Kediri, Elmahrusy Media.
(03/07), bertepatan pada tanggal 7 Muharram 1447 Hijriyah, Asrama Darur Rasyidah perdana menggelar haul KH Moenir Samsul Hadi yang merupakan ayahanda dari Agus Ahmad Nasyrudin Moenir atau yang akrab disapa Gus Anas.
Bertepatan di malam Jum’at yang berkah dan bulan Muharram yang berlimpah anugerah, usai mentari terbenam sempurna di ufuk barat dan langit yang telah menggelap, tawasul dan lantunan wirid istighotsah mulai menggema di penjuru Aula Al-Fatah Asrama Darur Rasyidah.
Pada kesempatan ini, majlis dzikir dipimpin langsung oleh Gus Anas sebagai sohibul hajat. Acara dimulai ba’da jama’ah maghrib dan diawali dengan istighotsah bersama, kemudian dilanjut pembacaan manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Maulid Dhiyaul Lami’ dan terakhir sekapur sirih atau mauidzoh dari Gus Anas selaku putra bungsu KH Moenir Samsul Hadi.
Mengawali mauidzoh Gus Anas mengutip dawuh Imam Abu Hanifah, “Saya lebih suka membahas biografi para ulama salafus sholih dari pada debat fiqih yang ujung-ujungnya ingin menang sendiri,” tutur Gus Anas.
Kemudian baliau dawuh, “Haul ini merupakan haul abah yang ke-27,” tutur beliau memulai cerita.
Sebelum bercerita, beliau terlebih dahulu menafsirkan isi kandungan Surah At-Tin ayat ke-4 yang menjelaskan bahwasanya manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan paling sempurna dan patut untuk disyukuri.
Di ayat selanjutnya juga diperingatkan bahwa manusia akan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya yakni tanah.
Kemudian pada ayat ke-6 dijelaskan bahwa mereka (manusia) akan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.
Berangkat dari redaksi tafsir surat At-Tin tersebut Gus Anas ingin menyampaikan bahwa KH Moenir Samsul Hadi merupakan figur kiai sekaligus ayah dengan karakter tegas dan sedikit bicara.
“Abah saya itu lebih sering bertindak dan sedikit bicaranya, bahkan dawuh-dawuh beliau itu dapat dihitung,” jelas Gus Anas.
Maka dari itu, sebagai figur kiai dan ayah, kuat kaitannya dengan amal jariyah yang tiada putus-putusnya.
Mengapa? Karena cita-cita orang tua paling tinggi adalah biar di do’akan anak-anaknya. Anak merupakan investasi akhirat dan wasilah orang tua menuju jannah. Dengan begitu orang tua akan memiliki amal yang tiada putus ketika anak-anaknya selalu mendo’a kanya.
“Dan tujuan kalian dipondokkan agar menjadi putri yang solehah. Insyaallah dari putri-putri yang solihah akan lahir dzuriyah yang solih-solihah,” nasihat Gus Anas.
Terakhir, beliau dawuh, “Amalan di Bulan Muharram selain minum susu putih dan menulis lafad basmallah adalah bersedekah. Dan sedekah paling utama adalah kepada fii sabilillah,”
Kemudian di tengah acara tiba-tiba para santri dikejutkaan dengan bom rezeki, kakak Gus Anas dan juga Gus Anas bagi-bagi rezeki berupa uang saku kepada para santri yang disambut dengan sangat antusias dan penuh sumringah.
Acara terakhir, ditutup dengan kilas kenang Gus Anas kepada ayahanda. Beliau juga menyampaikan pesan abah yang paling beliau ingat dan melekat, “Nek dadi-dadio, nek ora yo ora sekalian, ojo dadi wong nanggung,” (Kalau jadi ya jadi, kalau engga ya engga. Jangan jadi orang yang menggantung).
Maksud dari pesan tersebut selain sebagai bukti ketegasan abah beliau dalam mendidik putra-putrinya, pesan tersebut juga menyiratkan makna, jika ingin jadi orang yang baik maka maksimalkan. Jika tidak maka tidak usah sekalian, jangan menjadi orang yang di tengah-tengah. Hidup harus memiliki prinsip dan tujuan untuk diwujudkan dengan kesungguhan.
Wallahu a’lam.