Di luar segala macam ibadah dan setumpuk pahala sebagai konsekuensi, sejatinya, Ramadhan adalah bulan tarbiyah; bulan pendidikan.
Banyak hal yang kita dapatkan dari bulan Ramadhan. Banyak kebaikan yang ditemui, banyak pelajaran yang bisa diambil dari setiap jengkal tangan, langkah kaki, hingga hirup nafas kita dalam bulan Ramadhan.
Ya, Ramadhan bulan tarbiyah.
Ramadhan bulan pendidikan.
Tidak hanya soal eksoterik dan esoterik, universal dan spasial, ekstrinsik dan intrinsik, kita membahasakannya dengan jasmani dan rohani, dzohiriyah dan batiniah, ritual dan spiritual.
Dalam hal ritual, sudah jelas Ramadhan mendidik dengan berpuasa. Bagaimana Ramadhan mengatur sepenuhnya tingkah laku dan perbuatan kita yang harus bijak dalam membagi waktu untuk bekerja, ibadah, dan istirahat. Ramadhan melatih kita untuk lebih konsisten dan produktif.
Juga perihal tatakrama dan akhlaqiyah. Ramadhan menuntun kita untuk bijak memilah dan memilih apa yang harus dilihat oleh mata, apa yang harus didengar oleh telinga, apa yang harus diucapkan oleh lisan, apa yang harus dipegang oleh tangan, dan apa yang harus dijejaki oleh kaki. Meski sepenuhnya di hari lain tetap sama instruktifnya, tapi Ramadhan memberikan kesan dan persepsi lain akan ini.
Lalu, dalam hal spiritual, Ramadhan memberikan andil yang sangat berarti bagi diri kita. Sesederhana, ibadah kita yang seketika melonjak meningkat di setiap waktunya. Kita berpuasa dengan sungguh, shalat lebih rajin dan berjama’ah, kewajiban zakat, terpacu untuk khatam tadarus Al-Qur’an, berdzikir beri’tikaf, menghidupi malam dengan tarawih dan tahajud, hingga momen-momen yang memberi kesempatan untuk kita bersedekah dan berbagi. Tentu itu semua sangat berdampak, terutama pada ketenangan hati dalam menjalani hidup.
Itu kenapa, Ramadhan, terkhusus puasanya saja, memiliki beberapa fadilah dan keutamaan yang baik bagi kita. Mulai dari hikmah spiritual dengan bentuk meningkatkan ketakwaan, muqarabah, syukur, dan amanah terhadap perintah Allah, juga melatih kesabaran; hikmah sosial dengan bentuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian kita akan sesama, bahwa tidak sedikit dari saudara muslim kita yang merasakan kelaparan di setiap harinya; hikmah psikologis bahwa Daniel Goleman, seorang ahli dan peneliti tentang kecerdasan emosi, berpendapat perihal puasa dapat mempengaruhi kecerdasan dan kesuksesan; dan tentunya hikmah kesehatan, seperti puasa yang mampu mengistirahatkan organ pencernaan, menghilangkan racun tubuh, meningkatkan kekebalan tubuh, mencegah timbulnya penyakit, sebagai terapi penyembuhan penyakit, menahan nafsu seks dan memperbaiki kualitas sperma, mencerdaskan otak, meningkatkan daya serap makanan, menguatkan jantung.
Banyak hal yang menjadikan alasan bagi seorang muslim dalam menyemarakan tarbiyah Ramadhan ini. Sebut saja dari reward atau imbalan, baik anak kecil yang diiming-imingi hadiah jika saja puasanya berhasil penuh, hingga beranjak dewasa yang terpacu ibadah sebab pahala-pahala yang ditawarkan. Itu juga tidak apa-apa. Meskipun alangkah lebih baiknya, jika kita beribadah semata-mata karena Allah Swt.
Di luar itu yang tidak kalah pentingnya, bahwa majelis-majelis ilmu yang banyak digelar selama Ramadhan, baik pengajian ba’da subuh, kuliah dhuha, kultum menunggu maghrib, hingga ceramah di sela tarawih dan witir. Pada kesempatan itulah, ilmu-ilmu ditularajarkan secara langsung, perihal khazanah keislaman dan kebaikan-kebaikan Ramadhan. Pendidikan yang disampaikan dengan sistem halaqah, memberikan efektifitas tersampaikannya sebuah ilmu.
Jika diam dan tidurnya saja dihitung ibadah, apalagi jika waktu di bulan Ramadhan diisi dengan mencari ilmu yang jelas-jelas ibadahnya.
Syekh Utsman bin Husein menjelaskan dalam kitabnya, Durratun Nashihin, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Nabi Muhammad Saw bersabda:
مَنْ حَضَرَ مَجْلِسَ العِلْمِ فىِ رَمَضاَنَ كَتَبَ اللهُ تَعاَلىَ لَهُ بِكُلِّ قَدَمِ عِباَدَةَ سَنَةٍ
“Barangsiapa hadir di majelis ilmu pada bulan Ramadhan, maka Allah menulis bagi orang tersebut tiap-tiap jangkahan kakinya sebagai ibadah satu tahun.”
Di satu sisi, dengan hal-hal yang kita lakukan selama Ramadhan, hal-hal baik yang dilakukan terus menerus dan berulang, diharapkan akan menjadi kebiasaan yang menetap di diri kita untuk dibawa dan dijadikan landasan kepribadian dalam menjalani hidup di selepas Ramadhan.
Walau Ramadhan telah lewat, kita tetap bisa rajin berpuasa, sholat tepat waktu dan berjama’ah, tadarus Al-Qur’an, berdzikir dan i’tikaf, dan bersedekah. Itulah pendidikan inti yang diterapkan dalam bulan Ramadhan, yaitu pendidikan berbasis penerapan. Agar apa yang telah kita latih selama Ramadhan, akan tetap bisa diterapkan dan berlanjut di luar bulan Ramadhan.
Itu mengapa Cak Nun menjelaskan dalam bukunya, Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang:
“Puasa itu sebuah metode. Ada mekanisme di dalamnya; tidak makan dari pagi sampai sore. Kalau kita ambil intinya, itu adalah menahan diri. Dan inti itu, bisa kita proyeksikan ke wilayah-wilayah lain. Sebab, di bidang apa pun, ternyata kita memerlukan disiplin puasa, yaitu menahan diri.”
Menurut Cak Nun, puasa itu soal menahan diri. Tidak hanya perihal lapar dan haus, kita harus bisa menahan diri dari hal-hal yang dirasa perlu, hal-hal yang berdasarkan nafsu. Itu kenapa, Cak Nun membahasakannya, kita harus menemukan bermacam puasa, baik individual, sosial, maupun kenergaraan.
Kita harus bisa menahan diri untuk nafsu keinginan diri, orang lain, atau bahkan lingkup negara. Tidak semerta-merta negara yang begitu kaya akan sumber daya, minyak bumi dan batu baranya yang kini dikuras habis oleh sebagian orang, tanpa mampu menahan diri, tanpa mampu berpikir untuk warisan anak cucu nanti.
Dengan itu, marilah bersama kita maksimalkan momen Ramadhan ini dengan semangat tarbiyah guna memperbaiki kualitas ibadah dan hidup kita. Tanamkan niat yang baik dan lakukan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai puasa kita hanya mendapatkan lapar dan haus dahaga. Jangan sampai hal kita menjadi sia-sia karena menyia-nyiakan kesempatan yang Allah berikan; ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, amal yang tidak diterima, dan do’a yang tidak didengar.
Bagai balon yang terus berusaha ditiup, diisi angin, hingga akhirnya tetap terbang tinggi menjauh tanpa bobot yang berarti. Bagai hanya kentut yang menyisakan aroma busuk.
Imam Ghazali menuliskan dalam kitabnya, Muraqil Ubudiyah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, nfasu yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak pernah dikabulkan).”
Selamat Ramadhan!