web analytics

Usai Sebelum Mulai

Usai Sebelum Mulai
0 0
Read Time:3 Minute, 13 Second

“Kenapa?” tanyanya dengan nada yang mulai meninggi, mata berkaca-kaca, dan nafas tersenggal-senggal.

“Kenapa? Apanya yang kenapa? Semuanya baik-baik saja,” jawab si gadis dengan seulas senyum tipis, tangannya turut menepuk-nepuk pundak lawan bicaranya yang mulai menangis terisak.

“Kamu berubah,” jawabnya lirih, suaranya parau menahan isakan, buliran air mata mengucur deras membasahi pipi tirusnya.

“Hai..Don’t cry, okey,” jawab si gadis berusaha menenangkan sambil mengusap jejak-jejak air mata sosok di hadapannya, tangisnya mulai buat sembab matanya, hidungnya memerah begitu pula wajahnya yang basah.

Namanya Azura Wijaya, gadis remaja berusia 17 tahun, putri tunggal dari keluarga yang berada, ayahnya pejabat kota, dan ibunya dokter kecantikan yang sedang melejit karirnya.

Sekarang libur sekolah telah menyapa, para siswa-siswi menyambutnya dengan suka cita. Tapi, tidak dengan Azura.

Baca Juga: Rasa Aksara

“Kenapa kamu tak ikut bersama mereka?” gadis itu balik bertanya ketika tangis Azura mulai mereda.

“Aa..ku ii..ngin didi.si..ni,” jawab Azura terbata-bata, bibirnya masih terisak hingga badannya pun ikut terisak.

“Tapi kamu harus pulang Azura, aku pun tak bisa menemanimu lebih lama di sini,” tutur si gadis mencoba memberi pemahaman kepada Azura.

“Aku akan pulang jika kamu juga pulang,” paksa Azura.

“Tapi aku tidak bisa,” jawab si gadis lirih, matanya sendu, dia turut sakit melihat Azura yang sakit.

Baca Juga: Surya Sebatang

“Kenapa?” Azura kembali bertanya.

“Ini bukan soal kenapa Azura, tapi memang aku tidak bisa,”

“Alasannya?”

“Alasannya bahkan kamu sendiri sudah tahu jawabannya,” gadis itu kembali tersenyum tipis, memegang pundak Azura sambil berkata, “Azura…” panggilnya lembut, jemari lentiknya menghapus sisa-sisa jejak air mata, bibirnya kembali mengulum senyum dengan mata berbinar.

Azura membalas tatapan itu, mencoba menahan isakan yang tertahan di tenggorokan, sakit dan mencekik, tapi inilah realita.

“Dengarkan ya, Azura harus pulang. Sebentar lagi akan turun hujan, nan…”

“Enggak! Aku Nggak Mau Pulang!” potong Azura keras kepala.

“Azura!” gadis itu sedikit meninggikan suaranya, nafasnya tak beraturan, matanya memerah membendung air mata yang sudah meluap.

“Azura..semuanya sudah berbeda sekarang, kamu ngga bisa egois,” tutur si gadis memelankan suaranya, memberikan pemahaman agar Azura dapat mengerti.

“Aura..” Azura membuka suara.

Baca Juga: Surya Part 2

“Aku ingin minta maaf, karena selama ini aku selalu menyakitimu dengan egoku, ingin selalu dinomor satukan dari segalanya hingga lupa jika aku dan kamu itu sama-sama putri mama dan papa. Aku tak pernah menganggapmu sebagai saudara bahkan hanya sebatas menganggap kehadiranmu ada di dunia nyata itu pun tak pernah. Padahal selama ini kamu selalu mengalah dengan dalih sebagai kakak. Kita itu kembar tapi aku selalu membuat kita bertengkar, sedangkan kamu selalu sabar. Hingga sekarang aku sadar aku selalu membuat sekat yang begitu tebal diantara kita. Hingga aku sadari bahwa sekarang semuanya telah usai,” lanjut Azura mengutarakan isi hatinya.

“Tidak Azura, kecelakaan itu memang takdir, tidak ada yang patut di salahkan. Sekarang yang perlu kamu lakukan hanya mengikhlaskan. Hal yang sudah terjadi tak akan bisa direka ulang kembali. Kamu tak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Dan perlu kamu tahu bahwa kita bukannya tersekat tapi memang tak pernah dekat dan bukan pula usai tapi memang tak pernah mulai,”

Seketika itu, Azura terperanjat dari tidur lelapnya, di tepi batu nisan Aura, dengan mata sembab, pipi basah, dan hidung merah. Ternyata menangis membuatnya lelah.

Azura membenarkan penampilan dan posisi duduknya, ditaruhnya buket mawar merah di depan nisan Aura, kemudian ditaburkannya kelopak bunga mawar yang telah ia persiapkan sebelumya.

“Selamat Ulang Tahun Aura Wijaya. Happy Sweet Seventeen,” Ucap Azura serak, bibirnya mengulum senyum tipis, kemudian matanya terpejam, dalam hati ia berdo’a.

“Selamat jalan Aura, berbahagialah disana, semoga kita dapat kembali jumpa di surga. Terima kasih telah menjadi kakak terbaik dari yang terbaik dan maaf yang sebesar-besarnya karena telah menjadi saudara yang begitu buruk ketika kamu hidup di dunia.”

Perlahan kaki Azura melangkah pergi, hujan deras mengguyur tanah pemakaman, Azura tetap tenang dalam langkahnya, menikmati setiap buliran air hujan yang menyentuh kulitnya, batinnya berkata, “Sesuatu yang berharga akan terasa ketika sudah tiada dan itulah kamu Aura.” Wallahu a’lam.

About Post Author

Annisa Fitri Ulhusna

Santri Al- Mahrusiyah Lirboyo, Kediri. Santri ngabdi kiai dan seorang gadis penggemar literasi
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like