Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terkadang pula kita kerap menemukan fenomena berupa barang temuan. Entah di jalan atau di suatu tempat, dengan tingkat kualitas berharganya yang berbeda, barang-barang yang tidak sengaja kita temukan itu terkadang malah menimbulkan kebingungan. Tentang bagaimana kejelasanan barang tersebut, apakah boleh diambil atau harus dikembalikan. Maka dari itu, fiqh telah mengatur konsep barang temuan atau luqathah.
Luqathah secara bahasa bermakna asy-sya’i al-malquth (sesuatu yang dipungut). Adapun secara istilah, luqathah memiliki arti setiap harta yang tercecer dari pemiliknya kemudian diambil oleh orang lain. Misalnya, seseorang yang menemukan uang atau pakaian di jalan. Juga seperti menemukan buah atau makanan yang rawan rusak atau busuk jika tidak cepat-cepat diambil. Apakah boleh kita diambil? Jika boleh, bagaimana pengklasifikasian hukumnya?
Jika seseorang menemukan barang di suatu tempat dan akhirnya mengambilnya karena khawatirkan rusak, maka hendaknya ia mengumumkannya selama satu tahun di tempat orang-orang sering berkumpul.
Adapun luqathah mempunyai tiga rukun:
Hukum terkait luqathah atau barang temuan, memiliki beberapa pengklasifikasian hukum dengan beberapa kriteria yang berlaku:
Luqathah dihukumi sunah bagi orang yang percaya diri dengan sifat amanah yang dimilikinya. Dihukumi wajib bagi orang yang percaya diri dengan sifat amanah yang dimilikinya dan memiliki asumsi kuat bahwa luqathah akan tersia-sia jika tidak diambil. Dihukumi mubah bagi orang yang memiliki sifat amanah saat mengambil luqathah, namun ia takut tidak bisa mempertahankan sifat amanahnya di masa mendatang. Dihukumi makruh bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah saat mengambil luqathah. Dan dihukumi haram bagi orang yang yakin dirinya akan berkhianat atas amanah sebagai multaqith (orang yang menemukan).
“Tangan bertanggung jawab terhadap apa yang ia ambil, sampai ia mengembalikannya.”
Lalu, bagaimana hukumnya mengenai barang temuan yang remeh, seperti tutup pulpen atau jarum jahit? Apakah kita tetap diharuskan untuk mengumumkannya di tempat ramai?
Jika barang tersebut tidak bernilai, maka tidak wajib diumumkan dan kita berhak untuk langsung mengambil untuk memilikinya. Tetapi, jika barang tersebut masih bernilai, maka wajib mengumumkannya sampai pemilik tidak mempedulikannya.
Hal yang menjadi catatan, suatu barang bisa dianggap remeh jika sang pemilik tidak terlalu resah ketika kehilangan dan tidak terlalu lama mencarinya.
“Barang siapa yang menemukan barang temuan, maka ia termaksuk orang yang menyimpang selama tidak mengumumkannya.” (HR.Muslim)
Bagaimana dengan barang rongsokan? Apakah boleh mengambil barang rongsokan tanpa sepengetahuan pemiliknya?
Boleh, jika ada dugaan kuat pemiliknya sudah tidak menghiraukan barang tersebut.
Bagaimana jika orang yang menemukan itu meminta tebusan pada pemilik barang?
Tidak diperbolehkan, karena status barang temuan adalah amanah, dan wajib bagi orang yang menemukannya untuk menyimpan barang temuan sampai ditemukan pemilik aslinya.
Apakah sudah mencukupi jika mengumumkannya lewat medsos, seperti Whatsaap, Instagram, atau Facebook?
Sudah mencukupi, jika memang mampu menjangkau orang yang kehilangan.
Di luar dari itu, terkhusus dalam kasus-kasus yang kerap kali ditemukan dalam pondok pesantren, berupa barang-barang temuan dari santri-santri yang telah boyong. Tidak jarang bagi kita selaku santri yang mengalami itu menjadi bingung akan kejelasan barang temuan tersebut. Dalam fiqh, status barang temuan seperti itu diperinci: