Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci. Tapi lusuhnya hati, siapa yang tahu?
“Kepada sang merah putih…Hormaaat grak!!” Suara sang pemimpin upacara menggema ke seluruh sudut lapangan. Hari ini, pada tanggal 17 Agustus, peringatan yang sudah sangat tidak asing lagi bagi seluruh warga di Negrei ini. Bendera suci itu berkibar di segala penjuru Negeri, tapi tidak untuk halaman rumah Pak Gigih.
“Papa, kok halaman rumah kita nggak ada bendera merah putihnya sih, Pa? Padahal tetangga kita pada pasang di halaman rumah.” Tanya sang pewaris tunggal.
“Papa lagi sibuk, Galih.”
“Nanti kita dikira nggak cinta tanah air loh, Pa.”
“Galih tadi ikut upacara bendera kan? Itu pertanda cinta tanah air juga loh, lagian bendera kita udah lusuh, malu sama tetangga.” Bela sang Papa, namun Galih hanya ber-oh ria.
***
Sama seperti hari biasanya, Pak Gigih sibuk dengan pekerjaannya sebagai reporter.
“Pak Gigih, saya ingin minta tolong kepada Pak Gigih beserta dengan anggota tim Bapak.” Pinta seorang lelaki gondrong yang diyakini sebagai rekan kerja Pak Gigih di kantor.
“Ada apa ya Pak?”
“Begini pak, relawan dari organisasi sang pemuda ingin didampingi dengan reporter, jadi saya minta tolong kepada bapak dan teman-teman dari tim bapak yang kebetulan juga tidak ada jadwal, bapak bisa menyanggupi?”
“Oh, dimana lokasinya, Pak?”
“Di negara jajahan Israel Pak.”
***
Pak Gigih begitu prihatin dengan keadaan negara ini, kota yang semua indah, tentram, dan damai habis dibombardir oleh penjajah. Mata Pak Gigih tak sengaja bertemu dengan mata seorang anak kecil yang umurnya sepantaran dengan Galih, anaknya.
“Kok kamu sendirian di sini? Mengapa tidak pergi ke penginapan bersama dengan yang lain?” Tanya Pak Gigih.
Namun sang empu hanya memandang kosong Pak Gigih sembari memeluk sebuah bendera yang amat lusuh. Anak itu berlari kecil dengan bendera yang ditalikan di lehernya layaknya Superman. Anak itu tertawa riang bersamaan dengan bendera yang berkibar, hati Pak Gigih ngilu melihatnya, dan tiba-tiba..
“Doorr!!” Sebuah peluru melesat menembus dadanya. Seketika air mata Pak Gigih luruh begitu saja tanpa aba-aba. Bagaimana bisa anak kecil yang hanya ingin mengibarkan bendera negaranya ditembak begitu saja tanpa perasaan, apakah mereka tidak memiliki hati?
“Ayah, ayah, banguun..Galih mau berangkat sekolah ayah!!” Pak Gigih pun terbangun dari mimpi panjangnya.
“Ayah kok nangis?” Tanya Galih penasaran.
Pak gigih tak menghiraukan pertanyaan Galih dan langsung berlari menuju lemari kayu yang amat tua lalu mengambil sebuah bendera dan memasangnya di halaman rumah.
“Ayah, 17 Agustusannya udah selesai.” Seru Galih heran.
“Masang bendera nggak harus tanggal 17 Agustus kan, Gal?” Galih pun tersenyum tipis.
“Hormat grak!”
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjaya dengan segitiga warna, selama masih ada ratap tangis dari gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengeluarkan banyak-banyak keringat.” Tertanda Ir.Soekarno.
Tamat