Dunia cyber yang tak terbatas menuntut kita untuk menjadi navigator yang berkualitas. Bagaimana tidak? Di era digital ini, semua orang mengandalkan media sosial dalam berbagai aktivitas sosial. Apapun informasi yang ingin kita gali, dapat dijelajahi dengan hanya mengetikkan kata kunci. Apapun konten yang ingin kita nikmati, dapat diulangi sesuka hati. Begitu juga dalam hal nasyrul ilmi, lebih efektif jika memanfaatkan kemajuan teknologi.
Dakwah digital, laksana panggung baru untuk mensyiarkan syariat Islam. Hadirnya mencerminkan Islam sebagai agama yang responsif terhadap kemajuan zaman, namun tetap arif dalam menyikapi perubahan.
Namun, di tengah potensi yang (sebenarnya) menguji, kita dihadapkan pada pertanyaan penuh misteri; “Apakah esensi dakwah di dunia serba instan ini?
Didalam kitab Hidayatul Mustarsyidin, Syaikh Ali Mahfudz mendefinisikan dakwah sebagai berikut:
حث الناس على الخير والهدى والأمر المعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل والآجل
“(Dakwah yaitu) upaya mendorong manusia untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk, memerintah mengerjakan kebaikan, dan melarang melakukan kejelekan, agar mereka (sasaran dakwah) bahagia di dunia dan di akhirat.”
Dalam konteks ini, dakwah yang dimaksud bukanlah dakwah konvensional, melainkan dakwah yang membangun mental dan menggiatkan tercapainya kemandirian sosial.
Namun, amar ma’ruf nahi munkar tak semudah membalikkan telapak tangan. Kita memerlukan pendekatan persuasif, komunikasi intensif, bahkan strategi inovatif agar dakwah dapat diterima dengan baik. Untuk itu, hendaknya kita mengambil langkah preventif sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 125;
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.”
Imam Al-Qurthubi menjelaskan didalam Kitab Tafsirnya;
هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ بِمَكَّةَ فِي وَقْتِ الْأَمْرِ بِمُهَادَنَةِ قُرَيْشٍ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْعُوَ إِلَى دِينِ اللَّهِ وَشَرْعِهِ بِتَلَطُّفٍ وَلِينٍ دُونَ مُخَاشَنَةٍ وَتَعْنِيفٍ
“Ayat ini turun di Mekkah pada saat perang melawan orang Quraisy. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak orang-orang pada agama dan syariat-Nya dengan cara yang lembut dan lunak, bukan dengan cara yang kasar dan keras.”
Bayangkan, dalam kondisi perang saja, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan ajaran Islam dengan ramah, bukan penuh amarah. Merangkul, bukan memukul. Dan dengan cara membina, bukan menghina.
Lantas, bagaimana jika dalam kondisi seperti sekarang ini? Pantaskah kita mempermasalahkan perbedaan, menebar kebencian, bahkan melakukan kekerasan?
Di dunia digital, kita sering kali terseret dalam arus debat yang tak berkesudahan, di mana kata-kata terkadang lebih tajam daripada pedang. Namun, kita harus mengingat bahwa dakwah bukanlah medan pertempuran untuk menang, tetapi ladang untuk menanam benih-benih kebaikan dalam hati setiap insan.
Selain itu, sebagai digital citizens, kita juga harus memahami audiens, sebagaimana sabda Rasulullah SAW;
خَاطِبُوْا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ
“Berbicaralah dengan manusia sesuai kadar pemahaman mereka.” (HR. Ad-Dailamy)
Hadist ini menegaskan bahwa kondisi setiap orang tidaklah sama. Oleh karena itu, kita tidak bisa bebas dan keras menyuarakan pendapat kita, ada etika dan aturan tersendiri meskipun di dunia maya. Intinya, kita harus menyesuaikan konten dengan konteks, agar tidak terjadi ambiguitas dalam memahami realitas, sebagaimana sebuah pepatah mengatakan;
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ، وَ لَيْسَ كُلُّ مَا يُعْلَمُ يُقَالُ
“Setiap ruang ada bahasanya sendiri, dan tidak setiap yang diketahui harus disampaikan.”
Perlu kita ingat juga bahwa platform digital itu dikonsumsi lintas generasi. Setiap gugusan opini yang beredar akan terekam dalam benak pemerhati, dan mungkin saja abadi. Maka dari itu, kita harus ekstra hati-hati dan teliti sebelum melakukan publikasi. Pastikan bahwa informasi yang kita sebarkan dapat dipertanggung jawabkan.
Bijaklah dalam bermedia sosial. Ingat, kita adalah duta dari nilai-nilai yang kita pegang.
Wallahu a’lam.