Dalam KBBI, literasi memiliki arti kemampuan menulis dan membaca. Setiap hal yang bersangkut paut dengan kemampuan menulis dan membaca, berarti berkaitan dengan lingkup koridor cakupan literasi.
Menulis dan membaca, itu kata kuncinya!
Di Hari Literasi Internasional ini, di suatu momen istimewa dan bahagia ini, saya mencoba merasa istimewa dalam pengungkapkan rasa bahagia pada esai compang-camping ini: tentu, penuh harapan.
Dalam sebuah buku karangan Prof. Dr. AG. K.H. Al-Habib Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A., Dia Di Mana-Mana, dijelaskan mengenai sejarah awal mula adanya tulisan:
“Sejarah kemanusiaan dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama, adalah era sebelum ditemukannya tulisan, dan era kedua setelah tulisan dikenal oleh umat manusia. Sementara pakar berkata bahwa tulisan dikenal pertama kali di Mesir sekitar 5000 tahun yang lalu, yakni tulisan heroglifia yang berhasil diungkap rahasianya oleh Peneliti dan Orientalis Perancis, Champollion (1790-1832 M). Ada juga yang berpendapat bahasa pertama yang tertulis, ditemukan di Yangshau, wilayah Cina sekitar 4000-5000 tahun SM.
Dalam literatur agama dikenal nama Nabi Idris as. Banyak ulama yang merujuk ke Perjanjian Lama, menganggapnya sebagai kakek dari ayah Nabi Nuh as. Di sana beliau dinamai Henokh. Nabi Nuh as. menurut Perjanjian Lama adalah anak Lamekh, putra Metusalah putra Henokh (baca Kejadian V: 21-26). Agaknya orang-orang Arab atau Al-Qur’an menamainya Idris dengan mengambilnya dari akar kata darasa yang berarti belajar. Konon nama itu disandangkan kepada beliau karena beliau adalah orang pertama yang mengenal tulisan atau orang yang banyak belajar dan mengajar.”
Menulis dan membaca itu sulit untuk dipisahkan. Kedua hal itu saling berkaitan. Seorang penulis sulit untuk leluasa meluapkan ide dalam membahasakannya pada tulisan jika tidak membaca. Apalagi pembaca yang tidak mungkin dapat membaca jika tidak ada tulisan.
Karena memang, menulis dan membaca telah tertera dalam garis takdir yang ditulis dengan tinta emas, pada indikasi firman-Nya yang pertama kali diwahyukan, Surat Al-Alaq ayat 1-5:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Berbeda lagi dalam Surat Al-Qalam di awal ayatnya, Allah sampai bersumpah menggunakan kata Qalam atau pena:
“Nūn. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.”
Pantas saja Nabi Saw sampai berkata, bahwa ikatlah ilmu dengan tulisan. Dengan ini pula, Imam Asy-Syafi’i bersyair dalam diwannya yang indah:
الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ * قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ
فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.
Meskipun begitu, tidak ada sesuatu hal yang dinilai sempurna di setiap pandangan yang berbeda. Dengan kenyataan guratan takdir bertinta emas, nasib menulis dan membaca ternyata memiliki catatan kelamnya tersendiri. Kemahiran menulis dan membaca, di zaman dahulu kala, dianggap sebagai suatu aib. Karena memang, seorang yang menulis dianggap memiliki hafalan yang lemah, terutama bagi kalangan penyair.
Pernah suatu ketika Dzu ar-Rummah, seorang penyair Arab kenamaan, ditemukan ketahuan sedang menulis. Dengan begitu, ia memohon-mohon kepada orang yang melihat untuk tidak menyampaikan hal ini kepada siapapun, “Tulis menulis aib bagi kami,” demikian alasannya.
Kemudian, kita juga tidak bisa menutup mata akan fakta literasi, terutama di Indonesia,mengutip dari rri.co.id, mengatakan:
“Minat membaca buku di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Faktanya UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.”
Mengenai rendahnya minat baca di Indonesia, tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kepada para pembaca. Tapi ada sisi andil penulis yang menjadi faktor terhadap rendahnya minat baca di Indonesia, berupa masih minimnya persediaan buku yang beredar. Tidak sedikit perihal penulis yang keaktifan produktifitasnya dipertanyakan, untuk menyokong pasokan buku untuk dibaca.
Kok Bisa menyebutkan, dari kurang lebih 270,27 juta jiwa penduduk Indonesia yang ada, hanya 22.318.083 eksemplar buku yang tersedia. Dengan itu, rasio nasional terhadap buku hanya berkisar 0,09. Artinya, 1 buah buku diperuntukan untuk 11 orang.
Dengan begitu, sudah begitu jelas korelasi antara membaca dan menulis: tidak bisa dipisahkan, sama sekali.
Apa yang bisa kita lakukan?
Tags