Masing-masing individu dibekali ilmu pengetahuan yang unik, layaknya kehidupan yang tersusun dari potongan mozaik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali bertemu dengan orang-orang yang memiliki keahlian berbeda, mulai dari seorang tukang kayu yang mahir mengukir hingga seorang insinyur yang pandai infrastruktur. Semuanya memiliki keahlian yang beragam dan tidak seragam.
By the way, buah pemikiran ini lahir dari Pengajian Kitab Tafsir Jalalain bersama Dr. KH. Melvin Zainul Asyiqien, S.HI., M.Pd.I. Dalam satu kesempatan, ketika sampai pada QS. Al-Kahfi ayat 68, beliau menjelaskan tentang dialog menarik yang terjadi diantara Nabi Musa AS dan Nabi Khidzir AS. Saat itu, Nabi Khidzir AS berkata:
يا موسى إني على علم من الله علمنيه لا تعلمه وأنت على علم من الله علمكه الله لا أعلمه
“Hai Musa! Sesungguhnya aku telah menerima ilmu dari Allah yang Dia ajarkan langsung kepadaku, sedang ilmu itu tidak kamu ketahui. Tetapi kamu (juga) telah memperoleh ilmu dari Allah yang Dia ajarkan kepadamu, dan aku tidak mengetahui ilmu itu.”
Kemudian, KH. Melvin Zainul Asyiqien menambahkan; “Ilmu itu tidak bersifat Mutlaqul Jam’i. Tidak ada seseorang yang menguasai ‘semua’ ilmu pengetahuan. Akan tetapi, setiap individu itu dibekali ilmu pengetahuan masing-masing.”
Mutlaqul jam’i adalah istilah dalam bahasa Arab yang berarti “menyeluruh” atau “komprehensif”. Dalam konteks ilmu, istilah ini merujuk pada pemahaman bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang tidaklah mencakup semua aspek atau bidang ilmu.
Konsep ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan keahlian. Setiap orang memiliki spesialisasi ilmu tersendiri. Sebagai contoh, seorang ilmuwan mungkin memiliki keahlian dalam analisis data. Namun, belum tentu ia memiliki insting yang tajam untuk memahami lapangan sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh seorang pemasar. Menjembatani hal itu, mungkin akan lebih efektif apabila keduanya berkolaborasi untuk menciptakan suatu inovasi.
Bayangkan kita berada di sebuah taman yang luas, penuh dengan berbagai jenis bunga. Di setiap sudutnya, terdapat bunga yang berbeda bentuk, warna, dan aroma. Ada mawar yang memancarkan keanggunan, melati yang menebar ketenangan, dan aster yang memantulkan keceriaan. Masing-masing bunga memiliki keunikan dan keindahan tersendiri, meski mereka semua adalah bagian dari taman yang sama.
Atau ibarat sebuah sistem orkestra yang terorganisasi, yang mana setiap instrumen memiliki fungsi dan karakterisasi. Biola menghadirkan nuansa yang ekspresif dan melankolis, sementara terompet menyumbang warna yang dinamis dan optimis. Drum menjaga kestabilan ritme melalui pola yang sistematis, menjadi penopang struktur musikal yang sinergis.
Meski berbeda peran dan kontribusi, tak satu pun mampu membentuk simfoni secara sendiri.
Perumpamaan diatas mengajak kita untuk memahami bahwa keberagaman adalah prinsip dasar dalam suatu sistem, dimana perbedaan peran dan fungsi justru menjadi landasan terciptanya sinergi.
Apalagi di tengah tantangan global, pendekatan multidisipliner bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Kita tidak bisa melangkah sendirian. Kita memerlukan perspektif orang lain demi menemukan solusi yang yang matang dan berkelanjutan. Saat kita menyadari bahwa setiap individu membawa “aroma” dan “nada” pengetahuan masing-masing, disitulah kemungkinan lahirnya perubahan dan kemajuan.
Sebab sejatinya, saat kita membuka diri untuk pembelajaran, kita tengah memberi ruang bagi perluasan wawasan. Keahlian orang lain bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk dijadikan sumber inspirasi dan pemahaman. Karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis.
Ingatlah selalu bahwa keahlian yang dimiliki setiap individu bukanlah ajang membranding diri atau bahkan meninggikan diri untuk meraih puji. Justru, di tengah keberagaman potensi, setiap individu dituntut untuk menjunjung sikap saling menghargai, membangun kolaborasi, dan memperbanyak relasi.
Dengan begitu, dapat kita simpulkan bahwasanya setiap individu memiliki keahlian sebagai anugerah, namun bukan sebagai alat untuk meninggikan marwah. Keunggulan bukan untuk menyombongkan arah, melainkan menjadi jembatan untuk merawat amanah. Karena sejatinya, yang mulia bukan yang paling megah, melainkan mereka yang mampu menebar hikmah dan menjaga ukhuwah. Wallahu a’lam.