“Gus Dur, Guru Bangsa” merupakan sebuah pepatah yang terkenal di sebagian masyarakat Indonesia, khususnya bagi kita yang tergabung dalam Gus Durian Network (penggemar Gus Dur). Tentu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Gus Dur adalah sosok mentor bangsa ini. Sebab, berkat jasanyalah keberagaman bangsa ini tetap terjaga hingga saat ini dalam kesatuan dan kesatuan. Sebagai mantan Presiden RI, Gus Dur banyak menorehkan nama emas sebagai seorang pemimpin. Ia berasal dari pesantren dan sebenarnya pandai memimpin negara ke arah yang lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prestasi yang diraihnya yang tentunya terpatri kuat dalam kenangan orang-orang yang mencintainya.
Salah satu prestasi Gus Dur yang paling dikenang dan diceritakan adalah keberhasilannya mengatasi rasisme terhadap Tionghoa di Indonesia. Faktanya, Konghucu secara resmi diakui sebagai salah satu agama negara pada masa pemerintahannya. Selain itu, Gus Dur juga merupakan sosok pemimpin yang sungguh-sungguh dan ikhlas mengabdikan dirinya untuk negara dan bekerja keras memberantas korupsi di negeri ini. Hal itu ditunjukkan dengan keberaniannya membongkar Kementerian Sosial pada tahun 1999. Karena lembaga tersebut telah menjadi tempat berkembang biaknya “tikus-tikus kantor”. Meski mendapat kritik dan intimidasi dari semua pihak, ia tetap berpegang pada prinsipnya dan tidak takut untuk terus melakukan apa yang harus ia lakukan. Sikap Gus Dur patut ditiru.
Meski masa jabatan Gus Dur sebagai presiden terbilang singkat, namun jika terus dibicarakan, prestasinya seolah tak akan pernah ada habisnya. Faktanya, Gus Dur mengakhiri masa jabatannya sebagai sosok yang berprestasi luar biasa dan menjadi teladan. Dia lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya – karena dia digulingkan oleh unsur-unsur “nakal” pada saat itu, daripada melihat rakyatnya berperang dan menumpahkan darah rekan-rekan mereka. Hal ini mencerminkan karakter moralnya yang tinggi sebagai seorang pemimpin. Sebab, baginya jabatan presiden bukanlah apa-apa, namun persatuan dan kesatuan bangsa adalah segalanya. Belajar dari kisah Gus Dur yang luar biasa dan mengharukan semasa menjabat Presiden RI, kita sebagai santri harus bisa meneladani dan mengambil inspirasi dari “kecemerlangan” beliau. Gus Dur merupakan sosok Santri dan politikus besar dalam sejarah bangsa Indonesia.
Terlihat bahwa tidak “dilarang” bagi santri untuk terlibat dalam dunia politik yang terkesan “kotor”. Sebaliknya santri, sebagai orang yang “bersih”, harus benar-benar terjun ke dunia politik untuk membersihkan apa yang sebelumnya kotor, bukan malah terjerumus ke dalam rawa politik yang jelas-jelas kotor. Slogan Jawa “sing waras ngalah” tentu sudah tidak relevan lagi dengan situasi politik saat ini. Sebab, jika anggapan “ketinggalan jaman” ini tetap dominan dalam idealisme kita, maka keadaan negeri ini akan semakin kacau karena diisi oleh orang-orang yang durhaka dan tidak dapat dipercaya dalam menjalankan tugas resminya.
Bukankah kalau kita orang-orang yang “waras” masih mengalah, maka orang-orang “gila” itu pasti akan bersaing memperebutkan posisi kepemimpinan. Idealisme yang terkadang tertinggal dalam diri santri harus dibuang. Orang-orang yang baik dan saleh (santri) harus mengambil alih kepemimpinan untuk menyelamatkan masyarakat dari ketidakadilan dan perbuatan jahat yang mungkin dilakukan fasik ketika diberi posisi dan kesempatan kepemimpinan. Ketika santri terjun ke dunia politik bahkan menjadi pemimpin tertinggi seperti Gus Dur yang sukses menjadi presiden, negara akan menemukan kondisi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan. Pemimpin yang berstatus santri pasti akan mengoreksi kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Di sisi lain, ia juga akan merumuskan kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat dan harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Lebih lanjut, meminjam Dawuh Gus Baha’, “Seribu fatwa yang dikeluarkan para ulama bisa saja dikalahkan oleh kebijakan yang diputuskan oleh pemimpin yang berkuasa”, kita akan semakin percaya pada Santri. Masuki dunia politik dan rebut kekuasaan dengan kekuasaan. Niat baik, perbuatan mulia. Santri tidak perlu takut dengan argumen bahwa Santri terlibat dalam politik adalah dosa. Ini adalah stereotip yang sudah mendarah daging di masyarakat kita. Berpartisipasi dalam dunia politik dan merebut kekuasaan dengan menjadi pemimpin di dalamnya merupakan suatu prestasi yang membanggakan dan berharga sepanjang sejalan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang diajarkan Islam.
Di luar itu, santri tidak perlu lagi merasa minder atau patah semangat. Kalau dulu, sebelum masa kepemimpinan Gus Dur, para santri di pesantren dipinggirkan dan sering dipandang sebelah mata, namun kenyataan tersebut kini tidak lagi berlaku. Sebab, setelah Gus Dur yang berlatar belakang Santri memasuki dinamika politik nasional dan sukses menjadi presiden, Santri tak lagi terpinggirkan dari segi status sosial. Akibatnya, siswa menjadi “dihormati” dan reputasi serta kredibilitas mereka mulai dianggap serius. Tak hanya itu, dulu sempat muncul pertanyaan besar dari masyarakat, “Apa yang didapat santri dari belajar? Apakah ijazah santri tersebut bisa digunakan untuk mendapatkan pekerjaan.” Pertanyaan tersebut, sekarang sudah bisa di patahkan.
Terbukti dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 32 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa ijazah mahasantri kini dianggap setara dengan ijazah pelajar dan dapat digunakan untuk pendaftaran CPNS seperti ijazah pelajar. Keberhasilan santri dalam meraih reputasi baik di seantero negeri bermula dari suksesnya masa jabatan Gus Dur sebagai kepala sekolah. Segala keberhasilan dan pengakuan tersebut tidak terlepas dari pengaruh dan prestasinya sebagai presiden saat itu. Beliau adalah panutan kami dan seolah menyampaikan dan menegaskan kepada kami “idealisme vital” bahwa Santri mampu menunjukkan kemampuannya di hadapan masyarakat Indonesia bahkan memimpin mereka dengan menjadi presiden.
Tentu tidak berlebihan jika kita sebagai bangsa sangat merindukan sosok pemimpin nasional yang karismatik dan membumi seperti Gus Dur. Selain menjadi sosok Santri yang berkualitas, ia juga “dinobatkan” sebagai empu nasional. Kebaikan dan kegunaannya akan selalu dikenang, dan ide-ide besarnya akan diteruskan oleh para penggemarnya.