web analytics

Dibalik Larangan Santri Putri Memakai Gamis dan Konsep Barokah

Dibalik Larangan Santri Putri Memakai Gamis dan Konsep Barokah
1 0
Read Time:5 Minute, 35 Second

Waktu sesi Q&A seminar bareng Buya Husein tadi (15/06), di Aula IAI Tribakti, ada pertanyaan menarik dari salah satu Mahasiswi (saya lupa namanya)

Bahkan Cak mad sendiri juga ‘terkejut’ mendengarnya.

“Aturan tentang pemakaian baju santri putri, tidak boleh pakai gamis, dengan ukuran panjang yang telah ditentukan, dengan alasan nanti menyamai Bu Nyai, atau ning-ning dan berujung kurang barokah, lalu, Bagaimana konsep barokah itu (Seolah) mempengaruhi ruang gerak perempuan?”

Kira-kira begitu intisari pertanyaannya,

saya tidak memiliki Kewajiban menjawab sebenernya, cuman bathin saya bergejolak dan seolah meresonansi otak saya untuk merespon.

Begini, peraturan yang ada disegala lini sosial-masyarakat tentu tidak dibuat sembarangan, apalagi di Pondok Pesantren yang kesakralannya begitu dilestarikan.

Nah dari peraturan di sebuah Pondok putri ‘Dilarang memakai gamis’ serta merta tidak hanya karena menyamai Bu Nyai. Bukan itu satu-satunya faktor.

Bila mbak Mahasiswi yang budiwati tadi menelaah lagi dawuh Buya Husein diawal-awal sesi, maka akan menerangi pertanyaan ini, Buya Husen ngendikan,

“Teks itu tidak hadir diruang kosong, teks tidak hadir diruang yang tidak ada manusia yang didalamnya. Teks Alquran Hadits dan macam-macam itu merupakan respon atas kasus realitas didalam kebudayaan masing-masing.
Setiap pernyataan adalah jawaban respon, reaksi terhadap kasus-kasus peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah komunitas manusia yang ada dalam sebuah kebudayaan sendiri-sendiri.”

Buya Husen menyampaikan dengan tegas padahal beliau terkenal halus lho.

Nah Relate kan Pernyataan beliau dengan pertanyaan si embak?

Peraturan mengenai larangan memakai gamis diatas tentu bukan peraturan abal-abal, apalagi kepentingan satu personal (Dalam hal ini Ning/ Ibu Nyai).
sebelumnya kita harus mempelajari realitas apa yang terjadi di pesantren, tersebut.

Peraturan pondok diatas menurut saya adalah respon dan jawaban dari realitas yang terjadi di pesantren. Nah, hal-hal yang mendasari lahirnya peraturan tadi diantaranya ialah,

1. Menaikan Ongkos Materi

Peraturan tadi lahir atas realitas respon santri putri yang gemar memakai gamis, nah gamis tadi identik dengan hal yang mahal barangkali akan memberatkan beberapa wali santri tentunya. karena tidak semua walisantri kelasnya middle-up tentu akan menaikan biaya hidup santri.

2. Merusak Tradisi
Gamis itu cenderung bagian dari busana modis nan hedonis dan itu akan berpotensi membuat santri putri ‘lebih’ gemar bersolek dan mengilangkan tradisi salafi dipesantren yang terkenal dengan kesederhanaannya. Kenapa kok sederhana? kembali lagi ini adalah tradisi salafi yang sudah dianut sekian abad. Berani Melanwannya? atau mau buat Konsep pesantren versi sendiri?🙂

3. Merusak Konsentrasi Bertolabul ilmi

Nah bila sudah gemar bersolek, fokus santri putri untuk menuntut ilmu itu kan lebur, karena malah fokus memperbagus dan bersaing dalam hal berpakaian daripada saling fastabiqul khoirot dalam hal keilmuan -yang seharusnya tupoksi santri-

4. Hal Teknis,
Gamis itu lumayan memakan space kamar, nah ini bisa berpotensi untuk membuat overload isi kamar. belum lagi beberapa design Gamis itu ada yang agak sensual yang tidak pantas di pakai santri putri. Maka dibuatlah aturan ini.

Nah 4 hal diatas adalah alasan dibuatnya peraturan dilarang memakai gamis. Jadi konteksnya bukan bermaksud membatasi ruang gerak perempun, Enggakkk. ini demi maslahat umum karena demi sebuah tujuan tholabul ilmi.

Dzuriah pun tahu betul kaidah
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Tasharruf (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.

Saya utarakan lagi, ini bukan masalah menyamai Ibu nyai melainkan lebih ke Maslahat umum.

Nah mengenai peraturan diatas apabila dilanggar, lalu berujung tidak barokah ilmu kita, Bukankah sama saja Barokah membatasi Berbusana perempuan ?

Gini, Barokah kan artinya (ini perlu digaris bawahi) “Ziyadatul khoir” “Bertambahnya kebaikan”

Lalu jika santri melanggar peraturan yang bertujuan jelas-jelas untuk kemaslahatan, kira-kira logis ndak jika tidak barokah? atau istilahnya masuk akal ndak kalau tidak “bertambah kebaikannya”?

Analoginya begini, “Peraturan diatas dilanggar, santri maksa tetap memakai gamis, lalu santri lainnya pada minta dibelikan gamis, berakibat pada dompet wali santri menangis, atau rusaknya konsentrasi belajar karena sibuk mikirin busana belum lagi tiba-tiba kamar overload gaada tempat buat tidur”.

Kira-kira begitu letak ketidak barokahannya.

Sederhananya konsep barokah alias ” bertambahnya” kebaikan ini adalah cara pesantren untuk mendapatkan kebaikan itu sendiri.

Kebaikan”nya berupa apa? Terwujudnya iklim mencari ilmu yang sejuk tentram tanpa adanya senggolan pada 4 perkara yang melahirkan peraturan tadi.

Lalu mengenai “Menyerupai Ning/ Bu Nyai Gimana?”

Nah, Karena konteks pesantren adalah tempat mencari ilmu, bila perempuan tadi dibiarkan memakai Gamis yang harganya selangit itu, akan ‘berpotensi’ bersifat sombong pada si Santri atau minimal menimbulkan rasa ujub pada si pemakai gamis tadi. Tau sendiri kan, ilmu ibarat air, ndak ‘mau’ mengalir pada tempat tinggi?
Kan Karuan mending gak mondok saja kalau ujungnya cuma pamer busana?

Artinya yang memakai gamis tadi cukuplah ning/ Ibu Nyai yang standar ilmunya sudah tingg Plus segi finansialnya aman.
Lha santri??? ilmu aja lum tinggi, kiriman masi minta, masak gayanya mau selangittt?? yekan heheu.

Nah dalam hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki pun juga mengalami hal demikian. Lihat sendiri kan Kiai” di Indo jarang memakai Imamah? atau santri putra jarang memakai Jubah?

Yaa… Karena secara tradisi, Imamah atau jubah itu biasanya dipakai bagi orang yang memang sudah benar-benar berilmu atau minimal disepuhkan lah.

Maka tak ada tuh angan-angan dari para santri putra untuk menyamai Habaib atau Kiai dalam hal memakai jubah dan Imamah, Karena apa? kami tahu diri belum pantassss…..memakai itu

Tambahan lagi, mengenai santri memakai Gamis menyamai Ning/ Ibu Nyai ini saya teringat Ayat
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرْفَعُوٓا۟ أَصْوَٰتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ ٱلنَّبِىِّ وَلَا تَجْهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَٰلُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
yang Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.”

Ayat diatas menyuruh kita untuk tidak berkata seenaknya kepada Nabi dan supaya ada pembeda dalam intonasi bicaranya dibandingkan ngobrol dengan orang biasa.

Nah, Hemat saya, santri putri tidak memakai gamis itu anggaplah sebagai wujud memuliakan Istri/ Anak putri dari seorang ulama sang pewaris nabi namun dari hal berbusana, agar santri tidak menyaingi apalagi melebihi.

Point pentingnya adalah, peraturan tadi lahir atas realitas dan tradisi yang ada di pesantren demi kemaslahatan dalam hal mencari Ilmu dan menolak potensi-potensi mafsadah. So, barokah memang mempengaruhi ruang gerak perempuan namun mempengaruhi ke hal yang positif dan dar ul mafasid yang berpotensi terjadi kepada perempuan.

demikian pandangan dari saya. CMIIW

Terakhir saya memberi apresiasi kepada si Penanya, telah berani mengeluarkan uneg-unegnya.

Wallohu a’lam.
@Elnahrowi

 

About Post Author

Elnahrowi

Santri Pondok Al-Mahrusiyah yang suka Menulis dan Berjurnalis. Asal dari Sragen Jawa Tengah
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
100%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

2 thoughts on “Dibalik Larangan Santri Putri Memakai Gamis dan Konsep Barokah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like