web analytics
AD PLACEMENT

Guru Agama X Guru Umum

AD PLACEMENT
0 0
Read Time:4 Minute, 48 Second

Sistem pendidikan Indonesia sudah ada sejak zaman sebelum penjajah, mulai zaman Kerajaan dan terus berkembang hingga zaman modern hari ini.

Dr. Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi Suryadiningrat memang segelintir orang yang memperjuangkan pendidikan bagi bangsa Indonesia di zaman dahulu. Douwes Dekker bahkan menginisiasi politik balas budi kepada pemerintah Hindia Belanda agar memberikan kesempatan pendidikan yang lebih baik bagi bangsa jajahan, meskipun tidak merata kepada anak bangsa dan hanya menyasar anak-anak pejabat, tuan tanah, raja-raja atau anak orang penting lainnya.

Mungkin itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali dan bisa jadi esok-lusa pendidikan Indonesia bisa lebih berkembang lewat jebolan anak-anak yang bersekolah itu. Sekolah Belanda atau Inlandsche School.

Sekolah Belanda hanya menawarkan pendidikan umum atau pendidikan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan eksak, linguistic, sosiologi tanpa memberikan pengetahuan keagamaan kepada siswanya. Penjajah paham dan mengerti bahwa penjajahan di tanah air tidak akan bisa padam karena dukungan ilmu dan moral yang diajarkan agama. Agama adalah sumber perjuangan, sumber keabadian, sumber keadilan, sumber kenyamanan dan berbagai sumber lainnya bagi para pemeluknya. Namun, agama adalah petaka dan mara bahaya bagi para musuh-musuhnya, terlebih Wangsa penjajah.

AD PLACEMENT

Bangsa Indonesia tidaklah begitu mengenal dan mengerti akan dunia luar, aksakta, industry, fisika, biologi karena berbagai efektifitas yang menopang kecerdasan bangsa harus ditiadakan. Dengan tiadanya bangsa yang cerdas akan lebih mudah penjajah bercokol dan mempertahankan eksistensinya.

Akan tetapi bukan berarti bangsa Indonesia tidak berpendidikan sebelumnya. Sebelum Douwes Deker dengan politik balas budinya. Sistem pendidikan yang mumpuni yang memadukan tanpa membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum.

Mungkin anak bangsa hari ini sangat mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Apabila tidak ‘umum’ maka tidak mau. Apabila tidak ‘agama’ maka tidak mau.

Itu hanya segelintir contoh pendikotomian ilmu pengetahuan yang telah turun temurun dan warisan kaum penjajah.

AD PLACEMENT

Agama manapun tidak pernah mendikotomikan ilmu pengetahuan apapun. Bahkan menganjurkan agar ‘ilmu agama’ dan ‘ilmu umum’ agar selalu berintegrasi. Sama-sama dipelajari, sama-sama diamalkan. Proporsional.

Adapun yang berkembang hari ini adalah dikotomi ilmu pengetahuan dengan Sekolah Belanda (kemudian dikenal dengan sekolah pribumi/rakyat lalu berubah menjadi sekolah dasar dan menengah) yang menjadi pelopr ilmu umum dan pondok pesantren atau sekolah asrama yang menjadi pelopor ‘ilmu agama’.

Podok pesantren-pun sejatinya tidak pernah mendikotomikan ilmu apapun bahkan menganjurkan santrinya agar ahli dalam ilmu agama dan ilmu umum. Namun, sejak kalahnya para santri dan kiai dalam Perang Jawa (1825-1830) membuat penjajah semakin getol dan mengintruksikan bahwa yang dipelajari di pondok pesantren hanyalah ilmu agama. Nahwu, shorof, mantiq, tauhid, fiqih saja. Itu-pun masih di bawah pengawasan ketat pihak penjajah. Hal ini agar mewanti-wanti agar tidak timbul perlawanan apapun kepada pihak penjajah karena di dasari atas dasar agama. Semangat ber-agama.

Akibat yang timbul dari dikotomi ilmu pengetahuan adalah kurangnya pemahaman atas ilmu lain. Selain itu, akan timbul anggapan bahwa hanya ilmu ini saja yang menjanjikan masa depan cerah, sedangkan ilmu ini tidak, dan seterusnya. Dan akibat terburuk dari hal ini adalah pendiskreditan guru atau pengajar yang mengajar suatu bidang ilmu. Mereka hanya menganggap dan menghormati guru mereka saja. Tidak guru yang lain. Padahal guru apapun meskipun tidak pernah mengajarkan kita sejatinya harus dihormati. Seburuk apapun guru itu, secacat apapun guru itu. Karena yang dihormati dari guru adalah ilmu pengetahuan yang bersemayam di guru dan sisi kemanusiaan yang menempel di guru tersebut.

AD PLACEMENT

Akibat yang buruk dari dikotomi ilmu pengetahuan warisan penjajah adalah pendiskreditan guru atau pendiskriminasian guru. Sebagai contoh Guru Agama x Guru Umum.

Penulis sangat merasakan efek diskriminasi guru (yang merupakan efek pendikotomian ilmu pengetahuan yang dilakukan penjajah). Meskipun di pondok pesantren tempat menimba ilmu penulis, diskriminasi guru sangat ketara dan mungkin di belahan Indonesia lainnya terjadi hal yang serupa. Diskriminasi guru.

Kenapa bisa terjadi? Karena sudah mandarah daging, menjadi kebiasaan, menjadi persepsi balikan menjadi kebenaran yang dianut bahwa guru agama (yang ada di pondok penulis) haruslah lebih dihormati dan dimuliakan ketimbang guru umum.

Persepsi salah ini harus segera dihilangkan dan diobati karena bersumber dari kesalahan berpikir atau berlogika (logical fallacy). Jika dibiarkan maka akan timbul persepsi-persepsi lain yang salah yang diyakini kebenarannya. Salah persepsi atau salah berpikir lebih berbahaya ketimbang salah bertindak atau berbuat, meskipun sama-sama salah.

Mustahiq di pondok penulis lebih besar pengaruhnya dan dihormati ketimbang wali kelas di sekolah penulis. Ironis. Padahal fungsi mustahiq dan wali kelas adalah sama. Kenapa musti beda memperlakukan mereka berdua.

Kesalahan persepsi, berpikir, bersikap dan berkelakuan yang terjadi pada diri rekan-rekan penulis atau para santri haruslah segera diobati. Jauh-jauh hari KH. Abdullah Kafabihi Mahrus pernah berpesan bahwa tidak boleh membeda-bedakan, apapun itu, siapapun itu, agama atau umum, mustahiq atau guru sekolah. Sekali guru tetaplah guru yang wajib dihormati dan dimuliakan.

Kenapa ketika bertemu mustahiq tunduk membungkukkan badan dan bersikap santun dan bermanis wajah, namun ketika bertemu guru sekolah malah membusungkan dada, menegakkan kepala, bersuara ditegas-tegaskan. Dan seakan-akan tidak pernah kenal.

Padahal besok-lusa, ketika telah tamat pondok atau sekolah. Adalah wali kelas sekolah orang yang pertam kali ditemui dan dimohon ketika berkunjung ke pondok atau sekolah. Tentunya untuk memohon diberikan ijazah atau surat keterangan lulus (SKL) sekolah yang bisa menjadi modal untuk melanjutkan diri ke jenjang pendidikan berikutnya atau sekedar syarat diterimanya bekerja.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Diskriminasi guru dan terus berlanjut padahal sama-sama guru.

Bagaimana cara mengatasi salah persepsi yang kadung menjamur dipikiran para santri?

Mungkin dengan memberikan konseling, pemahaman, seminar, instruksi, dan adanya kebijakan pondok tentang guru adlah salah satu cara untuk mengobati salah pikir (logical fallacy) dari segelintir santri pondok pesantren atau siswa sekolah dimanapun berada.

“Menghormati guru adalah bentuk menghormati ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.” Karena menghormati guru adalah hal yang paling fundamental meski tak mengetahui daliol-dalil atau ayat-ayatnya. Cukup dengan hati nurani dan sisi kemanusiaan kita menghormati seorang guru itu. Yakinlah orang yang tak menghormati guru adalah orang yang minus hati Nurani dan akalnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Tagged with:
el mahrusy id
AD PLACEMENT

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Tob Tob Tob Tob…

Tob Tob Tob Tob…

Ada Naga di Bulan Ramadhan!

Ada Naga di Bulan Ramadhan!

Perbedaan Lailatul Qodr dan Nuzulul Qur’an

Perbedaan Lailatul Qodr dan Nuzulul Qur’an

Gelap Terang Indonesia

Gelap Terang Indonesia

Sholat Tarawih Cepat, Bagaimana Hukumnya

Sholat Tarawih Cepat, Bagaimana Hukumnya

Ngaji Syamail Part 20: Kezuhudan Dahar Rasulullah SAW

Ngaji Syamail Part 20: Kezuhudan Dahar Rasulullah SAW

AD PLACEMENT