“Kok tidak ada, di sana ada uangku” kecemasan menyelimuti siang yang begitu lelah. Di tengah perjalanan menuju persinggahan berikutnya. Sebenarnya sudah tidak jauh rute yang akan dilalui dua orang pemuda itu. Tidak akan lelah. Rasa bimbang lahir setelahnya, apakah harus kembali dan mencari atau berlanjut dengan rasa kehilangan yang berkelayut. Lemas lesu tergambar tanpa dusta dari wajahnya, yang satu santai saja sambil menikmati tegukan pemutus dahaga.
“Berapa?” Tanya spontan keluar dari pemuda yang sedang minum. Pertanyaan yang akan dilontarkan mayoritas warga. Bukan kejutan jika bentuk kepedulian adalah pertanyaan. Apalagi pertolongan pertama bagi orang kehilangan. Haruskah ia menerawang dengan ilmu kanuragan yang tersimpan di kaki gunung Arga Pura. Belum saja hilang raut kecemasan saat terjaga kerahasiaan letaknya uang milik temannya itu. Tidak tega juga sebenarnya ia melihat nasib yang menimpa di tengah kelelahan.
“Banyak, berjuta-juta” Terlontar juga alasan kecemasan yang sejak tadi tertutupi rasa getir kehilangan. Memang yang hilang hanya harta, namun itu kumpulan uang jajan beserta perjuangan menyisihkan. Uangnya bisa minta orang tua, apalagi mereka berdua belum bekerja, tinggal minta saja apa susahnya. Namun, ada cerita dibaliknya, belum lagi harapan akan tujuan dikemanakan lembar-lembar kertas warna yang hilang itu. Sedikit terkejut, namun mustahil jika mereka sekedar berdoa pada Tuhan untuk mengembalikan.
“Kita putar balik, tidak ada cara lain untuk mencarinya” Menurutnya ini adalah pilihan terbaik untuk menghindar dari kehilangan. Namun, apakah jika menyusuri lagi rasanya akan tetap sama. Bukankah rasa hambar telah menunggu di ujung jalan sambil melambai penuh semangat.
“Kembali ke jalan itu?”
“Kemana lagi”
“Baiklah, semoga saja bisa kita temukan”
***
Tujuan yang seharusnya sudah dekat kembali menjauh. Sebab sadar jika kehilangan lebih besar dari sekedar senang-senang. Menyusuri jalan yang telah mereka lalui bersama dengan penuh gigih. Merelakan waktu yang sudah terlanjur tertelan jarak. Disusurinya penuh hati-hati jalan itu, takut terlewat dompet berisi uang jutaan. Sambil berharap kalau dompet itu tidak ditemukan orang jahat yang hanya memikirkan kesenangan dan acuh dengan perjuangan serta harapan di dalamnya.
“Kita sudah sejauh ini, dan dompet itu masih belum ditemukan”
Mungkin mengikhlaskan akan jauh lebih indah dari menyesal. Ketidak-terimaan hanya akan mengganggu perjalanan mereka berdua jika saja dompet itu tidak diikhlaskan segera. Ini bukan cerita cinta harta, jauh dari itu ada ikhlas akan harapan dan cita. Hati setangguh milik mereka berdua seakan tidak adil jika harus merasakan kehilangan mendalam. Namun, yang lebih indah ialah saat mereka tidak mengambing hitamkan Tuhan sebagai dalang kehidupan yang mengatur cerita penuh makna. Meski mereka seakan lupa bahwa dengan pertolongannya lah dompet itu dapat ditemukan. Usaha besar untuk putar balik menjadi hampa saat dompet sudah ditelan waktu yang tidak pernah bersinggah sekedar istirahat. Matahari sudah memeluk senja dengan mesra. Sementara dompet itu sedang asyik bercumbu dengan pemilik baru yang sebenarnya tahu bahwa ada pemilik sesungguhnya. Berpulang mungkin belum waktunya, pilihan tepat untuk berdamai dengan kehilangan menjadi keharusan. Melupakan menjadi hal tersulit untuk mereka setelah kejadian.
“Setelah usaha, hanya doa yang bisa”