Setiap hal yang kita miliki dan lakukan akan dipertanggung jawabkan. Pasti akan dipertanggung jawabkan. Dan perihal lisan, menjadi hal yang sensitif. Salamatul insan fi hizhil lisan. Selamatnya manusia tergantung pada bijak menjaga lisannya. Pentingnya lisan, meski dalam mayoritas masa sadar kita selalu dihabiskan dengan berkomunikasi, kerap kali kita bersosial dan berkomunikasi kurang hati-hati dalam menggunakan lisan.
Jangan sampai kita melukai perasaan seseorang. Luka tangan, masih bisa diobati. Luka kaki, masih bisa diobati. Luka hati? Susah jika luka telah menggores perasaan. Betul juga ungkapan, “mulutmu harimaumu!” Buas.
Bahkan, dalam mengucapkan hal baik sekalipun, jika di saat yang tidak tepat, jadinya tidak baik juga. Seperti, “untungnya api tak sampai ke rumahku,” ucapnya pada orang yang rumahnya kebakaran. Atau, “semoga anakku sehat selalu,” di hadapan orang yang keguguran.
Selain aspek kognitif dan psikomotorik, seharusnya kita sebagai manusia perlunya menggunakan afektif. Perasaan, juga harus dilibatkan dalam kehidupan. Terutama dalam penggunaan lisan. Itu termasuk toleransi dalam lingkup ukhwah basyariyah. Perlunya kita akan ngaji rasa! Perihal aspek intuitifitas!
Hal ini benar-benar harus diperhatikan. Serius, percaya atau nggak, hal itu saya alami sendiri. Mudahnya, seperti di pembagian nilai hasil ujian ushul fiqh. Soal yang keluar tentu tidak bisa kita tebak. Kita belajar materi yang sekiranya akan keluar nanti. Pas ujian, tenyata materi yang kita hafalkan, tidak sepenuhnya keluar. Dan nilai tidak bisa dibohongi. Nilai saya pas rata-rata. 4. Lalu, Si Fulan yang dapet 9 bilang dengan nada cukup kencang tidak memperhatikan orang, “Wah, aku dapat 9. Kok bisa nggak sohih? Salahnya di mana, ya?” -setelah diterjemahkan dari bahasa jawa, kira-kira gitu.
Dan kita yang dengar, jadi gimana gitu. Pas rata-rata aja penuh syukur lapang dada. Lah ini, malah begitu. Ya, tetap kita ambil baiknya aja. Tetap dijadikan pelajaran, tolak ukur untuk untuk lebih baik lagi dan lagi.
Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam. Bukan begitu ucap hadits? Tidak apa, diamlah. Diam itu emas. Tapi, jangan diam, diam, diam, eh keluar emas. Jadi bau sekelas. Idih.