HSN 2024. Telusur Ulang & Merenungi Peran Serta Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan
Kita telah memasuki bulan Oktober. Seperti yang kita ketahui, pada bulan Oktober terdapat satu perayaan yang dimulai sejak tahun 2015, yakni Hari Santri Nasional (HSN). Peringatan yang ditetapkan melalui Kepres No. 22 Tahun 2015 tersebut mengungkap perjuangan dan keikutsertaan santri dalam mewujudkan dan menjaga kemerdekaan NKRI.
HSN bermula ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Pesantren Babussalam di Malang pada tanggal 27 Juni 2014 yang berjanji akan menetapkan tanggal 1 Muharrom sebagai Hari Santri jika terpilih menjadi presiden. Selanjutnya, Joko Widodo pun terpilih menjadi presiden, namun Nahdlatul Ulama menolak Hari Santri disepakati pada 1 Muharrom. Pada tanggal 22 April 2015, 12 ormas islam menandatangani ususan Hari Santri diperingati setiap 22 Oktober.
Dari sekian banyak momen perjuangan santri demi kemerdekaan, tanggal 22 Oktober tentunya bukan dipilih tanpa alasan. Tanggal tersebut akan mengingatkan pada perjuangan para santri dan ulama saat mempertahankan Indonesia, terlebih peristiwa pada tanggal dan bulan yang sama di tahun 1945—diumumkannya Resolusi Jihad untuk melawan penjajah yang mencoba menguasai kembali Indonesia.
Resolusi Jihad menjadi sangat monumental bagi santri dan ulama di Indonesia, karena Resolusi Jihad merupakan hasil dari penghayatan dan perenungan nilai-nilai islam kebangsaan. Sehingga Resolusi Jihad menjadi semacam puncak gunung es dari berbagai perjuangan santri demi NKRI.
Di sisi lain, Resolusi Jihad bukan suatu ketetapan asal-asalan. Resolusi Jihad difatwakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh ulama karismatik Indonesia dengan pandangan yang begitu luas tentang hidup dalam kemajemukan.
Kita bisa melihat cerminan sikap KH. Hasyim Asy’ari dari peran serta kiprah beliau, diantaranya:
1) Menggembleng Laskar Hizbulloh
Laskar Hizbulloh dalam bahasa Jepang memiliki nama Kaikyo Seinen Teishintai yang memiliki makna sama, “Tentara Allah”. Jepang yang terdesak karena berkonfrontasi dengan sekutu membentuk Laskar Hizbulloh sebagai cadangan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Jakarta pada 14 Oktober 1944. Kepengurusan Hizbulloh pusat dibentuk melalui hasil rapat pleno Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang kala itu dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Pendaftaran anggota Laskar Hizbulloh dibuka melalui surat kabar “Suara Asia” yang terbit di Surabaya, kemudian disebarkan oleh KH. Saifuddin Zuhri dari pesantren ke pesantren. Dengan adanya seruan dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim untuk bergabung dalam laskar ini, menjadikan pemuda-pemuda islam terutama kalangan pesantren berbondong-bondong untuk mendaftar.
Pemerintah pendudukan Jepang melatih kemiliteran 500 angota Laskar Hizbulloh, untuk kemudian kembali ke daerah masing-masing dan membentuk barisan Hizbulloh di daerah-daerah asal dengan melakukan pelatihan serupa. Dari sekian banyak daerah, salah satunya adalah Jombang yang berpusat di Pesantren Tebu Ireng dengan KH. Hasyim Asy’ari sendiri yang memberikan wejangan dan penggemblengan pada pejuang laskar. Beliau juga memberikan amalan-amalan, doa-doa dan wirid. Laskar ini pula yang ikut berperang dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonseia dari sekutu, termasuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
2) Mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad
Tanggal 17 September 1945, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad di kalangan kiai dan santri yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai jihad fii sabilillah. Ini adalah jawaban dari pertanyaan presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan tanah air bagi umat Islam.
Selanjutnya PBNU mengadakan rapat konsul se-Jawa-Madura di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Pada malam hari tanggal 21 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar PBNU menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, baik pria atau wanita, untuk ikut jihad mempertahankan tanah air bangsa.
Pagi hari di tanggal 22 Oktober 1945, di akhir pertemuan, PBNU mengeluarkan “Fatwa Jihad Fii Sabilillah” yang diserukan pada umat Islam, dan dalam bentuk “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” yang disampaikan kepada pemerintah Republik Indonesia. Dalam buku “Fatwa & Resolusi Jihad”, Agus Sunyoto menyebutkan isi dari fatwa tersebut sebagai berikut:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja.”
Dalam waktu singkat kabar “Fatwa Jihad” tersebut menyebar lewat masjid ke masjid, musholla ke musholla, mengobarkan semangat berjihad, terutama penduduk Kota Surabaya. Sedangkan “Resolusi Jihad” yang disampaikan kepada pemerintah disebarkan lewat surat kabar. Dengan adanya Fatwa dan Resolusi Jihad ini, rakyat dan para pimpinan—terutama di kawasan Surabaya—melakukan persiapan tersendiri untuk menyambut rencana kedatangan pasukan sekutu di Surabaya, yang sebagian besar usaha penyambutan tersebut di luar perkiraan pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta.
Sangat memungkinkan berbeda jika yang terjadi adalah sekutu datang dan kita kalah dalam peperangan tanpa perlawanan akibat kurang mempersiapakan diri untuk menghimpun kekuatan. Tentunya, Fatwa Resolusi Jihad termasuk salah satu yang memiliki peran penting dalam hal ini.
3) Taktik Dakwah Memanfaatkan Jepang
KH. Salahuddin Wahid dalam sebuah kesempatan pernah menjelaskan, bahwa saat dijajah oleh Jepang, warga Indonesia banyak diberikan ruang terutama untuk tokoh-tokoh Islam. Bahkan dibentuk badan yang mengurusi keagamaan atau Shumubu yang diminta jadi ketua yaitu KH. Hasyim Asy’ari, tapi beliau menolak dan memberikan kepemimpinan pada putra beliau, KH. A. Wahid Hasyim. Dari kedekatan dengan Jepang ini melahirkan Laskar Hizbulloh dan PETA yang juga dilatih oleh Jepang.
Tentu saja kedekatan dengan Jepang hanya sebuah taktik dakwah. Tidak mungkin sekali dengan frontal untuk melawan Jepang, yang ada justru memanfaatkan ruang yang disediakan untuk membentuk dan mengumpulkan kekuatan demi kemerdekaan. Politik memanfaatkan dengan dalih kerja sama oleh tokoh-tokoh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari terbukti memberikan jalan mulus menuju kemerdekaan Indonesia.
4) Membesarkan Umat Islam Prihal Dasar Negara
Untuk merumuskan dasar negara, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) melaksanakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei-01 Juni 1945, namun, belum menemukan hasil konkrit karena perbedaan pandangan beberapa tokoh. Sehingga, berikutnya, dibentuklah Panitia Sembilan dengan salah satu tujuan menerima dan menanggapi berbagai masukan tentang dasar negara untuk kemudian dirumuskan dan dipertimbangkan. Tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta berhasil disusun.
Pada mulanya, di dalam naskah Piagam Jakarta—tepatnya pada alinea keempat—tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meskipun rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam, namun rakyat Indonesia tidak hanya berasal dari kalangan muslim. Beberapa tokoh perwakilan dari Indonesia bagian Timur menyatakan keberatan dengan sila pertama dalam rumusan tersebut dan mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika tidak ada tanggapan.
Pada akhirnya, ketika sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, Mohammad Hatta membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi politik sebagai berikut:
1. Kata “Muqaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”
2. Sila pertama dalam pembukaan UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat lslam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
3. Perubahan Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” diganti menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli”
4. Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat lslam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perlu diketahui bahwa Panitia Sembilan merupakan peserta pada sidang BPUPKI dan terdiri dari golongan Islam dan golongan nasionalis. Sembilan orang terpilih itu adalah sebagai berikut:
1) Ir. Soekarno (Ketua)
2) Drs. Mohammad Hatta (Wakil Ketua)
3) K.H. A. Wahid Hasyim (Anggota)
4) Kyai Haji Kahar Muzakir (Anggota)
5) Mr. A.A. Maramis (Anggota)
6) Abikusno Tjokrosujoso (Anggota)
7) Mr. Achmad Soebardjo (Anggota)
8) H. Agus Salim (Anggota)
9) Mr. Muhammad. Yamin (Anggota)
Tentu saja penerimaaan perubahan dasar negara tidak lepas dari tokoh islam yang ikut andil di dalamnya, termasuk KH. Hasyim Asy’ari yang ikut menenangkan hati umat islam dengan keputusan tersebut demi kemaslahatan bersama. Meski Islam merupakan agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat Indonesia, namun dengan adanya penerimaan perubahan ini menampakkan kebesaran hati pemeluk Islam dalam mewujudkkan kemerdekaan dan NKRI yang berdaulat.
Dengan mengetahui sikap dan pemikiran ulama serta santri terdahulu dalam menerapkan ilmu di kehidupan, serta perjuangan mereka pada masa penjajahan demi kemerdekaan, sangat pantas sekali jika sejarah perjuangan itu disampaikan ulang dalam bingkai peringatan Hari Santri Nasional. Sehingga kita bisa mengetahui dan memahami bagaimana seharusnya bersikap layaknya santri dengan merenungi sejarahnya. Mungkin, jihad di era Revolusi Industry dan Society ini sudah tidak relevan lagi jika menggunakan bambu runcing, senapan, meriam atau yang lainnya. Kita kerap mengkerdilkan makna Jihad yang teramat luas dengan hanya memandang aspek kekerasan dan peperangan. Padahal, sekedar memerangi hawa nafsu juga merupakan sebagian dari jihad itu sendiri.
Semoga kita bisa menjadi santri yang sesungguhnya, serta mampu meneruskan, dan menjaga nyala api semangat perjuangan para ulama terdahulu. Amin.[]
Oleh: San Bashori