategi perang. Maka disepakati, pasukan yang hanya terdiri dari 70 orang itu dibagi ke dalam beberapa kelompok dan dipecah menuju ke berbagai penjuru arah yang berbeda. Hingga, sesampainya di wilayah Abwa, pengepungan terhadap kafilah dagang kafir Quraisy itu tidak bisa dielakan.
Namun, rencana matang yang umat Islam sepakati tidak terlaksana, hal itu disebabkan orang-orang kafir telah pergi dan pulang sebelum umat Islam datang. Akibatnya, strategi yang sudah disepakati tidak bisa diterapkan serta upaya pengepungan mereka tidak terlaksana.
Setelah umat Islam tidak mendapati seorang pun di tempat perang, mereka pulang tanpa terjadi peperangan dan genjatan senjata. Namun, tanpa Rasulullah dan sahabat sadari, mereka disekat oleh kaum kafir yang diprakarsai oleh Makhsy bin Amr adl-Dlamrah, dan beberapa koalisi kaum kafir dari Bani Dlamrah. Melihat reaksi mereka yang datang secara tiba-tiba, umat Islam langsung sigap dan siap untuk meluluhlantakkan dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Makhsy bin Amr. Hanya saja, kedatangan mereka ternyata bukan untuk berperang melawan Rasulullah dan umat Islam saat itu, mereka hanya ingin membuat kesepakatan dengan Rasulullah agar antar mereka dan umat Islam tidak berperang sehingga keputusan damai disepakati oleh Rasulullah dan pasukan Bani Dlamrah.
Syekh ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi (wafat 1044 H) dalam salah satu kitab karangannya mengatakan, di antara isi perjanjian itu adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ رَسُولِ اللّهِ لِبَنِي ضَمْرَةَ، فَإِنّهُمْ آمِنُونَ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأَنّ لَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ رَامَهُمْ إلا أَنْ يُحَارِبُوا فِي دِينِ اللّهِ. وَإِنّ النَّبِي إذَا دَعَاهُمْ لِنَصْرِهِ أَجَابُوهُ، عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ ذِمّةُ اللهِ وَذِمّةُ رَسُولِهِ، وَلَهُمْ النّصْرُ عَلَى مَنْ بَرَّ مِنْهُمْ وَاتّقَى.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Ini adalah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah untuk Bani Dlamrah. Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Dan, jika Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun akan menolongnya. Mereka mendapat jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya dan diberi pertolongan dari mereka yang baik dan menjaga (perjanjian). (‘Ali al-Halabi, Insanul ‘Uyun fi Siratil Aminil Ma’mun, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah: 2004], juz II, halaman 347).
Hingga, poin-poin perjanjian itu terkumpul pada 3 poin:
Sebagaimana penjelasan di atas, perang ini merupakan perang pertama di mana Rasulullah terjun langsung dalam memimpin jalannya peperangan. Ini menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah kelompok lemah yang bisa dihina dan diremehkan oleh kafir Quraisy dan orang-orang musyrik saat itu.
Bulan Safar dengan segala hal baik di dalamnya, seharusnya bisa kita ambil ibrah dengan menjadikan bulan ini sebagai titik awal kita dalam bangkit pada hal-hal yang sedang diusahakan: belajar dan berbuat baik lainnya.
Semoga Allah Swt melindungi kita.
Wallahu a’lam.