Di momen muhafdzoh seperti ini, ada hal menarik yang bisa kita bahas.
Sudah menjadi keniscayaan, bahwa pondok pesantren tidak lekang kiranya dari menghafal. Seperti bisa dipastikan dari seluruh pondok pesantren adalah menjadikan menghafal sebagai metode pembelajaran.
Baik Al-Qur’an, Hadits, kitab-kitab, atau ilmu-ilmu agama yang sudah diringkas ke dalam bentuk syair-syair yang mudah dinyanyikan dengan lagu-lagu yang beraneka ragam; atau yang lebih dikenal dengan sebutan nazham. Ilmu-ilmu yang sudah disyairkan tersebut, misalnya Matn Zubad untuk fiqh Mazhab Syafi’I, Nazham ‘Alala (akhlak), Nazham Aqidah al-Awam (tauhid), (Nazham ‘Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik (nahwu, gramatika bahasa Arab), as-Sullam al-Munawaraq (mantik, logika), al-Jauhar al-Maknun (sastra Arab), Nazham al-Baiquniyah (ilmu hadits), Nazham Waraqat (ushul fiqh), dan lain-lain.
Tidak hanya di Indonesia, para pelajar, santri, mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah, pada umumnya, bahkan menghafal kitab atau diktat yang masih dalam bentuk prosa atau narasi.
Metode menghafal dalam sistem pembelajaran memang sudah digunakan sedari dulu dan tetap eksis sampai sekarang. Siapapun yang memiliki kualitas dalam menghafal, di zaman dahulu, menjadi suatu privilege dan hal yang terbanggakan. Orang yang mempunyai kemampuan menghafal dinilai lebih utama dibanding orang yang menulis. Kegiatan menulis menjadi aib, tanda lemahnya hafalan, lemahnya otak. Penyair yang menghafal lebih utama dari penyair yang hanya menulis. Itu kenapa unsur tsiqah seorang perawi hadits menjadi salah satu unsur yang menentukan kualitas hadits itu sendiri.
Pada masa klasik Islam, tradisi menghafal tersebut begitu populer. Di sejumlah pesantren dan madrasah, kemampuan menghafal syair-syair ilmu tersebut acapkali ditampilkan oleh para santri di hadapan para guru dan khalayak, terutama pada momentum penutupan masa belajar (haflah akhir as-sanah atau imtihan). Pada orang tua yang diundang dalam acara tersbut merasa sangat gembira dan bangga melihat anaknya hafal Alfiyah dan seterusnya. Mereka tidak terlalu menganggap penting apakah anak-anaknya memahami apa yang dihafalnya atau tidak. Atau mereka justru menganggap bahwa hafal mengindikasikan paham dan mengerti.
Ada adagium metodologis yang selalu dipegang erat oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional: al-hafizh hujjah ‘ala man lam yahfazh (orang yang hafal menjadi argument terhadap orang yang tidak hafal).
Jelas sudah, bahwa keterangan itu menjadi backup atas fenomena-fenomena yang telah dibahas, bahwa kemampuan menghafal menjadi suatu keunggulan.
Tapi jika ditelaah lebih lanjut, bukan alangkah lebih baik jika tidak ada pengdikotomian tentang hal apa yang lebih unggul antara menghafal dengan metode pembelajaran lainnya. Karena setiap metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Hanya perlu penyelarasan, metode mana yang lebih sesuai. Terlebih jika harus dibandingkan berpikir dan memahami. Hanya karena sudah hafal, jadi tidak perlu lagi untuk dipikirkan dan dipahami. Karena tidak sedikit, bagi mereka yang mendalami metode menghafal ini justru tidak memahami pelajaran yang dihafalnya.
Menganai hal ini, ada sebuah syair yang mengatakan, “Wa jam’I al-fahma ma’a al-hifzhi yafi.” (Gabungkan pemahaman dan hafalan, niscaya akan memadai/sempurna).
Pengabungan dua system ini: memahami dan menghafal tentu saja ideal. Bersinerginya antara dua unsur penting dalam pembelajaran, akan menghasilkan suatu energi yang luar biasa dalam menyikapi ilmu pengetahuan. Antara hal tekstual dan kontekstual dapat beriringan bersama untuk membentuk semarak keilmuan.
Meskipun begitu, akan tetapi, adakah dengan menjalani keduanya akan menghasilkan keunggulan dan kemampuan yang sama?
Al-Jahiz, sastrawan dan teolog Mu’tazilah terkemuka, menjawab pertanyaan tersebut, “Mata adama al-hifzh adharra bi al-haifzh.” (Menekankan kebiasaan menghafal bisa mengurangi kemampuan menganalisis, dan kebiasaan menganalisis bisa mengurangi kemampuan menghafal). Lalu, mana yang lebih baik dilakukan jika kedua keinginan tersebut berhadapan?
Ibnu Rusyd al-Hafizh (w.1198), seorang sarjana muslim terkemuka dari Spanyol dengan keahlian ganda: filsuf, dokter, dan ahli hukum (faqih) ini pernah melontarkan kritik terhadap para ulama pada masanya yang lebih rajin menghafal teks-teks keilmuan dan mengikuti pandangan-pandangan tekstual para ulama daripada melakukan penelitian dan kajian rasional.
Menurut Ibnu Rusyd, para ahli seyogianya tida selalu bertaklid kepada orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal produk-produk fiqh mereka. Orang yang hafal produk-produk hukum para mujtahid, betapa pun banyaknya, tidak bisa disebut “faqih” (ahli fiqih), jika ia mampu menganalisis dan menggali teks-teks hukum secara mendalam, melalui argument-argumen yang dapat diterima akal pikiran dan mengembangkan dasar-dasarnya.
Selanjutnya Ibnu Rusyd membuat analogi dengan seorang ahli Sepatu. Ahli Sepatu, menurutnya, bukanlah orang yang di rumah atau di tokonya tersedia banyak Sepatu. Dengan begitu orang yang datang memerlukannya akan bisa langsung memilih dan memakainya. Akan tetapi, repotnya adalah jika pada saat yang lain, ada pembeli yang tidak mendapatkan ukuran dan model Sepatu yang cocok. Si ahli Sepatu tersebut tentu saja tidak bisa melayaninya. Apalagi dapat dipastikan bahwa Masyarakat terus berkembang dari waktu ke waktu dengan membawa kecenderungan (trend) yang semakin berubah-ubah. Maka, menurutnya, ahli Sepatu adalah orang yang bisa membuat Sepatu dan menciptakan model-model yang sesuai dengan tren zamannya.
Pandangan Ibnu Rusyd tersebut juga pernah dikatakan oleh Imam al-Ghazali sebelumnya. Katanya, “La yusamma ‘aliman idza kana sya’nuhu al-hifzh min ghair itthila’ ‘ala al-hikam wa al-asrar.” (Tidak disebut alim (pandai) orang yang pekerjaannya hanya menghafal teks-teks tanpa mengkaji dan menggali hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya). Hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia tentu saja adalah hal-hal yang terdalam, yang substantif dan yang rasional, bukan yang formal, yang kulit dan yang tekstual.
Pandangan Ibnu Rusyd tersebut mengisyaratkan sikapnya yang lebih mengunggulkan metode pemahaman dengan menggunakan kecerdasan intelektual terhadap aspek-aspek hukum sekaligus menunjukkan juga semangatnya untuk menganjurkan kepada para ulama agar berijtihad. Ini misalnya terbaca dalam buku fiqhnya yang terkenal, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Menganalisis dan mengkaji secara mendalam atas teks tidak bisa lain kecuali melalui akal intelektual yang dalam bahasa Ibnu Rusyd sering disebut hikmah, burhan, atau filsafat. Penggunaan akal, al-hikmah, al-Burhan, dan filsafat bagi Ibnu Rusyd adalah niscaya bagi perkembangan hukum dan pemikiran Islam yang lain.
Tanpa akal intelektual, teks-teks hukum dalam Al-Qur’an, yang menurut Imam al-Ghazali berjumlah 500 ayat, maupun hadits Nabi Saw., tidak akan menjawab kasus-kasus dan problem-problem kehidupan yang terus berkembang. Menurut Imam Al-Ghazali, ucapan-ucapan Nabi Saw. (an-nushuh), tindakan-tindakan Nabi Saw. (al-af’al), dan pengakuan-pengakuan (al-iqrarat) adalah terbatas, sementara peristiwa-peristiwa yang dihadapi manusia tidak terbatas. Adalah tidak mungkin bahwa hal-hal yang terbatas bisa memutuskan (menjawab) hal-hal yang tak terbatas. (Al-waqa’I baina asykhas al-anasi ghair mutanahiyah wa an-nushush wa al-af’al wa al-iqrarat mutanahiyah).
wallahu a’lam.
Referensi: Spiritualitas Kemanusiaan (KH. Husein Muhammad).