Di suatu detik, saya terseret deras arus pikiran Albert Eisntein. Ia bilang, “Manusia akan berubah dalam 2 keadaan: jika kesadarannya meningkat atau jika hatinya hancur.”
Entah, hal apapun yang dijadikan sebagai suport system, kita adalah obat bagi diri kita sendiri. Kita yang harus bergerak atas tujuan arah langkah kita. Karena memang hanya kita yang benar-benar tau, akan titik pemberhentian itu. Bagaimana dan sampai kapan, semua tergantung kita.
Untuk segala motivasi yang dicari, datang bertubi-tubi, hingga harus dikunyah dengan perlahan atau penuh rakus: nggak begitu berarti. Nyatanya bukan soal materi atau teori: kita hanya butuh praktek. Gerak.
Bukan maksud apa-apa, antara eksternal dan internal, tentu internal adalah yang memegang kendali penuh. Karena memang, sebagaimana konsep jiwa-nya Plato yang terdiri dari 3 unsur dan diliputi satu unsur lainnya, selain Epithumia, Thumos, dan Eros: Logistikon adalah unsur yang paling penting!
“Logistikon tu apeu?” Tanya salah satu masyarakat kampung Durian Runtuh yang mungkin seperti itu cara penulisan dialognya.
“Baca! Belajarlah! Enak aja.” Ucap penulis ketus ini.
Kita yang mengendalikan diri kita sendiri, secara penuh. Otak dan hati atau pikiran dan perasaan adalah penentu akan segala hal yang menjadi mesin gerak untuk ruang lingkup yang luas, nggak terbatas. Orang nggak begitu pengaruh, nggak berhak atas diri kita.
“Kita tidak hidup dari pertanyaan orang lain. Kita hidup dari jawaban kita sendiri!”
Sekali lagi, kita adalah obat bagi diri kita sendiri.
Tentu, kita yang paling tau soal kita.
Masih belum yakin?
Ibarat sebuah penyakit. Kita sakit. Maka ada 2 hal yang perlu digaris bawahi akan ini: penyakitnya dan tubuh selaku wadah sakit itu: sifat dan dzat. Saat seperti itu, mungkin ada beberapa orang yang bersuara akan ini, mungkin bermaksud peduli. Mereka semua mencerca kita dengan berbagai ucapan bentuk simpati dan motivasi-motivasi. Meskipun juga nggak semua orang dari mereka bersuara. Dari yang bersuara pun, nggak semua yang simpati dan memotivasi itu mengena. Sekalipun mengena, hal itu hanya mengarah pada penyakit kita yang mungkin ia pun punya kesan pengalaman pribadi yang relate dengan kita, akan dirinya.
Kita punya masalah, contoh, dengan sakit hati. Segelintir orang yang bersuara dan terpilih akan masukan simpati dan motivasinya yang mengena pada kita, mungkin karena ia pun pernah merasakan hal itu, hal serupa. Jadi karena ia sendiri yang pernah merasa membuat alam sadar logika kita pun setuju untuk respon ‘terasa’. Begitu relate. Sekali lagi, hal itu hanya mengincar penyakit atau masalah kita. Tapi, seberat apapun penyakit atau masalah ia, juga tentang motivasi-motivasinya yang bijak lagi membangun, nggak akan pernah bisa untuk tubuh. Karena tubuh kita berbeda dengan tubuhnya. Hanya kita yang tau tentang tubuh kita, hanya kita yang tau rasa tubuh kita. Selamanya, setiap tubuh ada porsinya masing-masing.
Jadi intinya, tetap kita sendiri yang harus mengurus. Kita yang penyakit, kita pula yang harus menjadi obat.
Di luar itu, begitunya kita akan diri sendiri. Betapa lemahnya kita yang sedang sakit dan harus mencari atau bahkan menjadi obat itu sendiri. Tentu kadang nggak mampu. Tentu kadang gagal. Sudah seharusnya kita harus mencari titik temu akan permasalahan ini. Karena memang, betapa bingungnya saya, kenapa orang begitu asyik bersibuk-sibuk membahas permasalahan tanpa sesekali untuk membahas solusi masalah itu sendiri. Dengan begitu, malahnya tumpuk-tumpuk masalah baru.
Setelah di suatu titik kita benar-benar ingin berubah, bangkit dari segala keterpurukan yang mengikat diri, tentu sudah kita analisis terlebih dahulu: letak salahnya di mana, pencapaian apa yang ingin dituju, dan bagaimana metode usahanya.
Setelah aspek-aspek itu benar-benar matang hingga lahirlah kepercayaan diri, nyatanya belum bisa menjamin akan hasil manis dari ekspetasi penuh, usaha bercapek-capek kita selama ini. Kadang atau sering kali: kita gagal. Lagi-lagi, berkali-kali.
Lalu, tanpa kenal putus asa atau memang nggak tau diri, siklus itu kembali berputar dan terulang: evaluasi, reward, dan step.
Hingga, teori perubahan, aspek eksternal dan internal, hingga schedule siklus itu yang terasa begitu semrawut kusut di otak dan hati yang nggak seberapa.
Setelah berpikir dan merasa yang jauh lagi dalam, dari setiap jawaban sementara yang muncul, ini yang paling relevan dari hasil observasi dan eskperimen: gejolak.
Tentu muak untuk yang terus menerus jatuh, lagi-lagi gagal. Setelah begitu panjang usaha yang sudah dirancang, begitu penuh serius hingga akhirnya harus kembali putus. Pupus.
Saya rasa penyebab kegagalan atas semua prospek tuju kita itu disebabkan oleh gejolak. Entah, saya nggak bisa menilai apakah baik atau buruk, tapi gejolak itu benar-benar menjadi tokoh utama kegagalan. Mungkin banyak contoh, sebut saja gejolak amarah, gejolak lelah, gejolak percintaan, gejolak lapar, atau apapun. Saat gejolak itu datang, ia akan menyerang 2 pusat inti: hati dan pikiran. Seperti yang kita tau bahwa hati dan pikiran berisi akan segala prospek tuju itu. Sebagaimana sifat gejolak, ia akan mengguncang. Semakin kencang dan besar guncangan, maka semakin besar pula peluang untuk runtuh. Dan kadang kita begitu asing percaya diri untuk mengenal dan mengontrol diri: sehat, atau sekedar mood.
Dengan ini, terlihat jelas di setiap usaha mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi, nyatanya masih menimbulkan masalah. Masalah baru yang butuh solusi baru.
Lalu, poin apa yang bisa dipetik?