Apapun yang ada di dunia ini pasti ada limit. Ada batasnya. Eksistensi manusia pun adalah penggambaran batas itu sendiri. Semua organ kita terbatas: mata, telinga, hidung, tangan, kaki, mulut. Begitupun juga otak dan hati, pemikiran dan perasaan sebagai komponen penting dari diri.
Segala kegiatan yang kita lakukan sehari-hari menuntut dan tak terlepas dari peran otak. Berpikir, itu yang harus dilakukan. Meskipun entah serius atau tidak. Manusia penuh skeptis. Para pengusung kebebasan berpikir, seolah otak tidak ada batas. Bukankah pikun tanda dari dhaif itu sendiri? Dan berpikir mendalam tentang hal teologi, tidak attitude. Bukan hanya tentang apa, kenapa, kapan, di mana, dan bagaimana. Tak sesempit itu. Otak kita tak sampai. Maka dari itu, dalam pendidikan, hierarki kurikulum diterapkan. Menandakan betapa lemahnya otak kita. Betapa sempitnya pemikiran kita.
Perasaan pun seperti itu, ada batasnya. Sediam-diamnya orang, ada marahnya. Sesabar-sabarnya istri sinetron azab indosiar pun tetap ada nangisnya. Memang tak mudah dalam mengontrol perasaan: marah dan emosi. Jarang ada orang yang kuat dalam hal ini. Apalagi jika sudah menyangkut love-lovean. Yah, air mata doang isinya! Ditolak, nangis. Diputus, nangis. Diselingkuh, nangis. Ditinggal, nangis. Sudah berapa banyak pasangan yang putus karena nggak kuat LDR-an? Nggak kuat menanggung perasaan? Di balik segala per-uwuww-annya, cinta hanya tentang cengeng.
Suudzon pun, memandang orang hanya dari mata dan perspektif pribadi, entah benar atau salah, adalah jawaban dari betapa terbatasnya perasaan kita.
Dengan segala batas itu, beban pikir dan tekanan perasaan yang tidak dapat dihindari, sering mendatangkan kengeluh. Mengeluhlah! Jika mengeluh dapat meredakan, mengeluhlah! Saya tau, kita capek. Kita semua lelah. Lepaskan segala beban dan tekan itu. Biarkan diri mencari tenang dan senangnya masing-masing. Kita berhak mengeluh. Siapa orang hidup yang tidak pernah ngeluh? Semua pasti ngeluh. Bedanya, ia ungkapkan pada diri sendiri atau pada yang lain. Tapi, jangan lama-lama dan secukupnya.
Karena tidak asik juga kalau keterusan: malahan adu-adu, banding-membandingi. Jadi tidak heran, “eh, gimana, ya? Makna kitabku bolong-bolong, lagi?!” Dijawab, “yah, kamu mah masih mending. Lah, kitabku malah hilang!’
Rumusnya: 2 orang + “Kamu mah masih mending” = penuh keprihatinan.