web analytics

Emang Kalau Mustahiq Nggak Boleh Makan Di Warjok?

Emang Kalau Mustahiq Nggak Boleh Makan Di Warjok?
0 0
Read Time:3 Minute, 27 Second

Mustahiq itu semakna dengan ustadz. Hanya ini dalam ruang lingkup Madrasah Diniyah. Sebagaimana kata Asatidz dalam Madrasah Qiroatil Qur’an dan Penyorog dalam konstruk sorogan. Nggak jauh beda, Mustahiq adalah pengampu. Tapi jujur, Mustahiq nih rada beda!

Bukan apa-apa, selain Asatidz, penyorog, atau guru formal sekalipun, Mustahiq rada gimana gitu. Serius, vibesnya beda. Mungkin karena saking ta’zhim, jatuhnya jadi ke takut. Apalagi kalau sampai nggak musyawaroh malam rabu dan kita adalah rois pelajaran yang tentunya wajib musyawaroh. Pas surat ta’ziran turun dari pusatnya pusat; tergeletak di meja, dibuka, tertera nama, dan tinggal menanti surprise. Tentu nggak bisa menerka-nerka ta’ziran apa yang didapat. Tergantung psycho mooding.

Apalagi kalau beliau yang emang backgroundnya diktator dengan sistem otoriternya. Wah, siap-siap ketar-ketir, minimal berdiri 2 khisoh, berangkang, dipaket, ngangkat meja, jebur got, atau tangkap lalat jantan dan betina. Kloter-kloter, nter-nter!

Aslinya yang membuat para siswa, apalagi murid bagian kelasnya sendiri, merasa didaktik attitude bukan semata-mata karena ta’ziran atau hukuman yang selalu mengintai para rois yang absen musyawaroh ataupun para bolosun keaktifan, bukankah Ana abdu man alamani harfan wahidan? Bukankah katanya pula Man aradal falah falyasir turoban tahta aqdami syuyukh? Apa daya, memang sudah konsekuensinya saat berpapasan Si Murid harus tunduk sedikit menundukan kepala. Bukan nyembah, tadhoru namanya!

Meski begitu, tentunya ada sisi bahwa ruang gerak terbatasi. Namanya juga masih satu pondok, ketemu papasan antara murid dan guru itu nggak mungkin terelakan. Jalan, mau ke mushola, mau mandi, ke kantin, ke koran-koran, mungkin aja. Tapi, nggak jarang, jatuhnya malah Mustahiqnya yang ke-judge. Nggak cuma Si Murid, Mustahiq pun merasa ruang geraknya terbatasi.

Tentu setiap orang butuh makan. Perlu makan. Ya, karena memang sudah konsekuensinya jadi makhluk dan hidup. Beda lagi kalau sudah jadi makhluk dan mati. Hanya butuh amal.

Ngomong-ngomong soal makan dan lapar, siapa yang membantah tentang enaknya telor ceplok warjok yang diracik dan dikocrek sendiri di gelas plastik berbercak kerak yang dihusnudzonkan secara penuh itu it’s oke wae. Jangan lupakan juga tentang hamparan berdus-dus indomie, sarimi, mie sedaap, atau mie sukses sekalipun dengan varian rasanya, kuah atau goreng, sulit rasanya untuk menolak perebusan gebrus-gebrus untuk wajan penggorengan penyok dan perut-perut yang menyurut.

Meskipun warjok tetap menyediakan nasi dengan berbagai lauk gurih-gurih nyoy menggugah selera yang tanpa sedikit pun menyinggung lelaki berkopeah hitam dalam frame lembar lecek kertas cokelat lima, nol, nol, nol itu. Telor ceplok dengan nasi setengah porsi cuma dihargai empat ribu. Warjok adalah manivestasi dari rekonsiliasi lapar perut dan budget-budget kedaerahan.

Meskipun lauk yang bermunjung-munjung baskom besar itu nggak akan berhenti melakukan demagogi pasif, tetap saja, telor ceplok gurih hangat kearifan lokal hasil keringat tangan sendiri itu lebih berselera. Nggak peduli tentang minyaknya yang gobyos atau asin nggak merata bagai pembangunan negeri itu. Asal mau tau, seninya tuh di situ!

Bukan hanya Si murid, Mustahiq pun mengakui tentang value telor ceplok warjok. Mustahiq pun juga punya lidah. Punya perut. Punya lapar. Emang kalau Mustahiq nggak boleh makan di warjok?

Ini nih yang bikin ribet. Dengan segala dorongan asam lambung dan sekat elektabilitas fatsun status ta’lim wa ta’alum, Mustahiq nggak bisa semerta-merta ke warjok dan ujug-ujug. Kan nggak lucu, di warjok, Si Murid nunduk-nunduk ketemu mustahiqnya yang terjongkok-jongkok sumrah selera menyantap telor ceplok. Muru’ah bos!

Karena gua pernah di jam 2 siang pergok di warjok. Pikir gua emang jam segitu pondok induk belum pulang musyawaroh dan HMP lagi sekolah formal. Jadi, aman. Mungkin kurang skeptis dan kritis, kuliah kan jam segitu udah pulang! Mahasiswa los-los aja. Meski bukan Mustahiq gua dan rada kenal, tetap aja tersirat bias ketar-ketir cengar-cengir di wajahnya karena kegep masak indomie sato plus telur. Wajahnya sedikit memerah seperti habis dicium saos 3 sachet.

Dan siapapun, saat sudah dalam masuk ke warjok, semua orang dipandang sama; pelanggan dan harus jongkok kalau mau makan. Nggak ada bangku, deprok rada pliket ubinnya. Yah.

Selaras dengan sifatul basyariyah, pengrefleksiannya, di balik sifat kealiman dan segala keutamaan yang menjadi sekat, sejujurnya, Mustahiq pun juga manusia biasa. Sama-sama santrinya. Punya salah, punya malas, punya emosi, punya lapar. Juga selera-selera akan telor ceplok warjok!

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like