Pemimpin Cerdas, Bijak Menggunakan Otoritas Bedakan Persoalan Internalitas
Menanggapi permasalahan yang kerap kali terjadi di lingkungan sekitar kita membuat analisa kita semakin tajam untuk menyampaikan sebuah kritik yang membangun. Jiwa kepedulian dan kesadaran tidak hanya berhenti melihat fenomena deskriminasi dan marginalisasi begitu saja. Sebuah gagasan yang memenuhi isi kepala harus disampaikan dengan cara yang profesional dan penuh attitude. Kebebasan berpendapat menjadi pijakan bagi siapa yang ingin melakukan perubahan. Menyampaikan sebuah kritik memang membutuhkan keberanian dan dukungan dari banyak pihak. Namun bukan berarti kritik tersebut tidak luput dari hambatan para pihak yang bersangkutan.
Persoalan internalitas antara pemimpin dengan rakyatnya sangatlah lumrah, bahkan dikalangan sesama pemimpinpun menjadi rahasia umum. Perbedaan pilihan, pemikiran, atau bahkan rasa suka atau ketidaksukaan adalah hal wajar bagi setiap orang. Yang tidak wajar adalah ketika orang yang berbeda pendapat atau tidak suka dengan pihak tersebut sampai membatasi atau menghalangi aktivitas pihak yang tidak sependapat. Bahkan juga ditemukan beberapa oknum pemimpin yang menggunakan otoritasnya demi memenuhi hawa nafsunya untuk menjatuhkan pihak yang memiliki persoalan internalitas dengannya. Pemimpin yang seperti inilah yang bukan kategori pemimpin cerdas. Bagaimana bisa ia dikatakan pemimpin cerdas kalau ia masih mengedepankan rasa emosional daripada otak rasionalisnya.
Pemimpin yang seringkali mengatasnamakan otoritas alih-alih hanyalah alibi untuk keegoisan hawa nafsunya saja. Karena takut tersaingi baik secara jabatan, kompetensi, relasi, atau dukungan. Selain itu juga sudah banyak pemimpin terjebak dalam perilaku korupsi karena mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Pemimpin yang tidak memiliki sistem pengawasan atau akuntabilitas sering kali menyalahgunakan kekuasaan mereka hanya untuk kepentingan pribadi. Padahal otoritas kepemimpinan yang mereka emban adalah sebuah amanat dan kepercayaan dari hati Nurani rakyatnya.
Mengetahui aib seorang pemimpin rasanya sudah bukan lagi rahasia umum. Sikap bijak ketika mendengar aib atau kekurangan pemimpin juga menjadi catatan penting dalam mengambil langkah selanjutnya. Kalimat gunjingan yang berseliweran di platform medsos dirasa kurang etis dalam melakukan penyampaian kritik. Rakyat juga harus lebih cerdas! Karena kritik yang berkualitas adalah kritik yang membangun, tidak banyak hastag namun lebih banyak praktek.
Menggunjing pemimpin seringkali menimbulkan maslahah dan mafsadah yang tidak seimbang, alias lebih banyak mafsadah karena hawa nafsu kita merasa puas ketika menjelentrehkan semua kesalahannya. Namun semua itu bisa diperbolehkan asalkan berprinsip pada etika dan syariat, seperti isi dari tulisan ini yang bertujuan untuk menjelaskan seseorang agar dikenal dengan tepat dan mencegah kemungkaran agar orang lain tidak ikut berbuat maksiat. Sebagaimana dalam kitab Al-Adzkar dikatakan menggunjing memanglah haram tetapi boleh pada hal-hal tertentu pada hal yang bersifat maslahat dan sesuai dengan nilai etika. Ada enam perkara yang diperbolehkannya ghibah, yuk simak sampai habis biar gak gagal paham ya guys;
1. Pengaduan terhadap suatu perlakuan aniaya atau kezoliman
2. Untuk meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan menyadarkan orang yang berbuat maksiat agar orang lain tidak ikut berbuat maksiat
3. Untuk meminta suatu fatwa
4. Mengingatkan dan memberi nasihat kepada orang Islam, dalam hal ini diperbolehkan dalam beberapa perkara seperti a) menyebutkan kekurangan yang ada pada perowi hadist b) memberi nasihat telah diminta c) memberi keterangan kepada seorang pembeli d) memberi keterangan tentang kebid’ahan seseorang e) teguran atasan kepada bawahannya
5. Menyebutkan seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah secara terang-terangan
6. Memberitahukan seseorang agar dikenal dengan tepat.
Selain Syekh Nawawi yang menjelaskan dalam kitabnya teresebut, ada juga Imam Ghozali yang memperbolehkan ghibah pada perkara tertentu yang terangkum dalam kitab Ihya Ulumiddin. Dalil-dalil yang memperbolehkan ghibah seperti diatas juga terdapat pada hadist shohih yang masyhur. Dari beberapa perkara ghibah yang diperbolehkan diatas bisa kita ambil ibroh bahwa ketika kita mengetahui aib atau cela dari para pemimpin bukan malah dijadikan pedang hujatan. Namun kita jadikan sebagai masukan yang bisa membangun dan saling beriringan.
TERSEDIA JUGA :