web analytics

“Orang yang Mampu Menandingi Gus Maksum, Hanya Yai Imam!”, -Kisah Keteladanan Yai Imam

“Orang yang Mampu Menandingi Gus Maksum, Hanya Yai Imam!”, -Kisah Keteladanan Yai Imam
0 0
Read Time:9 Minute, 24 Second

Tulisan ini hasil merupakan sebuah penuturan dalam wawancara bersama Gus Khoiron Zaini, Alumni Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah yang sekarang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Sampang. 

 

Ndalem Yai Idris dan HM Putra

Awal pertama kali mondok di Lirboyo, dulu kamar saya di ndalem Yai Idris, bareng dengan kakak saya. Sebenarnya, sebelum di Lirboyo, awalnya saya ingin mondok di daerah Malang Selatan. Di situ ada pondok tahfidz, tetapi ketika ibu saya langsung berkunjung ke sana untuk survei, beliau merasa tidak cocok karena tidak bisa mengecek kamarnya. Waktu itu memang aturannya agak ketat, sehingga ibu saya mengusulkan untuk saya masuk Lirboyo bersama kakak saya yang sudah lebih dulu masuk Lirboyo, sejak SD dan kebetulan kamarnya di ndalem Yai Idris. Setelah saya memutuskan untuk mondok di Lirboyo, saya memilih untuk sekamar dengan kakak saya.

Saya dan kakak saya itu biasa mengaji Al-Qur’an kepada Ibu Nyai Din, istrinya Yai Idris. Jadi ketika saya bolak-balik masuk kamar dan ada Yai Idris, itu biasa. Saya masih ingat Yai Idris kerap bilang, “Bu, iki bu, ono Khoiron bade ngaji!”

Para masyayikh Lirboyo itu masya Allah, mereka memiliki kehidupan yang sederhana. Saya mengerti betul Yai Idris, -termasuk Yai Imam, makannya hanya tahu tempe pecel.

Hingga akhirnya saya memutuskan untuk pindah ke HM Putra, sementara kakak saya pindah ke HM Ceria.

Alasan saya memilih HM Putra, karena di sana ada pendidikan formlanya dan saya bisa melanjutkan di MTs-nya. Saya memang tidak ingin ketinggalan. Meskipun mondok di pondok salaf, tapi tetap mendapatkan pendidikan formal. Kegiatan salafnya tetap berjalan, dan sekolah formalnya juga tetap berjalan. HM Putra adalah paket lengkap.

Saya masuk di Al-Mahrusiyah sekitar tahun 2000-an. Kamar saya itu di M.9 yang dikenal dengan SemShe. Dulu masih kamar tsanawiyah. Mulai mondok dari jenjang MTs dan dilanjut sampai MA, saya lulus dari HM Putra itu di tahun 2006. Saya adik tingkat pas di bawah angkatannya Gus Nabil Aly Utsman.

Figur Yai Imam Dalam Istighosah dan Istiqomah

Pada masa mondok yang terhitung sebentar itu, alhamdulillah, saya masih menemui masanya almaghfurlah guru mulia, KH. Imam Yahya Mahrus.

Beliau adalah seorang pendidik yang setia, dan istiqomahnya luar biasa. Seorang kiai yang maju lebih depan dari zamannya, beliau seorang intelektual. Itu mengapa, beliau berani untuk mendirikan pondok salaf yang memiliki pendidikan formal yang begitu lengkap, dari jenjang bawah sampai teratas.

Begitu juga, Yai Imam merupakan figur yang dikenal dekat dengan siapapun. Beliau mampu menyesuaikan diri dengan berbagai macam lapisan masyarakat, mulai dari kiai, warga, akademisi, politisi, pengusaha, atau bahkan musisi sekalipun sebagaimana saat Iwan Fals dan Ahmad Dhani datang berkunjung. Tak ayal jika beliau disegani oleh semua kalangan.

Tetapi, hal yang paling membuat kagum dari sosok Yai Imam adalah perihal keistiqomahan beliau yang luar biasa, terutama keistiqomahan dalam istighosah.

Saya menyaksikan sendiri dengan mata kepala, beliau baru saja tiba dari Surabaya karena sebuah keperluan. Beliau pulang di malam yang sudah larut dan memasuki jam istighosah. Dengan rasa lelah perjalanan dan masih memakai celana, tanpa istirahat sedikitpun, beliau masuk ke rumah untuk mengambil wudhu dan langsung ikut istighosah. Bahkan, celana yang beliau kenakan masih melekat di balik sarung (tanda tidak sempat dan tidak mau ketinggalan istighosah).

Saya sering meyaksikan, beliau sesekali tertidur ketika sedang istighosah di mushola karena saking capeknya. Jika sudah terlanjur capek, beliau memanggil 2 orang santri untuk memijati sambil tetap melakukan istighosah. Saya selalu mengagumi keistiqomahan beliau yang luar biasa itu, terutama dalam hal istighosah.

Dalam sebuah kesempatan, jika Yai Imam tidak sampai memimpin istighosah, entah karena terlalu lelah atau mungkin sakit, beliau biasa memilih tempat di baris depan pintu paling kiri dekat gerbang dan tetap istighosah. Dengan itu, saya sering datang ke mushola lebih dulu untuk menggelar sajadah di sana berupaya mengambil kesempatan untuk bisa sholat dan istighosah di dekat beliau

Jadi tidak heran, jika Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah itu perkembangannya begitu pesat, para dzuriyyahnya jadi panutan santri dan umat, itu semua disebabkan barokahnya istighosah dan keistiqomahan Yai Imam.

Karena memang, istighosah adalah kunci. Terutama kunci kesuksesan. Hal itu terbukti dari cerita sewaktu saya ikut sowan dengan abah (ayah) kepada Yai Imam.

“Yai, saya lihat-lihat, Yai itu sukses semuanya. Dari ekonomi dan usaha, juga rezeki yang lancar, ditambah anak-anak Yai yang cerdas-cerdas semuanya: rahasianya apa, Yai?” Tanya abah saya waktu itu.

“Istighosah, Yai.” Jawab Yai Imam.

Memang dalam penuh keheranan, Yai Imam itu mobilnya ganti-ganti terus sedari dulu. Bahkan halaman depan mushola sampai tidak muat untuk dipakai parkir, saking banyaknya. Juga perihal kejadian hebat mengenai Yai Imam yang pernah tabrakan mobil di Cirebon, karena mobil yang beliau kenakan itu rusak parah, beliau langsung beli mobil baru pada saat itu juga. Masya Allah.

Dari sebuah barokah istighosah yang mungkin terkesan ‘sakti’, pernah saya alami. Kehebatan istighosah itu nyata. Cerita bermula dari saya yang melanggar aturan dengan keluar pondok untuk menonton laga final sepak bola Liga Indonesia yang saya sudah lupa tim apa yang bertanding.

Setelah selesainya dari menonton, saya pulang lewat di daerah timur Tribakti. Waktu itu hampir maghrib yang belum begitu gelap. Karena saya mengejar jam kegiatan pondok agar tidak telat, sepeda onthel yang saya tunggangi buru-buru saya kayuh dengan kecepatan tinggi. Berniat agar tidak sampai telat dan terlalu larut saat sampai di pondok. Di depan saya terlihat ada sebua mobil yang terparkir, saya menyalipnya dengan sama sekali tidak mengurangi kecepatan laju sepeda, lalu di hadapan saya tiba-tiba saja ada sebuah motor yang berlawanan arah dan tidak kalah kencang. Saya tidak sempat menghindar, tabrakan itu tidak terelakan.

 

Secara logika, saya pasti sudah terlempar jauh karena tabrakan tidak sebanding antara sepeda dengan motor yang sam-sama dalam kecepatan tinggi. Namun, dengan izin Allah, dalam tabrakan itu saya merasa seperti terbang dan jatuh dengan posisi yang siap berdiri. Hasilnya biasa saja, hanya ada sedikit sekali luka, bahkan bisa dibilang tidak ada luka. Sementara lawan saya, darahnya banyak sekali dan sepeda motornya yang rusak parah. Seketika saya merasakan barokahnya istighosah, jauzan, dan dzikir-dzikir yang diajarkan Yai Imam. Ternyata kita benar-benar dilindungi dzohiron wa bathinan.

Pesan Dalam Ta’ziran

Dulu saya pernah nakal dengan melanggar aturan pondok berupa membawa HP dan ketahuan oleh pengurus. Singkat cerita, akhirnya saya dilaporkan kepada Yai Imam dan sorenya saya dipanggil beliau.

“Wah, habis saya!”  Debar saya kala itu.

Tapi, pada saat saya memenuhi panggilan beliau di sore itu, marah beliau tidak seseram apa yang saya bayangkan. Saya hanya diberikan takziran berupa kerja baakti di samping pondok putri (timur ndalem timur) selama sebulan. Saya sam’atan wa tho’atan. Jadi setiap sore selama sebulan, saya mulai menjalankan takziran bersih-bersih sampah hingga mencabuti rumput dan sendirian. Merupakan hal yang biasa jika harus menerima olokan santri putri yang kebetulan melihat kejadian itu. Saya tidak gentar, saya tetap melaksanakan takziran sesuai dawuh beliau.

Saya berpikir, “Kenapa saya disuruh kerja bakti, ya? Kenapa nggak digundul atau takziran lain yang lebih parah?”

Setelah saya renungi, pertanyaan itu baaru terjawab di tahun-tahun jauh berikutnya. Ternyata hikmahnya, dengan takziran kerja bakti itu saya diajari oleh beliau agar siap berkhidmah. Berkhidmah kepada pesantren. Dengan seperti itu, maka bisa dengan mudah untuk berkhidmah kepada masyarakat ketika sudah pulang ke rumah.

Karena pada hakikatnya, santri adalah orang-orang yang harus siap berkhidmah. Dengan ilmu yang dimiliki, santri harus siap berdakwah dan mengabdi. Sayyidul qaum khodimuhum, menjadi seorang pemimpin sejatinya ialah pengabdi bagi rakyatnya. Dan kita harus siap akan hal itu.

“Orang yang Mampu Menandingi Gus Maksum, Hanya Yai Imam!”

Umum terdengar, bahwa orang yang mampu menandingi (terutama dalam hal kejadukan) Gus Maksum, yaitu hanya Yai Imam. Informasi itu telah mejadi rahasia umum para santri terdahulu. Cuma mungkin sekarang sedikit santri yang mengetahuinya dengan menimbang minimnya mendengar banyaknya cerita-cerita perihal kejadukan Yai Imam.

Yai Imam itu orang hebat.

Pernah ada suatu kejadian nyeleneh santri-santri terdahulu, teman saya, orang Madura. Sebuah kejadian yang cukup berkesan, tidak mudah dilupakan. Teman saya itu adalah sosok orang yang terobsesi dengan hal-hal yang supranatural. Ia punya sebuah ‘wirid sakti’ yang menurutnya bisa memanggil khodam. Maka malam itu kami mencoba membuktikan omongan tersebut dengan beramai-ramai pergi ke sebuah tempat dekat belakang kandang kuda yang berdekatan dengan wilayah dempul yang memiliki pohon-pohon tinggi menjulang. Ia mulai beraksi, ‘wirid sakti’ itu bereaksi. Saya dan teman-teman menonton penasaran.

Khodam itu memasuki alam bawah sadarnya. Awalnya ia hanya menunjukkan gelagat bak pendekar silat. Tapi, akhirnya, lama kelamaan ia mulai berontak-berontak dan berbicara tidak karuan, hingga benar-benar sulit dikendalikan. Setelah dibawa ke kamar, ia tetap tidak sembuh-sembuh, kami memutuskan membawanya untuk sowan kepada Yai Imam. Dengan segala hal yang beliau usahakan, alhamdulillahnya teman saya itu bisa sembuh. Tapi sayang, akhirnya ia harus boyong. Karena trauma atas kejadian itu tidak kunjung hilang.

Jadi seperti itu yang saya ketahui, bahwa Yai Imam tidak hanya perihal dzohir, beliau juga bisa mengobati hal-hal batin. Hanya saja tidak banyak orang yang tahu.

Belajar di Yaman

Sebenarnya, semua sebab Gus Reza.

Pada waktu itu, pondok dibuat heboh dengan kedatangan Gus Reza yang baru saja pulang dari mondoknya di Al-Ahgaff, Yaman. Beliau langsung bertausiyah dengan menggunakan bahasa Arab yang masya Allah begitu fasih. Sontak para santri yang meskipun tidak paham dengan apa yang disampaikan, lancar dan fasihnya Gus Reza dalam bertausiyah bahasa Arab, sudah berhasil membuat para santri berdecak kagum.

Tidak mengecualikan dengan saya yang malah langsung tertarik untuk bisa belajar di Yaman. Hingga, hal itu benar-benar saya sampaikan ke abah, bahwa saya sangat ingin belajar di Yaman. Alhamdulillah, beliau menyanggupi dan mengizinkan. Selulusnya dari Al-Mahrusiyah, saya pindah belajar ke Yaman, di Jannatul Al-Ahgaaf persis seperti Gus Reza.

Hingga, di suatu tahun masa pengembaraan belajar saya di Al-Ahgaff harus terjeda, atau mungkin terhenti: pada saat abah saya meninggal. Saya harus pulang. Dengan mempertimbangkan kondisi keluarga, ibu saya hanya memberikan waktu 2 tahun untuk kembali ke Yaman. Selulusnya saya dari Al-Ahgaff, saya sempat belajar di Darul Musthofa yang diasuh oleh guru mulia, Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Lalu saya kembali pulang untuk membantu kakak saya dalam mengurus pondok.

Humoris dan Menangis

Beliau juga merupakan sosos kiai yang humoris. Di segala kesempatan, tidak mengecualikan pada saat mengaji, senang guyon adalah ciri khas beliau. Jadi tidak bosen selama mengaji. Jangan tanyakan perihal sifat humoris beliau saat tampil di podium, dalam kesempatan apapun. Ceramah beliau selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu hadirin.

Tapi, tetap saja, jiwa seorang ayah dalam diri Yai Imam tidak bisa diragukan. Beliau sangat sayang dan perhatian kepada kami, selaku santri-santrinya. Bukan lagi rahasia umum, bahwa beliau tidak pernah memanggil santrinya dengan sebutan “Ini santriku!”, tetapi “Ini anakku!”

Sekalipun dari kami sampai harus ada yang melanggar aturan dan membuat beliau marah, beliau tidak akan bisa berlama-lama dengan amarahnya. Bahkan jika sampai di ujung marah beliau yang tidak tertahan, pasti amarah itu akan berujung dengan tangis tanda sayang. Lalu, naasihat-nasihat lembut beliau akan menerpa hati kami, para santrinya.

Seperti sebuah nasihat beliau yang masih saya ingat, pada sebuah kejadian nakalnya santri.

“Nak” Kata beliau, “kamu semua itu dititipkan orang tua kamu kepada saya. Jadi saya punya tanggung jawab untuk mendidik kamu semua supaya menjadi orang yang shalih shalihah.”

Benar saja, memang terasa tidak ada sekat pemisah antara kami dengan beliau. Yai Imam berusaha menghilangkan itu. Beliau benar-benar menjadi sosok ayah bagi para santrinya. Dalam keadaan marah atau guyon sekalipun, beliau tetap marah dan guyon sebagai seorang ayah bagi kami. Beliau, sosok kiai yang luar biasa.

 

 

 

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
100%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

One thought on ““Orang yang Mampu Menandingi Gus Maksum, Hanya Yai Imam!”, -Kisah Keteladanan Yai Imam

  1. Mohon maaf.. alangkah lebih afdol jika adsense/iklan diposisikan di bagian bawah halaman.. karena iklan yg muncul kurang indah dipandang jika disandingkan dg konten laman.. sekali lagi mohon maaf. Terima kasih 🙏🏻

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like