Seseorang pernah berbisik kepada saya, “Dek, selalu ada alasan mengapa Allah mempertemukan kita dengan seseorang.”
Kala itu, saya hanya mengangguk mengiyakan, tak lantas meresapi maknanya. Namun, bertahun-tahun berselang, pengalaman demi pengalaman membuat saya paham. Kini saya punya sudut pandang baru yang meyakini bahwa setiap insan yang kita jumpai – terlepas dari apapun peran dan statusnya dalam kehidupan kita – adalah Guru kita.
Dari merekalah, kita belajar banyak hal, mendapatkan banyak pengalaman, dan merasakan spektrum penuh warna kehidupan. Lebih dari itu, dari merekalah kita memperoleh ilmu yang tak pernah termaktub di dalam buku.
Kehadiran orang lain bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari desain penciptaan, sebagaimana firman Sang Rahman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهُ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (berta’aruf). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Inilah yang terjadi dengan pelajaran yang kita dapat dari interaksi. Hakikatnya, interaksi adalah laboratorium keimanan kita. Pengetahuan kita tentang sifat-sifat mulia hanyalah peta, sementara hakikat pemahaman baru kita raih setelah labirin ujian yang diselenggarakan Allah melalui pertemuan dengan setiap insan.
Proses mengenal ini seringkali melalui jalan yang tidak nyaman. Kita tidak selalu bertemu dengan orang yang menyenangkan, tetapi justru di sanalah letak pembentukan karakter. Sebab, boleh jadi kita membenci sesuatu yang sebenarnya baik untuk pertumbuhan kita, begitu pula sebaliknya, selaras dengan firman-Nya:
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Kita mengerti ta’rif (definisi) sabar, sebagaimana kisah Nabi Ayyub AS, bahkan sudah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, namun kita belum memahami hakikatnya sebelum kita merasakannya pada diri sendiri. Kita juga belum benar-benar memahami ikhlas dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, sebelum kita dituntut untuk menghadapi hal serupa.
Inilah mengapa kehadiran orang lain sangatlah esensial. Mereka bukan hanya pemeran figuran, melainkan kurikulum hidup yang bertugas mendewasakan.
Bertemu dengan seorang pedagang kaki lima, kita dapat belajar seni berjuang di tengah terik dan hujan. Bertemu seorang rekan yang menjengkelkan, kita belajar mengolah emosi di bawah tekanan. Bertemu seorang pemimpin yang korup, kita belajar tentang konsekuensi moral dari kehancuran integritas, juga memahami betapa mahalnya harga kejujuran. Bertemu seorang pemuda yang tulus membantu, kita memahami arti empati murni yang melampaui sekat-sekat materi. Bertemu seorang rival, kita belajar bahwa kemenangan terbesar bukanlah menaklukkan orang lain, melainkan menaklukkan ego sendiri. Dan masih banyak contoh lainnya.
Ilmu yang bersifat teoretis belumlah cukup untuk dijadikan bekal menghadapi hiruk pikuk dunia yang dinamis dan tak terduga. Memang, kita perlu menjelajahi setiap inci kehidupan berbekal ilmu pengetahuan. Namun, ibarat kuliah tanpa KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan), mahasiswa tidak akan latihan menerapkan teori yang sudah dipelajari sesuai tuntutan situasi dan kondisi.
Oleh karena itu, bersyukurlah jika Allah mempertemukan kita dengan seseorang. Ialah yang akan memberikan pelajaran berharga yang tidak bisa dibeli dengan harga. Darinya, teori yang kita pelajari akan lebih berarti. Wallahu a’lam.