Usai bukan berarti selesai, tamat madrasah bukan berarti tamat muthola’ah. Ungkapan ini setidaknya bisa menyentil para santri khususnya yang sudah tamat madrasah diniyah di pesantren. Mengingat menjadi santri adalah label keistimewaan yang nyata di mata masyarakat. Di mana pundak seorang santri menanggung beban untuk agama dan bangsanya. Langkah dan perannya lah yang dibutuhkan untuk menata dan melanjutkan perjuangan negeri ini.
Berbicara tentang gelar santri sejatinya subtansi jiwa kesantrian itu bukan hanya yang di dalam gerbang pesantren, tetapi mereka yang juga di luar gerbang pesantren yang nyambi ngilmu dari para majelis habaib, nawaning, atau sekedar ngaji kuping dari para kiai kampung. Setiap orang yang mempelajari ilmu agama, berhak dan sah untuk dinamai santri.
Terkhusus bagi santri yang berhasil tamat mondok di pesantren, merupakan sebuah anugerah dan hadiah terindah karena ditakdirkan untuk bisa mengenyam pendidikan agama secara langsung. Namun tidak berhenti sampai di sini, dilema bagi calon alumni pesantren tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, namun para orang tua dan juga pengasuh pesantren khususnya. Mau melangkahkan kaki ke mana setelah ini?
Pasalnya ada beberapa pesantren yang menerapkan jika sudah tamat madrasah, namun belum menamatkan jenjang akademiknya maka belum diperbolehkan untuk boyong dari pesantren. Peraturan ini semata-mata bukan berarti sikap ketidakpercayaan pengasuh atau sikap membatasi produktifitas dan perkembangan intelektual seorang santri.
Namun sikap kekhawatiran dan kepedulian inilah yang harus kita rasakan dari para pengasuh sebegitunya beliau semua menjaga kita yang sudah dianggap anak-anaknya sendiri seperti yang didawuhkan oleh Ning. Hj. Ita Rosyidah pada majelis burdah. Beliau juga mengatakan ketika ada orang tua yang menyowankan boyong anaknya itu berarti serah terima kembali dari orangtua bisabab (pengasuh) kepada orangtua biologisnya.
Bagaimana seorang santri yang sudah pulang ke rumahnya masing-masing agar selalu mengamalkan adab dan ilmu yang selama ini ia pelajari. Kembali ke peraturan di beberapa pesantren yang menerapkan seperti peraturan di atas yang mana memunculkan beragam respon dari para santri. Hal ini bukan berarti tidak ada kebijakan dalam sebuah peraturan yang diberlakukan hanya saja mewanti niat yang berseliweran yang sekedar mengagungkan kebebasan.
Sebagai santri dengan kapasitas intelektual dan spritualitasnya sudah seharusnya memikirkan mau memberikan feedback apa untuk pesantrennya? Jangan hanya lama berdiam diri di pesantren sebagai lilin yang mampu menerangi sekitar tetapi menghabiskan dan menafikan dirinya sendiri. Prinsip dan konsistensi seorang santri juga dibutuhkan dalam berbagai peran. Bagi seorang santri yang sudah menuntaskan pendidikan diniyah di pesantrennya namun belum selesai pada jenjang akademiknya jika memiliki pilihan untuk ‘boyong’ hal yang pertama harus diluruskan adalah niat.
Seringkali niat menjadi hal yang kesekian kalinya, padahal niat pondasi awal setiap perbuatan yang kita lakukan. Jangan hanya kebebasan yang dicari, namun bagaimana kita dengan waktu dan jangkauan yang lebih mudah bisa memberikan dedikasi yang lebih indah. Disebutkan dalam kitab Arbain karya Imam Nawawi mengenai urgensi niat:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوُلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ.
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, sedangkan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hal yang kedua adalah bagaimana arah tujuan kita selanjutnya. Karena tujuan merupakan gambaran konkret dari apa yang ingin kita capai di masa depan. Tujuan bukan hanya memberikan sekedar gambaran tetapi memberikan langkah antisipasi ketika kita gagal, cara kita untuk bangkit dengan plan a, b, c yang sudah disiapkan.
Dengan alasan yang jelas dan matang tentunya para calon alumni akan diberikan ruang kepercayaan oleh masyayikh dan orangtua untuk melanjutkan keputusan yang sudah mantap. Secara tidak langsung kepercayaan merupakan ridho guru yang kita dapatkan, permohonan maaf dan sangu doa dari para masyayikh juga menjadi barometer ketika kita ‘berpindah khidmah’.
Berbagai bentuk pengabdian dan kontribusi para alumni kepada masyarakat dan lembaga pendidikan merupakan esensi atau value dari proses ngadep dampar. Seperti dawuhmya para Masyayikh Lirboyo yang selalu mengatakan kalau sudah di rumah, hal yang pertama dilakukan adalah ngadep dampar.
Teringat ada sebuah adagium yang berbunyi al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Walhasil, bukan suatu kebetulan jika seorang profesor kemudian bergabung dengan gelar Kiai Haji, menjadi Prof KH. Dan juga tidak mustahil bagi seorang lawyer (pengacara) yang sekaligus pemangku pondok pesantren.
Akhirul kalam penulis doakan semoga kita semua yang membaca tulisan ini mampu dan mau mengayomi kebutuhan masyarakat dan para pejuang ilmu. Selaras dengan apa yang di dawuhkan oleh Mbah KH. Mahrus Aly: “Saya wakafkan jiwa, harta, dan raga untuk Agama, Negara dan Bangsa.”
Wallahu a’lam.