Qurban, yang dalam bahasa Indonesia ditulis “kurban”, adalah salah satu ritus dalam haji. Kurban secara literal berarti “dekat” atau “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Namun, dalam terminologi Islam, ia adalah ritual (ibadah) dalam bentuk penyembelihan hewan ternak, umumnya unta, sapi, atau domba/kambing. Ritual ini lahir dan ditetapkan agama sebagai upaya menghidupkan sejarah Nabi Ibrahim, bapak para nabi, ketika menyembelih anaknya, Ismail, atas perintah Tuhan, tetapi Tuhan kemudian menggantinya dengan domba.
Peristiwa ini pada mulanya merupakan tradisi masyarakat pagan. Demi meraih kebahagiaan diri, para tokoh—atas nama Tuhan—melakukan pembunuhan manusia sebagai bentuk pengorbanan kepada Tuhan. Kejahatan kemanusiaan model ini harus dihentikan. Tanpa menghilangkan tradisi itu, Allah Swt. melalui nabi menyerukan praktik pengorbanan tersebut diganti dengan penyembelihan hewan yang memberi manfaat bagi kesejahteraan sosial. Maka, kurban dalam haji adalah simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas sosial-ekonomi demi kesejahteraan bersama.
Penyembelihan hewan kurban pertama-tama adalah simbol bagi cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia adalah bentuk ketakwaan kepada-Nya. Al-Qur’an menyebutkan:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ
“Unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar agama Allah. Bagimu terdapat kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat).” (QS. Al-Hajj [22]: 36)
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ٣٧
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.” (QS. Al-Hajj [22]: 37)
Tema taqarrub kepada Allah dalam teks-teks Islam tidak semata bersifat personal tetapi selalu berhubungan dengan perintah-perintah atau ajakan-ajakan kepada manusia untuk memperhatikan dimensi-dimensi kesejahteraan sosial, baik secara material, moral, dan spiritual. Pada ritual qurban, dimensi ini muncul dalam bentuk perintah kepada kaum muslimin yang memiliki kemampuan material (ekonomi) untuk menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan daging hewan tersebut untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin. Ini jelas ditunjukkan oleh ayat Al-Qur’an:
فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ
”…Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta…”
Ini adalah makna pendekatan diri kepada Tuhan dalam bentuk meterial dan paling mudah dipahami orang. Namun, ritual kurban juga memiliki dimensi moral dan spiritual. Seorang penafsir modern, Muhammad Rasyid Ridha, menyatakan bahwa ibadah qurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menuntut tingkat kesabaran, ketabahan, dan pengorbanan yang tinggi. Pandangan ini mengajak kita untuk menaruh perhatian yang tinggi kepada dimensi moral dan perjuangan kemanusiaan. Semua harus terus diperjuangkan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial. Keberpihakan Islam terhadap komunitas manusia yang miskin atau dimiskinkan oleh struktur sosialnya merupakan komitmen utaa Islam. Menyembelih hewan adalah menyembelih sifat sifat kebinatangan yang menyesatkan, yang sering kali tidak peka dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain
Ali Syari’ati bahkan memberikan makna kurban jauh lebih lagi. ”Kurban yang diungkapkan sebagai penyembelihan hewan adalah perumpamaan dan symbol untuk kemusnahan dan kematian ego yang rendah. Ini berarti juga menahan diri dan berjuangan melawan godaan ego dan individualisme yang sering kali mengajak kepada kesesatan dan kezhaliman”. Pandangan Ali Syari’ati tersebut memperlihatkan perhatianya yang besar kepada dimensi moral dan politik yang juga harus terus diperjuangkan bagi terwujudnya keadilan sosial.
Wallahu a’lam
Ref: Spiritualitas Kemanusiaan (KH. Husein Muhammad), Islam (KH. Husein Muhammad)